Hidup Jema berubah sejak ayahnya menikah lagi saat ia kelas 6 SD. Sejak itu, ia tinggal bersama ibu tiri yang semena-mena dan semuanya makin memburuk ketika ayahnya meninggal.
Saat SMA, ibu tirinya menikah dengan seorang duda kaya raya yang punya tiga putra tampan. Jema berharap hidupnya membaik… sampai ia melihat salah satu dari mereka: Nathan.
Musuh bebuyutannya di sekolah.
Cowok arogan yang selalu membuat hidupnya kacau.
Dan sekarang, jadi saudara tirinya.
Tinggal serumah membuat semuanya jadi lebih rumit. Pertengkaran mereka semakin intens, tetapi begitu pula perhatian-perhatian kecil yang muncul tanpa sengaja.
Di antara benci, cemburu, dan konflik keluarga perasaan lain tumbuh.
Perasaan yang tidak seharusnya ada.
Perasaan yang justru membuat Jema sulit bernapas setiap kali Nathan menatapnya lebih lama daripada seharusnya.
Jema tahu ini salah.
Nathan tahu ini berbahaya.
Tapi hati tetap memilh bahkan ketika logika menolak.
Karena siapa sangka, musuh bisa menjadi cinta pertama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Izzmi yuwandira, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kabar pernikahan
Jema pulang ke rumah dengan kondisi berantakan; seragamnya penuh noda, rambutnya bau sampah, dan lengannya masih terasa lengket. Untungnya rumah sepi—ibu dan kedua saudarinya tidak ada. Jema menghela napas lega. Kalau ibu melihatnya pulang dengan keadaan kacau seperti ini, sudah pasti ia tidak akan diizinkan masuk ke dalam rumah.
Ia pernah beberapa kali mengalami hal itu—pulang dalam keadaan kotor, tapi justru diusir ke luar. Ibu hanya berdiri di ambang pintu, memelototinya sambil berkata, “Kamu jangan bawa kotoran dari luar masuk ke rumah ini.”
Dan Jema harus tidur di teras, menggigil hingga pagi.
Maka kali ini, ia bergegas masuk sebelum ada yang pulang dan melihatnya.
Ia langsung menuju kamar mandi. Begitu air dingin menyentuh kulitnya, bercampur dengan sisa sabun yang ia gosokkan ke rambut, Jema menghela napas panjang—nyaris seperti ingin melepas semua kejadian hari ini. Rambutnya yang tadinya penuh sampah kini bersih kembali, meski lengannya masih terasa sakit karena terlalu lama menyapu.
Ia merasa sedikit lebih tenang setelah selesai bersih-bersih, apalagi mengingat besok ia tidak memakai seragam itu. Seragam penuh noda itu langsung ia rendam, berharap bau sampahnya hilang besok.
Perutnya mulai keroncongan. Ia berjalan ke meja makan, mencoba mencari sisa makanan.
Kosong.
Tidak ada satu pun lauk atau nasi. Meja itu sangat bersih—bersih karena memang tidak pernah tersedia apa pun untuk dirinya.
Jema kemudian membuka lemari makanan. Sama saja. Tidak ada apa-apa. Hanya rak-rak kosong dan plastik mi instan yang kedaluwarsa.
Ia berjalan ke dapur. Piring kotor dari pagi tadi masih menumpuk di wastafel, sama sekali belum tersentuh. Seolah-olah tak ada seorang pun yang peduli. Tong sampah juga penuh dengan bungkus makanan siap antar—ayam goreng, burger, minuman. Ternyata mereka memesan makanan dari luar. Lagi.
Mereka makan enak, sementara dirinya bahkan tidak disisakan remah sekalipun.
Rasa sedih menyergap dadanya. Sampai kapan aku harus hidup kayak gini? bisiknya dalam hati.
Ia merindukan ibu dan ayahnya. Namun mereka sudah bahagia di surga, meninggalkannya di rumah yang bahkan tidak menganggapnya sebagai keluarga.
Dengan hati yang berat, ia mengambil celemek dan mulai mencuci piring satu per satu. Menggosok piring berminyak, membersihkan gelas, mengeringkannya, lalu merapikan semuanya di rak. Setelah itu ia membuang sampah yang menumpuk dan menyapu lantai dapur sampai bersih.
Tak terasa malam semakin larut. Jam dinding menunjukkan hampir pukul dua belas, tapi rumah tetap sunyi. Tidak ada suara mobil masuk, tidak ada langkah kaki, tidak ada tanda-tanda ibu atau kedua saudarinya pulang.
Hatinya makin gelisah.
Kemana mereka?
Sejak kapan mereka pergi?
Kenapa tidak ada satu pun yang mengabari?
Di rumah itu, kesunyian terasa jauh lebih menakutkan daripada kebisingan.
***
Jema menarik selimutnya hingga menutupi tubuh, mencoba memejamkan mata setelah hari panjang yang melelahkan. Namun baru saja kelopak matanya menutup, suara deru mesin mobil terdengar jelas dari luar rumah. Jema langsung membuka mata, jantungnya ikut berdegup kencang.
Ia bangkit dari kasur, berlari kecil menuju jendela kamarnya, lalu mengintip melalui celah tirai yang kusam.
Sebuah mobil mewah berhenti tepat di depan gerbang rumah sederhana tersebut. Lampu depan mobil itu menyala terang, memantul di tembok halaman hingga membuat mata Jema sedikit silau.
Mobil siapa itu? pikirnya.
Ia tidak pernah melihat mobil semahal itu berhenti di depan rumah mereka.
Beberapa detik kemudian, pintu mobil terbuka. Dan Jema terbelalak kaget melihat siapa yang keluar.
Ibu.
Dan… kedua saudari tirinya.
Kedua kakak tirinya terlihat sangat riang, sambil tersenyum manis dan menyalami pria pemilik mobil itu. Mereka tertawa kecil, seolah pulang dari acara mewah yang penuh hiburan.
Saudari-saudarinya kemudian masuk ke dalam rumah dengan langkah riang, sementara ibunya masih berdiri di luar bersama pria itu.
Jema memperhatikan dari balik jendela dengan dahi berkerut.
Ada sesuatu yang… aneh.
Lalu tanpa peringatan, Jema langsung menahan napas.
Matanya membelalak.
Refleks, ia menutup mulut, lalu buru-buru menjauhkan wajah dari jendela.
Mereka… berciuman?
Jema langsung mundur beberapa langkah, jantungnya berdetak kacau. Ia cepat-cepat menutup tirai dan menempelkan punggung pada dinding kamar, berusaha mencerna apa yang baru saja ia lihat.
Tangannya gemetar sedikit.
Kepalanya penuh tanda tanya.
Ia berjalan kembali ke kasurnya dengan langkah pelan, seakan takut kenyataan barusan akan mengikuti ke dalam kamarnya.
Apa… mama punya pacar?
Pertanyaan itu menggantung di kepalanya, membuat dadanya terasa sesak dan tidak nyaman.
Sekian lama ia berpikir ibunya hanya sibuk bekerja.
Tapi ternyata…?
---
Keesokan paginya, Jema bangun lebih cepat dari biasanya. Entah kenapa tidur tadi malam terasa gelisah. Ia merapikan seragamnya, menguncir rambut dengan rapi, dan menenteng tas ranselnya sebelum keluar dari kamar.
Tangga dingin di bawah kakinya, tapi langkahnya tetap mantap. Namun begitu ia sampai di lantai bawah, langkah Jema spontan berhenti.
Ada makanan di atas meja makan.
Bukan sisa makanan, bukan piring kotor.
Tapi… makanan hangat yang disajikan rapi.
Jema mengerjap bingung.
Ia tidak ingin mengharap apa-apa, jadi ia memilih bersikap seperti biasa, pura-pura tidak melihat apapun. Ia langsung berjalan menuju pintu, berniat sarapan di kantin saja.
Namun suara itu menghentikannya.
“Jema? Kamu mau ke mana?”
Jema menoleh pelan. Ibu berdiri di dekat meja, melirik jam tangan mahalnya.
“Oh? Aku mau berangkat.”
“Masih sepagi ini. Kamu mau ketemu siapa? Sarapan dulu.”
Nada ibunya terdengar… lembut?
Tidak memerintah, tidak membentak.
Sarapan?
Ibu mengajaknya sarapan?
Jema hampir tidak percaya.
Susan dan Selin terlihat santai sambil makan, seolah semua ini hal biasa. Mereka bahkan tidak memberi Jema tatapan aneh. Jema ragu sejenak, tapi akhirnya melangkah mendekat dan duduk di samping Susan.
Belum sempat ia menata perasaan, sang ibu kembali berbicara.
“Maaf, semalam mama nggak ngabarin kalau pulang lama. Habisnya kamu ditungguin lama banget…”
Kalimat itu membuat Jema tertegun.
Ditungguin?
Sejak kapan?
“Oh, iya… ada tugas di sekolah.” jawab Jema pelan.
Ibunya dan kedua saudari tirinya saling melirik, seakan menyimpan sesuatu. Jema merasa aneh, tapi ia berusaha fokus menyuap makanan.
Hingga ibunya kembali memanggil.
“Jema?”
Suara itu membuat Jema menghentikan gerakan tangannya. Sendok berhenti di udara. Ia menatap ibunya dengan hati yang tidak tenang.
“Mama akan menikah…”
CKLING—
Sendok jatuh ke lantai.
Refleks, Jema berdiri. Kursinya bergeser keras.
Susan yang duduk di sebelahnya sampai tersentak.
“Lo kenapa sih? Santai dong…”
Tapi Jema tidak mendengar apapun.
Kepalanya tiba-tiba berdenyut. Napasnya terasa berat.
“Kayaknya… aku harus pergi, Ma…”
“Jema. Kita selesaikan dulu di sini.”
Nada ibu mendadak serius.
“Duduk, Jem.” Susan menyentuh lengannya.
Namun Jema tetap berdiri kaku, tak mampu menelan semua yang baru ia dengar. Ia bahkan tidak bergerak sampai Susan menarik lengannya agar tetap duduk di kursi.
“Mama tau ini terdengar mengejutkan…”
Suara ibu terdengar ragu, tapi juga mantap, seolah ia sudah mempersiapkan kata-kata ini semalaman.
“Tapi, Jem… Papa kamu sudah ninggalin kita selama satu tahun. Papa nggak ninggalin uang banyak untuk kita. Buat sekolah kalian aja mama harus mikir keras. Mama sebenarnya sudah capek kerja terlalu berat.”
Jema menatap ibunya tanpa berkedip. Ada sesak di dadanya.
“Dan atas izin Tuhan… mama ketemu seseorang yang baik. Yang menerima keadaan mama, yang punya tiga anak perempuan. Mama harap kamu merestui pernikahan mama…”
Jema merasa udara di ruang makan mendadak menipis.
Merestui?
Pernikahan?
Kata-kata itu menabrak pikirannya seperti ombak yang berulang kali menghantam karang. Ia ingin mengatakan sesuatu, tapi bibirnya kelu.
Di kepalanya, ia hanya mengulang-ulang satu kalimat:
Saat papa masih hidup pun mama tidak pernah benar-benar peduli.
Saat papa ada, mama hanya pura-pura baik.
Setelah papa pergi… aku kembali jadi bayangan.
Dan sekarang…
Ibu ingin menikah dengan orang asing?
Bagaimana hidupnya nanti?
Ibu menyadari diamnya Jema. Ia menghela napas panjang, menatapnya lebih lembut.
“Kamu nggak usah khawatir. Kamu akan ikut sama kami. Meskipun kamu bukan anak kandung mama, mama nggak mungkin ninggalin kamu sendirian di rumah ini.”
Kalimat itu menusuk.
Bukan karena kehangatan—
tapi karena pengingat bahwa ia memang bukan bagian dari mereka.
Jema menunduk. Jemarinya meremas ujung rok seragamnya.
“Bukan itu masalahnya…” suaranya hampir tak terdengar. “Bukan… soal tinggal sama siapa.”
Ibu mengernyit. “Lalu? Masalahnya apa?”
Jema menelan ludah, dada terasa berat.
Ia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya:
Bahwa ia takut semakin tidak terlihat.
Semakin asing.
Semakin tidak dianggap.
Bahwa di rumah ini saja ia sudah seperti hantu—apalagi nanti di kehidupan baru?
Tapi yang keluar dari mulutnya hanya bisikan lemah.
“Jema cuma… takut.”
Ibu meraih tangan Jema di atas meja. Sentuhan itu membuat Jema kaku; sudah lama sekali ia tidak diperlakukan seperti itu.
“Jema… Kita akan punya kehidupan yang bagus nanti. Kamu bilang mau kuliah, kan? Mama akan wujudkan itu. Kamu nggak perlu takut.”
Jema mengangguk pelan.
Bukan karena ia yakin
—tapi karena ia tidak tahu harus memberi reaksi apa lagi.
Susan memiringkan kepala, menyenggol lengan Jema.
“Makanya tenang, Jem. Lo bakal dapet kehidupan yang kayak di drama-drama tuh. Hidup mewah. Gitu loh.”
Selin ikut menambahkan sambil tersenyum tipis,
“Iya, kita bakal jadi keluarga besar. Kayaknya seru.”
Keluarga besar.
Kata itu justru terasa seperti beban di pundak Jema.
Senyum samar terbentuk di bibirnya, tapi matanya kosong.
Ia hanya berharap…
pernikahan ini bukan awal dari kehidupan yang lebih gelap untuk dirinya.
“Boleh kan kalau Mama menikah lagi?”
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Ibu, tapi bagi Jema, rasanya seperti batu jatuh ke dadanya.
Ia menelan ludah. “Terus… gimana sama rumah ini? Mama mau apakan?”
“Rumah ini…” Ibu menarik napas panjang. “Terserah kamu mau gimana. Mau disewakan boleh. Toh uangnya juga punya kamu. Mama nggak bakal usik.”
Tentu saja tidak akan mengusik, batin Jema. Pria yang akan dinikahi ibunya pria kaya. Mana mungkin ibunya masih mempedulikan hal-hal kecil seperti rumah lama ini? Rumah yang penuh kenangan bersama Papa dan bundanya—kenangan yang hanya berarti sesuatu bagi Jema, bukan untuk ibu sambungnya.
“Mama akan mempertemukan kamu sama calon Papa baru kamu,” lanjut Ibu sambil tersenyum tipis. “Kapan kamu ada waktu?”
“Malam ini gimana?” Susan ikut menyahut, seolah semua ini hal paling wajar di dunia.
Jema tetap diam. Ia tidak tahu harus memproses apa dulu—kehilangan baru, rasa asing, atau kenyataan bahwa hidupnya akan berubah total tanpa ia dimintai pendapat.
“Jema gimana? Kenapa kamu diam aja sih?” Selin mulai terdengar kesal.
“Lo nggak bahagia sama berita baik ini?” susul Susan.
Jema memaksakan bibirnya melengkung, terasa getir. “Bahagia…” ucapnya lirih. Bohong. Atau mungkin setengah. Atau mungkin tidak sama sekali. Hanya Tuhan dan dirinya yang tahu.
“Ya sudah,” kata Ibu, tampak lega mendengar jawaban itu. “Mama akan hubungi Papa—calon Papa kamu maksudnya—supaya bisa ketemu malam ini. Tenang aja, dia baik kok.”
Baik? Jema tidak membutuhkannya untuk baik. Ia hanya ingin tidak merasa makin hilang.
Ia mengangguk pelan, tanpa suara.
Di dalam dadanya, badai kecil yang tak bisa ia jelaskan terus berputar-putar.