Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:
"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."
Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.
Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?
"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16: Membujuk Eomma
Alarm kembali berbunyi nyaring seperti biasa, seolah tak pernah absen barang sehari pun. Areum lupa mematikannya semalam karena langsung tertidur begitu sampai di rumah. Namun saat ia mengingat bahwa hari ini ia mendapat libur, gadis itu memilih menarik selimutnya kembali dan melanjutkan tidur. Entah sudah berapa lama Areum terlelap hingga akhirnya terpaksa bangun karena merasa seseorang menggoyangkan bahunya pelan. Ia membuka matanya perlahan dan mendapati sosok sang ibu yang kini duduk di pinggir ranjangnya.
“Eomma…” gumam Areum lirih, masih dalam posisi berbaring.
“Kamu tidak bekerja hari ini? Ini sudah jam sepuluh,” ujar sang ibu sembari mengusap lembut surai hitam putrinya.
“Tidak, Eomma. Ji-Sung-nim mengizinkanku untuk libur sehari,” jawab Areum sambil menggeliat pelan.
“Itu bagus… Bisa temani Eomma keluar hari ini?” tanya ibunya sambil tersenyum hangat.
“Baik, Eomma. Aku akan mandi dulu,” sahut Areum, lalu bangkit dari tempat tidur dan berjalan menuju kamar mandi. Setelah selesai bersiap, Areum keluar dari kamarnya dan mendapati sang ibu juga sudah rapi dengan pakaian perginya yang khas. Mereka kemudian keluar rumah bersama, mengunci pintu, dan menuju mobil. Seperti biasa, Areum duduk di kursi penumpang sementara ibunya berada di balik kemudi.
“Eomma… Kita mau ke mana?” tanya Areum dengan nada bingung.
“Ke rumah Oehalmeoni, ttal,” jawab ibunya singkat, matanya tetap fokus menatap jalan. Areum sempat terdiam sejenak sebelum akhirnya kembali membuka suara, kali ini lebih pelan, seolah takut merusak suasana.
“Eomma… soal tawaran pekerjaan di Gangnam itu, apa Eomma benar-benar tidak mengizinkanku mencobanya?” Ujar Areum masih berusaha.
“Itu terlalu jauh, Areum. Eomma tidak bisa jauh darimu,” jawab sang ibu dengan nada khawatir yang terdengar tulus.
“Tapi aku sudah dewasa, Eomma. Aku bisa menjaga diri. Lagipula, kalian juga bisa sering datang ke sana,” ucap Areum, mencoba meyakinkan. Ibunya hanya diam. Tak ada respons, hanya keheningan yang terasa agak berat di dalam mobil.
“Di sana nanti ada Seo-Joon. Bicara lah dengannya sebentar, ya, selagi Eomma bicara dengan Oehalmeoni,” ujarnya akhirnya, melirik Areum singkat. Areum hanya bisa mengangguk pelan. Lagi-lagi, ia gagal meyakinkan ibunya.
Mobil terus melaju membelah jalanan kota yang mulai ramai pagi itu. Sinar matahari pagi memantul di jendela mobil, menciptakan bayangan samar di wajah Areum yang duduk bersandar tanpa banyak bicara. Sesekali ia melirik ponselnya, memastikan tidak ada pesan baru dari siapapun. Tapi layar itu tetap gelap dan hening—seperti hatinya sekarang.
“Kamu tidak akan bisa selamanya hidup sesukamu, Areum-ah, cepat atau lambat kamu akan sadar bahwa hidup bukan hanya soal bertahan, tapi juga soal arah. Cepat atau lambat kamu akan sadar bahwa hidup bukan hanya soal bertahan, tapi juga soal arah.” ujar sang ibu, suaranya tenang tapi terdengar jelas di antara deru mesin mobil. Areum menoleh pelan. Tatapan ibunya lurus ke depan, fokus pada jalan, namun setiap katanya terasa menembus pertahanan batin Areum yang mulai rapuh.
“Aku tahu arahku, Eomma. Aku hanya belum sampai di tempat yang Eomma inginkan,” ucap Areum pelan, sang ibu tidak segera menjawab. Ia hanya menarik napas dalam-dalam lalu mengembuskannya perlahan, seolah sedang menahan sesuatu yang tidak ingin diucapkan terlalu cepat.
Beberapa menit kemudian, mobil akhirnya berbelok masuk ke sebuah kawasan perumahan mewah dengan pagar tinggi dan penjagaan ketat. Areum menegakkan tubuhnya, matanya menyapu sekeliling, mencoba menebak rumah mana yang akan mereka datangi.
Mobil berhenti di depan sebuah rumah besar bergaya *hanok* modern—perpaduan harmonis antara nuansa tradisional Korea dan sentuhan kemewahan masa kini. Gerbang kayu berukir terbuka perlahan setelah ibu Areum menurunkan jendela dan menyapa penjaga dengan ramah.
“Masuklah dulu. Oehalmeoni mungkin sudah menunggu,” ucap sang ibu sambil melepas sabuk pengamannya.
“Eomma… tapi…” lirih Areum. Ia memang jarang berkunjung ke tempat ini, jadi tak bisa menyembunyikan rasa asingnya.
“Dia menanyakan tentangmu. Itu sebabnya Eomma membawamu ke sini sekarang. Jangan lupa temui Seo-Joon juga,” ujarnya sembari membereskan barang-barang yang dibawa sebagai buah tangan untuk orang tuanya.
“Seo-Joon di mana?” tanya Areum seraya turun dari mobil.
“Pasti di ruang baca, seperti biasa. Jangan bicara ketus padanya,” sang ibu memperingatkan sambil menoleh.
“Aku tidak pernah bicara ketus,” gumam Areum setengah kesal.
Sang ibu hanya menatap sejenak, lalu ikut turun. Areum menarik napas panjang sebelum menyusul, melangkah masuk ke rumah yang dulu terasa asing—dan kini terasa lebih asing lagi. Saat menyusuri lorong kayu panjang, aroma khas dari obat-obatan tradisional dan kayu manis langsung menyeruak—bau yang tak pernah berubah dari rumah Oehalmeoni .
Langkah Areum terhenti ketika mendapati seorang pria berdiri di ujung lorong. Ia bersandar santai di ambang pintu ruang baca, tangan terlipat, wajahnya tenang namun tajam. Seo-Joon.
“Lama tak bertemu, Areum-ssi,” sapanya singkat.
“Ya… kau juga,” jawab Areum sambil mengangguk singkat.
“Pagi, Seo-Joon. Kau tidak pergi kuliah?” tanya Hyerin, menatap keponakannya dengan lembut. Seo-Joon adalah anak sulung dari kakak kandungnya yang telah bercerai, dan sejak saat itu Seo-Joon memilih tinggal bersama nenek dari pihak ayahnya—yakni nenek Areum.
“Aku baik, Gomo. Aku akan pergi nanti siang. Oh, apa Gomo-bu tidak ikut?” tanyanya sopan.
“Tidak, dia ada pekerjaan,” jawab Hyerin sambil tersenyum.
“Begitu, ya,” balasnya sambil mengangguk pelan.
Areum mengikuti langkah ibunya menuju ruang tamu utama yang langsung menghadap ke halaman belakang. Di sana, seorang wanita tua duduk dengan tenang, ditemani secangkir teh hangat—seolah itu sudah menjadi ritual paginya.
“Kalian sudah datang?” ucapnya tanpa menoleh.
“Ya, Eomma-nim. Aku juga membawa Areum,” jawab Hyerin, membuat Areum segera menunduk sopan.
“Selamat pagi, Oehalmeoni,” sapa Areum, terdengar gugup.
“Pagi. Duduklah,” balas sang nenek singkat.
Areum duduk di samping ibunya, memperhatikan ibu nya meletakkan bingkisan di atas meja. Tatapan Areum sesekali mengarah pada wajah sang nenek yang tampak tenang, namun berwibawa—nyaris tanpa ekspresi. Sampai akhirnya, ia bicara.
“Apa sekarang kamu tidak bekerja?” tanyanya, menatap Areum langsung.
“Tidak, Oehalmeoni. Aku mendapat izin cuti dari atasan,” jawab Areum hati-hati.
“Ternyata Hyerin tidak berlebihan. Kenapa kamu tidak melanjutkan pendidikanmu? Tidak lihat ibumu menginginkan itu?” lanjutnya, nadanya datar tapi tajam. Areum hanya terdiam, menggigit bibirnya bingung harus menjawab apa.
“Maaf, Oehalmeoni. Aku belum ingin melanjutkan pendidikan sekarang. Aku ingin mencoba apa yang aku sukai terlebih dahulu,” ujar Areum setenang mungkin, meski nadanya sedikit bergetar.
Tiba-tiba, Nam Dahyun—sang nenek—terkekeh pelan.
“Itu bagus, *aegi*-ya. Setidaknya kamu tahu apa yang kamu inginkan. Kalau itu memang jalanmu, kenapa tidak?” ucapnya, membuat Areum menatapnya lekat-lekat, hampir tak percaya. Ia sempat mengira sang nenek akan sama kerasnya seperti ibunya, tapi ternyata sebaliknya—ia memberi dukungan.
“Terima kasih, Oehalmeoni,” ucap Areum, kali ini lebih lega.
“Eomma memang seperti Taesik, selalu memanjakannya,” ujar Hyerin, yang membuat Nam Dahyun kembali terkekeh.
“Anakmu masih muda. Biarkan dia memilih jalannya sendiri. Kalau salah, tuntun dia. Tapi kalau benar, biarkan dia membangun masa depannya dengan caranya sendiri,” ucap Halmeoni bijak.
Hyerin hanya bisa menggeleng pelan.
“Eomma, aku akan melihat Seo-Joon dulu,” ujar Areum sambil berdiri. Hyerin mengangguk.
“Kalau keluar, jangan main terlalu jauh. Nanti tersesat seperti dulu,” celetuknya yang langsung membuat sang nenek tertawa.
“Eomma, aku sudah dua puluh dua tahun. Dan Seo-Joon bahkan lebih tua dariku,” sahut Areum dengan wajah sebal.
“Eomma cuma mengingatkan,” balas ibunya ringan.
Areum hanya mendengus pelan lalu berjalan meninggalkan ruangan, menuju lorong yang mengarah ke ruang baca. Setelah kepergian Areum, Nam Dahyun menatap putrinya dalam diam—putri bungsunya yang belakangan ini memang sering datang berkunjung ke rumah itu.
"Dia tumbuh dengan cepat!" ucap Dahyun, membuat Hyerin mengalihkan pandangannya.
"Eomma tahu... Ada alasan kenapa aku melarang dia pergi ke Gangnam," ujar Hyerin lirih, matanya sesekali melirik ke arah lain, khawatir jika Areum masih berada di sekitar mereka.
"Aku mengerti. Apalagi kamu sudah merawatnya sejak kecil. Tapi, Hyerin... sepintar apa pun seseorang menyembunyikan bangkai, saat waktunya tiba, bau itu akan tetap tercium," kata Nam Dahyun, membuat Hyerin terdiam.
"Aku tahu aku egois. Tapi aku benar-benar terlanjur menyayanginya... Aku dan Taesik sudah menganggap dia seperti putri kandung kami sendiri. Bahkan mungkin keluarga aslinya sekarang sudah melupakannya," bisik Hyerin, suaranya nyaris hilang.
"Jika mereka lupa, itu patut disyukuri. Tapi jika mereka ingat... itulah yang berbahaya. Suatu saat mereka bisa datang dan mengambil Areum darimu. Dan kamu akan lemah secara hukum apalagi jika Areum memilih mereka daripada kalian," lanjut Nam Dahyun, sekali lagi membuat Hyerin membisu.
Pikirannya melayang jauh ke masa lalu.
Malam itu hujan turun deras. Seorang pria dan wanita paruh baya muncul di depan rumahnya, membawa seorang bayi perempuan yang masih merah. Keduanya bukan orang biasa mereka bilang berasal dari Gangnam-gu, dan itu cukup jauh untuk mereka yang tinggal di Mapo-gu apalagi dalam malam hujan seperti itu. Mereka hanya menitipkan bayi itu dengan alasan sedang dalam bahaya, dan tak ingin putri mereka ikut terseret dalam situasi yang mengancam.
Hari berganti minggu, minggu menjadi bulan, bulan menjadi tahun.
Namun janji mereka untuk kembali tak pernah ditepati. Bahkan saat bayi itu mulai bisa berjalan, berbicara, dan tumbuh menjadi anak-anak, tak ada satu pun kabar dari orang tua kandungnya. Hyerin dan Taesik yang sejak lama mendambakan kehadiran seorang anak—namun tak kunjung diberi keturunan karena Taesik mandul—akhirnya mengambil keputusan besar: mengadopsi anak itu dan menjadikannya putri mereka.
Hyerin tahu tubuhnya tak akan pernah bisa mengandung. Tapi cinta yang mereka miliki begitu kuat. Mereka membesarkan bayi perempuan itu dengan penuh kasih, memberi nama, memberi rumah, dan mencurahkan semua cinta yang mereka punya.
Bayi itu kini telah tumbuh menjadi Areum—gadis dewasa yang tak pernah tahu bahwa sebenarnya, ia bukan darah daging Nam Hyerin dan Min Taesik. Selama bertahun-tahun, kebenaran itu disembunyikan bukan hanya oleh Hyerin dan Taesik, tapi oleh seluruh keluarga besar mereka. Semua dilakukan demi menjaga perasaan pasangan itu... dan karena bagi mereka, Areum adalah segalanya.
Areum mendorong pintu ruang baca perlahan, dan terlihat seorang pria tinggi tegap duduk di sofa—mata di balik kacamata, buku tebal di tangannya.
“Oppa… aku ikut masuk ya,” ujar Areum pelan, suaranya hampir seperti bisikan. Seo-Joon menoleh sejenak, lalu mengangguk tipis. Areum melangkah mendekat, duduk di hadapan pria itu, posisi tubuhnya masih agak tegang, tapi matanya penasaran.
“Ini sudah lama sekali ya? Semenjak terakhir kali kamu datang bersama Gomo,” Seo-Joon membuka pembicaraan, suaranya hangat tapi tenang, ada sedikit nostalgia yang terselip di setiap kata.
“Iya… semenjak dewasa, kita memang sering sibuk dengan urusan masing-masing, sampai lupa kalau dunia masih berputar,” jawab Areum, senyumnya tipis, tapi matanya menatap jauh ke luar jendela, melihat cahaya pagi yang masuk melalui tirai tipis. Seo-Joon mengangguk pelan, mengerti.
“Kamu masih suka membaca buku filsafat, Areum-ah?” tanyanya, suaranya seperti bisikan di antara gemerisik kertas dan aroma kayu di ruang itu.
“Iya… masih. Tapi semenjak kerja di café, waktuku jadi berkurang untuk membaca buku,” kata Areum sambil tersenyum kecil. Matanya lalu menatap buku yang ada di tangan Seo-Joon. “Oh… buku apa yang Oppa baca tadi?” lanjut nya dengan senyum tipis, Seo-Joon mengangkat bukunya, memperlihatkan sampulnya ke arah Areum.
“Nietzsche… Thus Spoke Zarathustra. Kamu pasti pernah baca ini kan?” ujarnya tenang, jari-jarinya menekan halaman yang tadi ia baca, seolah takut mengganggu makna yang tersimpan di dalamnya.
Areum menahan napas sebentar, seolah terlempar jauh ke masa lalu, sebelum akhirnya tersenyum pelan.
“Itu buku yang membuat ku mempertanyakan arti hidup saat SMA. Berat sakali… tapi entah kenapa aku suka,” ucapnya, suaranya seperti mengendap-endap keluar dari ruang ingatannya.
“Dulu waktu kamu pertama kali baca itu, kamu menangis karena bingung—tapi tetap memaksa untuk mengerti. Memang pantang menyerah,” ujar Seo-Joon tertawa pelan, Areum ikut tertawa kecil, matanya berkaca-kaca menahan kenangan yang tiba-tiba muncul.
“Iya… dan kamu malah memberiku Sophie’s World, supaya aku tidak stres memikirkan Tuhan sudah mati atau belum,” bisiknya sambil menekuk jemari di pangkuan.
Seo-Joon menutup bukunya perlahan, meletakkannya di atas meja kayu bundar, meja yang mengingatkan mereka pada ruang belajar kecil di rumah lama, dengan aroma kayu hangat dan cahaya pagi yang menembus jendela.
“Sekarang kamu sudah jauh lebih dewasa. Cara kamu melihat dunia juga berubah,” ujarnya lembut. Areum menunduk, jemarinya main-main di ujung lengan bajunya, gerakan yang tampak seperti kebiasaan lama yang tak pernah hilang, tapi terasa nyaman.
“Tapi kadang aku rindu masa itu... saat kita bisa duduk seperti ini, bicara tentang apapun—tentang hal-hal yang tidak semua orang bisa pahami,” kata Areum, lirih. Dalam hatinya, ada ruang kecil yang masih dihuni oleh kenangan bersama Seo-Joon. Meskipun dulu ia sering bersikap dingin, nyatanya ia menyukai cara berpikir kakak sepupu-nya—yang tenang, dalam, dan penuh logika yang kadang sinis tapi jujur.
“Kita masih bisa, Areum-ah,” jawab Seo-Joon. Tatapannya dalam dan hangat, seolah ingin mengatakan bahwa waktu tak pernah benar-benar mencuri segalanya.
"Ya... tapi sekarang kita punya prioritas masing-masing. Dulu, satu-satunya tanggung jawab kita cuma belajar. Tapi sekarang..." Areum menggantungkan kalimatnya. Seo-Joon mengangguk.
“Sekarang kita baru sadar, ternyata tanggung jawab terbesar kita bukan buku-buku yang kita gendong di pundak, tapi tentang masa depan, tentang hidup ini… dan kita sadar, kalau beban paling ringan justru adalah tas sekolah yang dulu kita keluhkan setiap pagi.” ucap Seo-Joon, nadanya pelan namun dalam.
Areum mengangguk paham.
“Terlalu berleha-leha di masa muda itu tidak baik... karena waktu tua kita akan tersiksa. Bukan hanya karena gagal, tapi karena penyesalan.” ujar nya yang membuat Seo-Joon menatap Areum dengan senyum samar.
“Kalau kamu masih suka perdebatan tentang eksistensi, kehendak bebas, dan absurditas dunia... aku juga masih di sini, Areum-ah." Ujar nya yang membuat Areum menatapnya, dalam dan diam. Seolah dalam dirinya, ada bagian yang kembali utuh—bagian yang selama ini hilang di antara kesibukan dan waktu yang tak berhenti berlari.
“Oppa... menurutmu, manusia itu diciptakan untuk bahagia, atau hanya untuk terus mencari makna?” tanyanya pelan.
Seo-Joon bersandar ke sofa, napasnya terdengar berat tapi tidak tergesa.
“Aku pikir manusia diciptakan untuk menderita... dan dari penderitaan itu, mereka mulai menciptakan makna—supaya tetap punya alasan buat bertahan,” ujarnya, tenang tapi menghantam tepat ke jantung. Areum terdiam. Dadanya sesak, bukan karena sedih, tapi karena terlalu paham. Atau... karena merasa dimengerti tanpa perlu menjelaskan.
“Itu masuk akal... Oh ya, Oppa... menurutmu bagaimana pekerjaanku sekarang?” tanya Areum tiba-tiba. Seo-Joon menoleh, menatapnya sejenak sebelum menjawab.
“Sepertinya menyenangkan. Tapi kalau aku jadi kamu, aku tidak akan bekerja jadi kasir. Kamu bilang sendiri tadi, terlalu santai di masa muda itu tidak baik. Kamu punya potensi, Areum. Aku pikir kamu harusnya lanjut S2. Supaya masa depanmu lebih baik.” ujar nya yang membuat Areum menunduk, wajahnya berubah.
“Kamu seperti Eomma aja... padahal aku berharap dapat pembelaan dari kamu,” ucapnya pelan, setengah kesal. Seo-Joon terkekeh, menyilangkan kakinya santai.
“Kau tahu ada pepatah bilang, orang bodoh lebih berbahaya daripada orang jahat... Bayangkan saja, mereka membuat masalah hanya karena tidak tahu apa-apa.” ujar nya yang membuat Areum mengangkat alis, menatapnya.
“Kutipan itu seperti paradoks... terdengar kontradiktif tapi menyimpan kebenaran. Meskipun... aku tidak sepenuhnya setuju.” ujar nya yang membuat Seo-Joon mengangguk.
“Tapi tetap benar. Orang jahat itu biasanya pintar—makanya mereka bisa jahat. Tapi orang bodoh? Mereka bisa menghancurkan tanpa sadar. Itu ironis, tapi nyata.” balas nya yang membuat Areum menatapnya lekat-lekat. Dalam diamnya, ia tahu—cara berpikir Seo-Joon tidak pernah berubah. Dan itu, entah kenapa, selalu membuatnya merasa... aman.
“Bukankah itu terlalu tidak adil?” kata Areum, suaranya rendah, nyaris seperti gumaman.
Seo-Joon mengangkat alisnya sedikit, lalu mencondongkan tubuh, menyandarkan kedua lengannya di meja kayu. Cahaya siang menembus jendela, memantul samar di lensa kacamatanya.
“Apa yang tidak adil?” tanya Seo-Joon, nada suaranya datar tapi menimbulkan rasa ingin tahu.
“Bahwa orang bodoh bisa merusak sesuatu hanya karena mereka tidak tahu. Tapi yang menanggung akibatnya justru orang lain,” jawab Areum sambil menatap keluar jendela, matanya mengikuti pantulan cahaya di kaca. Napasnya terdengar ringan, tapi ada rasa frustrasi yang tersembunyi di balik kata-kata itu.
“Sejak kapan dunia ini adil?” Seo-Joon menunduk sedikit, suaranya tenang tapi tidak sinis. “Keadilan itu konsep yang diciptakan manusia—untuk menenangkan diri dari kekacauan yang tak bisa mereka kontrol.” Lalu ia menatap Areum, menunggu tanggapannya.
“Itu benar… sangat benar, adil itu halusinasi yang indah, tapi menyeramkan,” Areum terkekeh pelan, suaranya bergetar sedikit karena lega bisa mengungkapkan isi hatinya.
“Aku memang jarang salah,” tambah Seo-Joon, setengah bangga, setengah bercanda.
“Tapi, Oppa… aku suka bekerja di sana. Apa Oppa bisa bantu aku?” Tanya Areum, nada suaranya terdengar ragu tapi penuh harap. Matanya menatap Seo-Joon, menunggu jawaban seperti anak yang ingin dimengerti.
“Apa?” Seo-Joon terdengar bingung, alisnya sedikit mengerut.
“Aku mendapatkan tawaran pekerjaan di Gangnam. Masih sama di café juga, tapi orangnya beda. Aku ingin mencoba hidup mandiri di sana… tapi Eomma tidak mengizinkanku,” ujar Areum, bibirnya sedikit menegang. Matanya menatap lantai, lalu kembali menatap Seo-Joon. Diam sejenak, keduanya saling tatap beberapa saat, hingga akhirnya Seo-Joon mengangguk pelan.
“Jadi… kamu ingin aku lakukan apa?” tanyanya, nada masih terdengar bingung tapi lembut.
“Bantu yakinkan Eomma,” kata Areum, bibirnya menirus, seolah meminta sesuatu yang sangat penting. Seo-Joon mengangkat tangan dengan cepat, seakan menahan diri dari respons spontan.
“Aku tidak bisa… kamu bisa minta hal lain,” ujar Seo-Joon, jelas sudah bicara dengan ibunya sebelumnya dan tahu batasnya.
“Oppa… ayolah, jika berhasil aku akan berikan apa pun yang kamu inginkan, aku janji,” kata Areum sambil menyodorkan jari kelingkingnya, mata berbinar penuh tekad. Seo-Joon menatapnya datar, sedikit tak percaya pada tingkah Areum yang tidak biasa itu.
“Apa keuntunganku? Katakan, apa yang akan kamu berikan jika berhasil?” Suaranya tenang, tapi tajam menanyakan keseriusan Areum.
“Apapun yang Oppa mau, bahkan jika Oppa meminta aku membantu menghitung biji kacang saat di hukum Oehalmeoni, aku akan lakukan,” ujarnya mantap, menatap mata Seo-Joon.
“Aku sudah tidak pernah di hukum seperti itu lagi,” ujar Seo-Joon kesal, alisnya berkerut ringan, tapi ada nada geli yang samar.
“Itu kan perumpamaan,” kata Areum sambil mengusap lembut kepalanya sendiri, bibirnya mengerucut kecil. Seo-Joon menghela napas pelan, bersandar kembali ke kursinya, matanya menatap Areum yang kini menatapnya penuh harap.
“Kamu itu… selalu pakai cara aneh untuk negosiasi,” ucapnya sambil menggeleng pelan, sudut bibirnya mulai terangkat membentuk senyum setengah tak rela.
“Cara aneh tapi efektif, kan?” Areum tersenyum kecil, menatapnya dengan mata berbinar, lalu menjulurkan tangan seolah hendak melakukan pinky promise.
“Ayo, janji dulu. Kalau kamu berhasil bujuk Eomma, aku akan… hmm… belikan kamu kopi tiap minggu selama sebulan,” ujarnya, suara kecil tapi penuh keyakinan, membuat Seo-Joon menaikkan sebelah alis, nada setengah tak percaya.
“Hanya sebulan? Kurang loyal,” balasnya dengan senyum tipis, nada bercanda tapi ada makna terselip. Areum menggeleng cepat.
“Oke, dua bulan. Tapi hanya kopi hitam, jangan macam-macam!” ujarnya, bibirnya mengerucut, tatapan serius tapi mata tetap bersinar nakal. Seo-Joon mengangguk ringan, seolah sedang menimbang sesuatu.
“Hmm… tawaran menarik. Tapi aku butuh sesuatu yang lebih menyiksa untukmu,” ucapnya sambil menyipitkan mata, nada serius tapi jenaka.
“Apa? Ayolah Oppa, aku ini anak perempuan, jangan sekejam itu padaku,” ujar Areum, bibirnya meruncing, mata mengerling sedikit, tapi terdengar geli. Seo-Joon terkekeh pelan, suaranya ringan.
“Lalu kenapa? Dalam negosiasi kita tidak melihat gender. Jadi aku ingin kamu membantu ku mengerjakan semua tugas kampus ku,” balas Seo-Joon, nada tegas tapi bercanda, membuat Areum langsung meringis, bahunya menegang.
“Oppa, itu penyiksaan namanya. Mana bisa aku bekerja sembari menyelesaikan tugasmu yang penuh angka-angka itu,” ujar Areum, suara hampir berteriak pelan, pipinya memerah.
“Kamu yang bilang ‘apa saja’ tadi,” balas Seo-Joon tenang, suaranya penuh kemenangan, nada sedikit menggoda. Areum menghela napas berat, menunduk sebentar sebelum mengangguk pasrah.
“Baiklah, aku setuju… dan kopi dua bulan. Asal kamu bantu bujuk Eomma,” ujar Areum, suara lirih tapi mantap. Seo-Joon diam sejenak, lalu menautkan jari kelingkingnya dengan jari Areum.
“Deal,” jawabnya sembari tersenyum, matanya berbinar puas. Dia begitu senang bisa mengerjai Areum, yang biasanya selalu mengerjai dirinya.
Mereka terdiam sesaat, hanya terdengar suara halus napas dan gemerisik kertas di meja, sebelum akhirnya Areum kembali bicara pelan.
“Oppa,” panggil Areum lirih, suaranya nyaris seperti bisikan, setelah beberapa detik menahan kata-kata.
“Hm?” jawab Seo-Joon pelan, matanya menatap Areum dengan rasa ingin tahu yang lembut.
“Aku ingin mencoba hidup di luar bayangan siapa pun. Aku ingin belajar gagal... dan bertanggung jawab atas pilihanku sendiri. Aku tidak mau jadi orang dewasa yang selalu dituntun,” ujar Areum, dadanya berdebar, jemarinya menekuk di pangkuan. Kata-katanya mengalir pelan, tapi jelas penuh tekad. Seo-Joon menatapnya lekat, lalu mengangguk pelan, seolah menerima beban dan keberanian yang ia ungkapkan.
“Kamu tahu tidak... jarangseureowo Areum-ah,” ujarnya, nada hangat menyusup ke hati Areum. Mata Areum melebar sedikit, terkejut tapi hangat. “Dulu kamu selalu takut mengambil langkah sendiri. Tapi sekarang kamu berani. Itu bukan hal kecil, Areum-ah. Itu butuh keberanian,” lanjut Seo-Joon, suaranya lembut tapi tegas. Areum tak menjawab—senyum tipisnya cukup menjelaskan segalanya. Ada rasa lega, ada rasa diterima, dan... ada sedikit keberanian baru tumbuh dari kalimat itu.
“Oke, aku akan bantu bicara sama Gomo... Tapi kalau gagal, kamu tetap harus menepati janjimu,” ujar Seo-Joon akhirnya, menatap Areum dengan ekspresi setengah menyerah, setengah menggoda, bibirnya membentuk senyum tipis yang sulit ditolak.
Areum langsung mengangkat dua jarinya membentuk peace sign, pipinya memerah tipis, wajahnya sumringah.
“Siap, Sir,” balasnya penuh semangat, suara kecil tapi berenergi, seolah menyalurkan semua keberanian yang baru ia rasakan.
Mereka tertawa bersamaan, tawa ringan yang hanya dimiliki oleh dua orang yang tumbuh bersama, tahu cara bercanda tanpa harus menjelaskan, suara mereka menempel di udara, hangat seperti cahaya siang yang menembus jendela. Di luar, angin berbisik pelan melalui dedaunan, seakan ikut menyimak kebahagiaan kecil itu—momen yang sederhana tapi begitu berarti.
Hari itu, Areum menghabiskan waktu liburnya di rumah keluarga sang ibu—di Seodaemun-gu, tempat yang selalu punya aroma kenangan masa kecil. Banyak hal ia lakukan: membantu Oehalmeoni membuat jeon, mengobrol santai dengan Seo-Joon sambil duduk di beranda, bahkan ikut menemani sang ibu berbelanja kebutuhan dapur dan keperluan sang nenek di pasar tradisional. Siang yang sederhana, tapi terasa penuh.
Ada perasaan hangat yang tumbuh di akhir hari saat mereka pulang. Perasaan lega... karena akhirnya, setelah berhari-hari merasa tertahan, ia berhasil membujuk ibunya. Areum diizinkan untuk bekerja di Gangnam. Semua itu tentu tak lepas dari bantuan Seo-Joon—sang kakak sepupu yang meskipun sering menyebalkan, selalu tahu cara menyelipkan kata-kata yang tepat pada waktu yang pas.
Senja mulai turun saat mereka kembali ke rumah mereka di Mapo-gu. Kali ini, ibunya duduk di kursi penumpang, sementara Areum yang menyetir. Langit berwarna oranye pucat, dan jalanan mulai lengang. Dari balik jendela mobil, cahaya lampu kota mulai bermunculan, menciptakan siluet tenang di wajah Areum.
Sepanjang perjalanan dari Yeonhui-dong—Seodaemun-gu, Areum tak henti-hentinya tersenyum. Bahagia. Rasanya seperti benang kusut dalam pikirannya perlahan terurai. Satu rintangan—rintangan yang selama ini menjadi penghalang utama—akhirnya selesai.
“Eomma… terima kasih sudah percaya padaku,” ucap Areum tiba-tiba, lirih tapi jelas. Ibunya menoleh sekilas, lalu menjawab dengan datar, tapi tak sepenuhnya dingin.
“Bukan percaya. Hanya memberikan kesempatan. Kalau terjadi apa-apa padamu di sana… Eomma akan datang sendiri menjemputmu.” ujar nya yang membuat Areum tersenyum, paham bahwa itu cara ibunya menunjukkan cinta—dengan menjaga, bukan memanjakan.
“Aku sayang Eomma,” ucapnya lembut, menahan gemuruh kecil di dadanya.
Namun sang ibu tidak membalas. Hanya diam, menatap jalanan di depannya. Tapi Areum tahu… diam itu bukan penolakan. Itu hanyalah bentuk lain dari rasa sayang yang tak selalu bisa diterjemahkan lewat kata.
Perjalanan pulang itu berakhir dalam ketenangan. Tak ada percakapan lagi, hanya suara mesin mobil dan lagu dari radio yang mengalun pelan di latar. Malam itu ditutup dengan hati seorang anak perempuan yang sedang bahagia... karena keinginannya—sekecil apapun itu—akhirnya dikabulkan oleh orang tua yang paling ia hormati.
Dan terkadang, itu saja sudah cukup.