Livia hidup dengan satu aturan: jangan pernah jatuh cinta.
Cinta itu rumit, menyakitkan, dan selalu berakhir dengan pengkhianatan — dia sudah belajar itu dengan cara paling pahit.
Malam-malamnya diisi dengan tawa, kebebasan, dan sedikit kekacauan.
Tidak ada aturan, tidak ada ikatan, tidak ada penyesalan.
Sampai seseorang datang dan mengacaukan segalanya — pria yang terlalu tenang, terlalu dewasa, dan terlalu berbahaya untuk didekati.
Dia, Narendra Himawan
Dan yang lebih parah… dia sudah beristri.
Tapi semakin Livia mencoba menjauh, semakin dalam dia terseret.
Dalam permainan rahasia, godaan, dan rasa bersalah yang membuatnya bertanya:
apakah kebebasan seindah itu jika akhirnya membuatnya terjebak dalam dosa?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fauzi rema, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 Lagi dan Lagi
Malam kembali menyelimuti rumah mewah itu dengan sunyi yang menekan. Lampu-lampu menyala terang, namun tidak pernah benar-benar menghangatkan suasana. Narendra masuk dengan langkah lelah, jasnya ia gantung sembarangan. Aroma rumah terasa asing, seperti tempat singgah, bukan tempat pulang.
Veronica sudah di kamar. Punggungnya menghadap pintu, bahunya tegang. Televisi menyala tanpa suara.
Narendra berdiri di ambang pintu beberapa detik, mengumpulkan kesabaran yang tersisa.
“Ver…,” panggilnya pelan. “Kita tidur bersama malam ini?”
Veronica tidak menoleh. “Tidak.”
Jawaban itu datang cepat, dingin, seolah sudah disiapkan sejak lama.
Narendra mendekat, duduk di sisi ranjang dengan jarak aman. “Aku cuma ingin dekat. Kita sudah lama terpisah.”
“Dan aku bilang tidak,” ulang Veronica, lebih tajam. “Aku tidak nyaman.”
Narendra mengusap tengkuknya. “Aku suamimu. Kita tidak bisa terus begini.”
Veronica akhirnya menoleh. Matanya lelah, tapi tatapannya keras. “Jangan memaksaku, Ren. Aku sudah bilang berkali-kali.”
“Aku tidak memaksa,” katanya tertahan. “Aku meminta.”
Veronica tertawa singkat, terasa pahit. “Permintaanmu selalu terdengar seperti tuntutan.”
Hening jatuh. Keduanya sama-sama lelah, sama-sama tersinggung. Narendra berdiri perlahan, menarik napas panjang.
“Baiklah,” katanya pendek. “Aku ke kamar tamu.”
Veronica memalingkan wajah, menutup diri dengan selimut. Tidak ada yang menghentikannya.
Narendra melangkah keluar, meninggalkan kamar yang terasa semakin sempit. Di lorong, ia berhenti sejenak, dadanya sesak oleh perasaan yang tak pernah menemukan jalan pulang. Rumah ini selalu membuatnya tidak nyaman, dan setiap malam, jarak di antara mereka terasa makin nyata.
Di balik pintu kamar tamu yang kembali ia tutup, Narendra duduk di tepi ranjang. Sunyi. Lagi. Dan di tengah sunyi itu, ia bertanya dalam hati: berapa lama lagi ia sanggup bertahan?
Narendra berbaring telentang, menatap langit-langit kamar tamu yang terasa terlalu dekat. Jam di dinding berdetak pelan, menghitung menit yang tak kunjung berlalu. Ia memejamkan mata, membuka lagi. Tetap sama, sunyi yang berisik.
Pikirannya berputar. Kata-kata Veronica. Rumah yang dingin. Jarak yang kian melebar.
Akhirnya ia bangkit. Mengenakan jaket tipis, mengambil kunci mobil, lalu melangkah keluar tanpa ragu. Udara malam menyambut dengan sejuk yang menenangkan, seolah menawarkan jeda.
Mobil melaju menembus jalanan kota yang lengang. Lampu-lampu jalan berpendar lembut, menenangkan pikirannya yang kusut. Tanpa tujuan khusus, ia berhenti di sebuah bar yang masih buka, tempat dengan cahaya hangat dan musik pelan.
Narendra duduk di sudut, memesan segelas cocktail. Ia menggenggam gelas berkaki ramping itu dengan santai, jemarinya sedikit dingin oleh embun yang menempel di kaca. Cairan berwarna keemasan berkilau tertimpa cahaya, aroma asam manisnya naik perlahan sebelum menyeruak di indera penciuman. Saat tegukan pertama menyentuh bibirnya, ada sensasi segar yang langsung mengalir, perpaduan manis, pahit, dan sedikit hangat yang menyusup pelan ke tenggorokan. Ia menghela napas ringan, menikmati detik itu sepenuhnya, seolah dunia melambat hanya untuk memberi ruang pada satu gelas cocktail dan rasa tenang yang menyertainya. membiarkan rasa itu menetap di lidah, memberi jarak dari segala kegaduhan.
Di kafe bar itu, ia akhirnya bisa bernapas. Tidak ada tuntutan. Tidak ada penolakan. Hanya dirinya, segelas Cocktail, dan malam yang perlahan meredakan beban di kepalanya.
Sesaat kemudian, Narendra bangkit dari kursinya, melangkah menuju toilet yang berada di sisi belakang kafe. Namun langkahnya terhenti di tengah jalan.
Di sudut yang agak gelap, dekat jendela besar, ia melihat sosok yang terlalu ia kenal.
Livia.
Gadis itu duduk sendirian, bahunya sedikit merosot. Di atas meja kecil di depannya, beberapa botol bir kosong berjajar, sunyi, seperti saksi malam yang berat. Satu botol masih tersisa, setengah terisi, jemarinya melingkar lemah di leher botol itu.
Narendra tercekat.
Ini bukan Livia yang ia lihat di kantor.
Bukan Livia yang tertawa kecil saat makan bubur.
Ia melangkah mendekat tanpa ragu.
“Livia?”
Livia mengangkat kepalanya perlahan. Matanya sedikit sayu, tapi masih bisa fokus. Saat mengenali sosok di depannya, keningnya berkerut samar.
“Pak… Narendra?”
Narendra menarik kursi di depannya, duduk tanpa diminta. Nada suaranya tertahan, penuh kekhawatiran.
“Kamu sendirian? Minum sebanyak ini?”
Livia tersenyum miring, terkesan getir. “Santai saja, Pak. Saya masih sadar.”
Narendra menatap botol-botol itu, lalu kembali ke wajah Livia. “Ini bukan caramu biasanya.”
Livia menoleh ke luar jendela, menatap lampu kota yang kabur oleh embun malam. “Kadang orang cuma ingin diam… dan lupa sebentar.”
Narendra terdiam. Ada sesuatu di cara Livia mengucapkan kalimat itu, lelah, kosong, dan jujur.
Ia menggeser botol terakhir itu menjauh dengan pelan.
“Cukup Livia,” katanya lembut. “Aku tidak ingin kamu menyakiti dirimu sendiri.”
Livia menatapnya lama, seolah menimbang apakah ia masih punya tenaga untuk membantah. Akhirnya, ia menghela napas pelan dan melepaskan botol itu.
Dan malam itu, mereka duduk berhadapan lagi, bukan sebagai atasan dan bawahan, bukan sebagai orang asing, melainkan dua jiwa yang sama-sama sedang mencari tempat bernapas.
Narendra berdiri lebih dulu, sikapnya tegas namun tak meninggi.
“Ayo Saya antar kamu pulang,” katanya singkat.
Livia mendengus pelan. “Saya masih baik-baik saja.”
Narendra menatapnya lurus, nada suaranya lebih rendah tapi tak bisa dibantah. “Kamu terlalu banyak minum, dan Saya tidak akan membiarkanmu pulang dalam keadaan seperti ini. Saya antar.”
Livia hendak protes, tapi kalimat itu menggantung di bibirnya. Kepalanya sedikit pening, dunia terasa berayun pelan. Ia menghela napas, menyerah.
“Iya, iya..baiklah saya pulang sekarang.” ujarnya akhirnya.
Narendra mengangguk. Ia membayar minuman, lalu membantu Livia berdiri. Tidak ada sentuhan berlebihan, hanya jarak aman yang penuh perhatian. Di luar, udara malam terasa dingin, membersihkan sisa alkohol di kepala Livia.
Di dalam mobil, hening mengisi ruang. Lampu kota berkelebat di kaca. Narendra menyetir dengan hati-hati, sesekali melirik memastikan Livia baik-baik saja.
“Kamu seharusnya tidak sendirian malam-malam begini,” ucapnya pelan.
Livia menatap jendela. “Kadang sendirian itu lebih mudah.”
Narendra tidak membalas. Ia hanya memperlambat laju mobil, memastikan perjalanan mereka aman. Kekhawatiran itu nyata, terlalu nyata untuk diabaikan.
Di tengah perjalanan, suara Livia semakin pelan. Kepalanya perlahan bersandar ke kaca jendela, napasnya teratur, tanpa sadar ia tertidur, lelah yang akhirnya menang.
Narendra melirik sekilas, lalu memperlambat laju mobil. Ada rasa lega sekaligus cemas di dadanya. Ia memarkir mobil tepat di depan apartemen Livia, mematikan mesin dengan hati-hati seolah tak ingin membangunkannya.
Namun Livia tak bergerak.
Narendra membuka pintu, menghela napas pendek, lalu meraih tubuh Livia dengan hati-hati. Gadis itu ringan di pelukannya, hangat, namun rapuh. Ia menggendongnya masuk ke dalam gedung, langkahnya mantap namun penuh kehati-hatian.
Di depan unit, Narendra berhenti sejenak. Jarinya menekan angka, password yang ia hafal sejak malam ketika Livia demam. Pintu terbuka dengan bunyi klik pelan.
Ia masuk, menutup pintu perlahan. Aroma apartemen itu, kopi, sedikit asap rokok, dan parfum samar, menyambutnya. Narendra membawa Livia ke kamar, membaringkannya di atas ranjang dengan lembut, menarik selimut hingga menutupi tubuhnya.
Ia berdiri di sisi ranjang beberapa detik, menatap wajah Livia yang terlelap. Ada kedamaian yang jarang ia lihat, dan perasaan yang seharusnya tak ia miliki.
...🥂...
...🥂...
...🥂...
...Bersambung.......
lanjut dong🙏🙏🙏