Sejak usia lima tahun, Raya Amelia hidup dalam neraka buatan ayahnya, Davin, yang menyalahkannya atas kematian sang ibu. Penderitaan Raya kian sempurna saat ibu dan kakak tiri masuk ke kehidupannya, membawa siksaan fisik dan mental yang bertubi-tubi. Namun, kehancuran sesungguhnya baru saja dimulai, di tengah rasa sakit itu, Raya kini mengandung benih dari Leo, kakak tirinya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
06
Rumah itu masih sama. Dingin, sunyi, dan terlalu besar untuk satu jiwa yang dipaksa tinggal di dalamnya.
Begitu mobil berhenti di depan gerbang tinggi berlapis besi, jantung Raya seperti ingin berhenti. Leo tidak berkata sepatah kata pun sejak mereka meninggalkan rumah Dava. Wajahnya dingin, ekspresinya datar. Namun tangannya mengepal erat di kemudi, dan sesekali pandangannya menajam ke kaca spion, memastikan Raya tidak mencoba kabur.
Begitu gerbang terbuka perlahan dengan derit logam yang menyeramkan, Raya hanya bisa menatap kosong ke depan. Tak ada lagi air mata yang tersisa, hanya ketakutan yang membatu dalam dadanya.
Mobil berhenti tepat di depan pintu utama. Tanpa bicara, Leo keluar lebih dulu, lalu membuka pintu sebelah dengan gerakan kasar.
“Turun,” katanya singkat.
Raya menurut, meski setiap langkah seperti menyeret rantai tak kasat mata. Di ruang tamu, David dan juga Linda tengah duduk di sofa, menanti kedatangannya. Tatapan David, menusuk seperti belati. Penuh kekuasaan dan ancaman yang tersembunyi di balik wajah dingin nya.
Ia bangkit dari duduknya, berjalan menghampiri Raya yang tengah berdiri mematung.
Plakk...
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Raya. Cepat, keras, dan tanpa peringatan, membuat kepalanya terhuyung ke samping, rambutnya menutupi sebagian wajah, namun tak mampu menyembunyikan rona merah yang mulai membara di kulitnya.
David berdiri di depannya dengan rahang mengeras dan mata menyala oleh amarah yang tertahan. Nafasnya berat, dan setiap katanya keluar dengan irama tajam.
“Kau pikir bisa mempermalukan aku?!” suaranya menggema, dingin dan mematikan.
“Melarikan diri seperti anak liar! Membuat kami seperti pecundang di mata orang lain!”
Raya diam. Kepalanya tetap menunduk, meski tubuhnya bergetar hebat. Ia tahu, berbicara hanya akan memperburuk segalanya.
“Kau tahu berapa banyak telepon yang harus kuangkat? Berapa banyak alasan yang harus kubuat untuk menutupi kebodohanmu?!”
Ia menarik kerah baju Raya dan mengguncangnya keras.
“Kami memberimu rumah, pakaian, makanan! Dan balasannya? Kau berani kabur, memalukan kami seperti anjing jalanan?!”
Tangannya terulur, menarik keras rambut hitam Raya. Lalu menyeretnya menaiki tangga, untuk menuju ke kamarnya.
Saat tiba di kamar, David melemparkan tubuh Raya, hingga ia tersungkur di lantai marmer yang terasa dingin. Suara rintihan kesakitan terdengar dari mulut nya.
David berjalan mendekat, lalu...
Bukk...
Sebuah tendangan, mendarat di perut gadis kecil tersebut. Raya menggeliat kesakitan, tubuhnya melipat seperti kertas yang diremukan. Nafasnya tercekat, matanya basah oleh rasa sakit yang mendalam, bukan hanya dari tendangan itu. tapi dari semua luka yang tak terlihat di dalam dirinya.
David berdiri di atasnya, menatap puas seperti raja atas kehancuran yang ia ciptakan.
" Berhenti membuat masalah, jalang,"
David meludah ke samping, lalu berbalik pergi. Langkahnya berat tapi penuh kemenangan, seperti pemilik mutlak atas jiwa yang baru saja ia injak. Pintu dibanting keras di belakangnya. Suara kunci berputar di luar. Kunci yang menandai bahwa Raya kembali menjadi tawanan, bukan anak.
Hening.
Lama Raya terdiam di lantai, tubuhnya gemetar hebat. Rasa sakit di perut membuatnya susah bernapas. Tapi ia tak berani menangis. Di rumah ini, suara tangisan hanya mengundang lebih banyak luka.
Perlahan ia berguling ke sisi, mencoba duduk bersandar di dinding. Seluruh tubuhnya menjerit, namun matanya kosong. Kamar ini tak berubah sejak terakhir kali ia tinggalkan. rapi, bersih, tapi sunyi dan dingin seperti peti mati.
Raya menyentuh perutnya pelan. Tangannya menyeka darah kering di sudut bibirnya, lalu meraba pipi yang memar. Di balik segala penderitaan, ada satu hal yang tak mati, nalurinya untuk bertahan.
Dengan sisa tenaga, ia bangkit perlahan dan berjalan tertatih menuju kamar mandi kecil di sudut ruangan. Ia membasuh wajahnya, membiarkan air dingin menenangkan panas yang membakar kulitnya. Melihat cermin pun hanya membuatnya mual. wajahnya bukan wajah gadis remaja, tapi wajah seorang tahanan perang.
...
Satu minggu berlalu. Kini Raya telah dibebaskan dari kurungan kamarnya. Namun kebebasan itu tidak berarti apa-apa. Ia tahu, itu bukan karena mereka mengasihani. tapi karena mereka butuh ia tampil "baik-baik saja".
Dengan langkah pelan, Raya berjalan menuruni tangga menuju dapur untuk memulai rutinitas paginya, menyiapkan makanan, membersihkan rumah dan setelah itu mengepel lantai. Gaun panjang lusuh yang ia kenakan menutupi bekas luka di tubuhnya. Rambutnya dikuncir seadanya, dan wajahnya tetap datar, tanpa ekspresi.
Di dapur, Bik Asih sudah menyiapkan sarapan. Perempuan tua itu menoleh sejenak ketika Raya masuk, lalu cepat-cepat kembali sibuk, seolah takut Linda melihat.
“Pagi, Nduk,” ucapnya pelan.
“Pagi, Bik,” jawab Raya hampir tak terdengar.
Tanpa banyak bicara, Raya membantu menyiapkan makanan untuk Linda dan David dan juga Leo. Setiap gerakannya berhati-hati, nyaris otomatis. Ia tidak ingin menimbulkan suara. Tidak ingin menarik perhatian.
Setelah meletakkan makanan di atas meja makan, Raya berdiri di sudut ruangan, menunduk, menanti dalam diam hingga Linda, David dan juga leo selesai menyantap sarapan mereka. Ia seperti bayangan yang tak dianggap, namun selalu ada untuk melayani.
Suara sendok dan garpu beradu dengan piring menjadi satu-satunya bunyi yang terdengar. Setiap dentingnya membuat Raya tegang, seolah setiap bunyi bisa berubah menjadi tamparan atau bentakan tiba-tiba.
Linda meliriknya dari ujung meja. Matanya menyipit, menelusuri setiap inci tubuh Raya mencari kesalahan sekecil apa pun.
“Kau lupa mengganti taplak meja ini,” katanya dingin.
“Sudah mulai kusam.”
Raya segera menunduk lebih dalam.
“Maaf, ma. akan Raya ganti setelah ini.”
Linda tidak menjawab. Hanya menyesap kopinya perlahan, lalu meletakkan cangkirnya dengan sedikit hentakan. Sementara David tak mengatakan sepatah kata pun, tapi tatapannya menyapu tubuh Raya seperti pisau. Ia menikmati ketakutan yang terpancar dari gadis itu.
Begitu mereka selesai, Raya langsung membereskan meja, mencuci piring, lalu mengepel lantai seperti biasa. Setiap gerakan dilakukan dengan cekatan, tapi tak tergesa. Ia sudah paham, tergesa berarti ceroboh, dan ceroboh berarti hukuman.
Menjelang siang, setelah semua pekerjaan rumah rampung, Raya diizinkan pergi ke kebun belakang untuk menyiram tanaman. Di sanalah, untuk sesaat, ia bisa menarik napas tanpa tekanan.
Namun. Pada saat kakinya akan melangkah melewati pintu belakang. Lengannya di tarik dengan kasar, oleh Leo. Dan membawanya ke dalam sebuah gudang yang berada di belakang rumah.
Leo menyeret Raya tanpa kata, langkahnya cepat dan penuh tekanan. Gudang tua itu gelap dan berdebu, hanya diterangi sinar matahari yang menyelinap melalui celah-celah kayu. Aroma kayu lapuk dan karat memenuhi udara. Pintu dibanting tertutup di belakang mereka, menciptakan gema yang memekakkan.
Raya mencoba menarik lengannya, tapi genggaman Leo terlalu kuat. Wajah laki-laki itu nyaris tak terbaca, tapi sorot matanya menyimpan sesuatu yang menganggu.
“Sudah seminggu lamanya, kau tidak memberiku kepuasan," ucapnya, suaranya mulai terdengar berat, dan nafasnya memburu.
Raya membeku. Kata-kata Leo menyusup seperti racun ke dalam telinganya, membuat jantungnya berdegup keras dalam dadanya yang sempit. Ia mencoba mundur, tapi punggungnya telah menempel pada dinding kayu yang dingin. Gudang itu terlalu sempit untuk melarikan diri.
“Aku sudah cukup sabar,” lanjut Leo, kini berdiri begitu dekat, tubuhnya nyaris menyentuh bagian dada Raya.
“Kau pikir aku akan terus menunggu?”
Tangan Leo mulai bergerak, meraih dagu raya, memaksa gadis itu untuk menatap wajahnya. Tapi Raya membuang muka, napasnya terengah. bukan karena lelah, tapi karena ketakutan yang menyesakkan.
“Aku... aku akan bilang pada ayah. kalau kamu telah melecehkan ku,” suara Raya pelan, nyaris tak terdengar, tapi itu satu-satunya perlawanan yang tersisa dalam dirinya.
Leo terkekeh, dingin.
“Kau pikir dia akan peduli?” gumamnya.
“Dia bahkan lebih percaya padaku daripada kau, anak kandungnya .”
Tangan Leo kini mencengkeram lengan Raya lebih keras. Tubuhnya semakin dekat. Nafasnya panas menyapu wajah gadis itu.
Raya memejamkan matanya, tubuhnya menegang. Hal menjijikan itu akan terulang kembali. Dan setelah itu. Hampir di setiap malam Leo mendatangi nya, di kamar, untuk menuntaskan nafsu buasnya.