NovelToon NovelToon
When The Game Cross The World

When The Game Cross The World

Status: sedang berlangsung
Genre:Kehidupan di Sekolah/Kampus / Transmigrasi ke Dalam Novel / Kebangkitan pecundang / Action / Harem / Mengubah Takdir
Popularitas:454
Nilai: 5
Nama Author: Girenda Dafa Putra

Dunia pernah mengenalnya sebagai Theo Vkytor—penulis jenius di balik Last Prayer, karya horor yang menembus batas antara keimanan dan kegilaan. Tapi sejak kemunculan Flo Viva Mythology, game yang terinspirasi dari warisan kelam ciptaannya, batas antara fiksi dan kenyataan mulai runtuh satu per satu. Langit kehilangan warna. Kota-kota membusuk dalam piksel. Dan huruf-huruf dari naskah Theo menari bebas, menyusun ulang dunia tanpa izin penciptanya.

Di ambang kehancuran digital itu, Theo berdiri di garis tak kasat mata antara manusia dan karakter, penulis dan ciptaan. Ia menyaksikan bagaimana realitas menulis ulang dirinya—menghapus napasnya, mengganti jantungnya dengan denyut kode yang hidup. Dunia game bukan lagi hiburan; ia telah menjadi kelanjutan dari doa yang tidak pernah berhenti.

Kini, ketika Flo Viva Mythology menelan dunia manusia, hanya satu pertanyaan yang tersisa.

Apakah Theo masih menulis kisahnya sendiri… ataukah ia hanya karakter di bab yang belum selesai?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Girenda Dafa Putra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Dua Sisi Neraka

...Chapter 16...

‘Erietta dan Aldraya itu, dua sisi neraka yang ditakdirkan saling melahap—walau dunia ini musnah sekalipun.’

Theo paham betul, sejak awal permainan hingga seratus kali tamat yang telah ia lewati, tidak ada satu pun garis naskah yang mempertemukan Erietta Bathee dan Aldraya Kansh Que dalam keadaan damai. 

Keduanya ibarat dua bintang yang bersinar di kutub berlawanan, masing-masing menolak gravitasi yang lain, saling menolak tapi tak bisa benar-benar lepas. 

Dalam setiap alur, setiap skenario, setiap rute alternatif yang pernah Theo telusuri, keduanya selalu berakhir dalam konflik.

Entah dalam bentuk perdebatan dingin, saling sabotase di medan latihan, atau perang kecil yang berujung salah satu di antaranya terluka parah. 

Dunia Flo Viva Mythology bahkan menjadikan permusuhan mereka sebagai fondasi keseimbangan paling aneh.

Jika salah satu di antara mereka lenyap atau berubah terlalu baik, seluruh sistem permainan mulai kehilangan stabilitasnya.

Dan kini, melihat dua sosok itu saling menatap di dunia nyata—bukan di layar, bukan di skenario—membuat Theo merasa seolah-olah sejarah digital sedang meniru dirinya sendiri, dengan ketepatan nan terlalu menyeramkan.

“Menarik juga, Aldraya. 

Kau bukan tipe yang bisa santai jalan berdua dengan laki-laki, apalagi mengobrol ringan. 

Jadi, ini hanya kebetulan, atau memang ada tujuan tertentu kalian bisa bertemu dan berjalan bersama sejauh ini?”

Dan sesuai dugaan Theo, adegan itu memang tak terhindarkan. 

Langkah-langkah ringan Erietta Bathee terdengar lebih cepat daripada biasanya, menyiratkan sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan. 

Setiap hentak sepatunya seperti menuliskan rasa curiga di atas permukaan tanah.

Dan tatapan matanya—tajam, nyalang, sekaligus terluka—menyapu Theo dan Aldraya tanpa ampun. 

Dalam game Flo Viva Mythology, ekspresi seperti itu hanya muncul saat Erietta mendapati pengkhianatan dalam jalur emosionalnya dengan Ilux Rediona. 

Tapi kini, bukan Ilux yang berdiri di sisi Aldraya, melainkan Theo—seorang lelaki yang, secara naratif, seharusnya tak lebih dari karakter pembantu di tepi panggung. 

Dan justru itu yang membuat situasi ini terasa menegangkan, menyerupai sebuah glitch nan menolak diperbaiki oleh logika dunia.

"...."

"Aku pikir ini cuma kebetulan, Erietta. 

Tidak ada yang disengaja. 

Aku hanya kebetulan bertemu Aldraya di dekat sini. 

Dan karena sepertinya dia juga menuju perpustakaan, kuajak jalan bareng. 

Itu saja."

Fuuuuh - fuuuuh!

"Kau tahu, Theo? Kebohongan tak bisa ditutup seperti keindahan kelopak bunga. 

Ia selalu terbuka, bahkan saat akar kebenarannya membusuk di dalam tanah."

Tak berhenti sampai di situ—dan memang, tidak ada yang benar-benar berhenti ketika dua arus yang saling bertolak dipaksa bertemu di satu titik. 

Aldraya, seperti patung yang dibentuk dari es dan kehendak baja, tetap tak mengeluarkan sepatah kata pun. 

Pandangannya menembus garis horizon, tak menoleh, tak berkedip, seolah tubuhnya hanya wadah kosong bagi sesuatu yang lebih besar dari sekadar kehendak manusia. 

Di sisi lain, Theo berdiri dengan gestur santainya yang khas—sebuah cara untuk menyembunyikan ketegangan yang menelusup di sela nadi.

Ia mengangkat kedua telapak tangan sejajar dada, jari-jarinya mengarah ke langit, lalu dengan gerak cepat, ia kibaskan ke kanan dan ke kiri seperti seseorang yang sedang menolak tuduhan, tapi juga mencoba menertawakan situasi absurd di hadapannya.

‘Cuma kebetulan,’ katanya, lirih tapi tegas. 

‘Sumpah, cuma kebetulan aneh yang bahkan aku sendiri gak ngerti kenapa bisa kejadian. Aku cuma mau ke perpustakaan, cari Ilux Rediona—barangkali, kau tahu, ngelurusin beberapa hal.’

Nada itu ringan, tapi ada kesengajaan tersembunyi di balik setiap katanya.

Theo ingin memalingkan pusat perhatian Aldraya dari dirinya. 

Ia tahu, semakin lama perempuan itu diam dan terus menatap dunia tanpa emosi, semakin banyak bahaya nan berputar di sekitar mereka.

Namun Erietta Bathee bukan gadis yang mudah diperdaya. 

Tatapannya yang tajam kini berubah menjadi bentuk kecurigaan nan nyaris mistis—sebuah tatapan yang mampu menembus kebohongan hingga ke lapisan perasaan paling tersembunyi. 

Ia menautkan kedua tangan di belakang punggung, lalu melangkah mengitari Theo dan Aldraya, langkah demi langkah, sebanyak empat putaran penuh. 

Setiap putaran menegaskan bahwa Erietta sedang mengukur jarak antara kenyataan dan sandiwara, antara apa yang terlihat dan apa yang sebenarnya berdenyut di dalam dada dua orang di hadapannya. 

Suara langkahnya lembut, namun bagi Theo, setiap gesekan sepatu dengan tanah terdengar bagai gemerincing bel bahaya.

Ketika putaran keempat berakhir, Erietta berhenti tepat di belakang Theo, lalu perlahan mencondongkan tubuhnya, mendekat hingga napasnya hampir menyentuh kulit bahunya. 

Dunia di sekitar mereka seakan membeku, hanya menyisakan desiran halus dari udara nan bergetar oleh ketegangan yang menggantung.

‘Lucu sekali,’ ucapnya dengan suara lembut tapi penuh pisau di balik nada. 

Kau tahu, Theo? Kebohongan tak bisa ditutup seperti keindahan kelopak bunga. 

Ia selalu terbuka, bahkan saat akar kebenarannya membusuk di dalam tanah.’

Theo menelan ludah, matanya tak berani menatap balik. 

Kalimat itu bukan hanya sindiran.

Itu adalah deklarasi perang diam-diam antara dua jiwa yang sama-sama enggan kalah. 

Di sudut pandang matanya, Aldraya tetap mematung, tapi ada sesuatu yang nyaris tak terlihat—sebuah helaan napas kecil, atau mungkin getaran ringan di ujung jemarinya. 

Ia tidak marah, tidak pula takut. Namun atmosfer di sekitar mereka berubah. 

Udara menegang, cahaya matahari yang tadinya lembut kini terasa dingin, menekan, sedang menanti siapa di antara mereka bertiga yang akan mengucapkan kalimat berikutnya dan mengubah segalanya.

'Apakah dia akan marah setelah mendengar itu? Atau mungkin aku yang terlalu banyak berpikir?'

Wusssh!

'Aldraya bukan tipe yang mudah tersinggung. 

Sejauh yang kutahu, meski dunia dalam Flo Viva Mythology sudah dilahap konflik, Aldraya tetap tenang, seperti salju yang mampu menutupi bara di bawahnya. 

Dia takkan bereaksi hanya karena sindiran kecil dari Erietta.’

Shuuush!

‘Aldraya hanya akan terpancing jika ada yang menyentuh soal ketaatan, iman, atau kesombongan, ya, soal ketakwaan seorang hamba kepada yang Maha Esa. 

Bagi dia, itu bukan sekadar ide, tapi luka. 

Dan selama Erietta tidak mengusik itu, semuanya akan tetap baik-baik saja.’

Sepatutnya—setidaknya menurut seluruh jam terbang Theo sebagai pemain veteran Flo Viva Mythology—Aldraya Kansh Que bukanlah sosok nan mudah tersulut oleh sindiran ringan semacam itu. 

Ia bukan tipe karakter yang bereaksi karena harga diri atau emosi sesaat.

Seluruh algoritma jiwanya, begitu Theo menyebutnya, dibangun atas keseimbangan sempurna antara ketegasan dan ketidakpedulian. 

Dalam game, bahkan ketika dunia runtuh di sekitarnya, Aldraya hanya akan menatap reruntuhan itu seolah sedang memeriksa hasil percobaan ilmiah yang gagal separuh jalan.

Namun di sini—di dunia nyata yang kini menjadi panggung aneh bagi Theo—ada sesuatu yang berbeda. 

Terdapat sesuatu di balik mata abu-abu Aldraya nan biasanya seperti kaca bening tak berperasaan, kini bergetar halus, bagai air yang disentuh angin pertama sebelum badai.

Theo menahan napas, mencoba mencari-cari alasan di dalam ingatannya.

Seharusnya, jika ada momen di mana Aldraya sampai terpancing atau menunjukkan gejala emosi, itu hanya karena satu hal—ketika Erietta Bathee mulai membicarakan tiga hal terlarang baginya.

Ketaatan, iman, dan keangkuhan.

Tiga kata itu seperti mantra pemanggil luka nan tersimpan jauh di dasar eksistensi Aldraya. 

"Kebenaran adalah kebenaran, kesesatan adalah kesesatan.

Jangan berusaha mengaburkan batas di antara keduanya—"

Tsuuuuf!

"—Tapi ini sebuah pengecualian untuk orang yang belum paham aturan."

Namun yang terjadi justru sebaliknya.

Langit di atas seolah menahan napas, membeku dalam tabir cahaya pucat yang tak sempat menentukan siang atau malam. 

Bersambung….

1
Asri Handaya
semangat berkarya ya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!