Yurika Hana Amèra (Yuri), mahasiswi akhir semester dua yang mencari tempat tinggal aman, tergiur tawaran kosan "murah dan bagus". Ia terkejut, lokasi itu bukan kosan biasa, melainkan rumah mewah di tengah sawah.
Tanpa disadari Yuri, rumah itu milik keluarga Kenan Bara Adhikara, dosen muda tampan yang berkarisma dan diidolakan seantero kampus. Kenan sendiri tidak tahu bahwa mahasiswinya kini ngekos di paviliun belakang rumahnya.
Seiring berjalannya waktu, Yuri mulai melihat sisi asli sang dosen. Pria yang dielu-elukan kampus itu ternyata jauh dari kata bersih—ia sangat mesum. Apalagi ketika Kenan mulai berani bermain api, meski sudah memiliki pacar: Lalitha.
Di tengah kekacauan itu, hadir Ezra—mahasiswa semester empat yang diam-diam menaruh hati pada Yuri sejak awal. Perlahan, Ezra menjadi sosok yang hadir dengan cara berbeda, pelan-pelan mengisi celah yang sempat Yuri rindukan.
Antara dunia kampus, cinta, dan rahasia. Yuri belajar bahwa tidak semua yang berkilau itu sempurna.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SweetMoon2025, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Pecahan Hari, Luka yang Tersembunyi
Yuri yang posisinya hampir saja terjatuh, diam-diam berusaha mencari pegangan. Pinggiran wastafel jadi tumpuannya. Salah satu kakinya jelas keseleo akibat dorongan Tania.
Tok. Tok. Tok
"Siapa di dalam? Kok toiletnya dikunci?," suara seseorang di luar sana sambil mencoba memutar gagang pintu toilet. Yuri yakin itu suara Isa, sahabatnya.
"Awas saja kalau gue lihat lo deket-deket Ezra lagi. Ezra cuma punya gue. Ingat itu!," Tania mendesis, menatap Yuri tajam sambil menepuk dada Yuri keras. Tangan lainnya masih menjambak rambut Yuri kuat-kuat, ada beberapa helai rambut Yuri yang rontok terlihat dari sudut matanya.
Setelah melepaskan cengkeramannya, Tania menyisir rambut panjangnya ke belakang. Gerakannya membuat tubuh Yuri kembali terbentur pinggiran wastafel.
Tania memberi isyarat pada teman-temannya untuk keluar. Dia nggak mau cari ribut hari ini—di luar banyak senior dan alumni. Namanya nggak boleh jelek. Nanti saja dia buat perhitungan.
Klik.
Pintu toilet terbuka. Isa muncul dengan wajah bingung. Tania dan dua temannya keluar begitu saja sambil melirik sinis, seolah Isa mengganggu aktivitas mereka.
“Dih, apaan sih,” batin Isa, lalu masuk. Dia sempat mau langsung masuk ke bilik toilet, tapi urung malah terkaget melihat keadaan Yuri.
"Loh, Yuri. Kenapa kaki lo?" Isa mendekat, melihat Yuri sudah melepas kedua alas kakinya. Tangannya sibuk memijat kaki yang keseleo.
"Biasa, nih gegara sepatu ulekan. Sss," ringisnya.
"Gue cariin es batu saja apa? Bentar ya, tapi gue mau pipis dulu. Tunggu sebentar ya, Ri."
***
"Gimana ceritanya lo bisa keseleo sih?" omel Isa sambil memapah Yuri jalan ke ruangan kelas yang saat ini kosong dekat toilet.
"Namanya apes, Sa," Yuri cuma bisa nyengir, kakinya jelas nyut-nyutan.
“Bener nggak mau ke sekre aja? Banyak anak BEM, bisa bantu nangani kaki lo di sana.”
“Nggak. Ramai banget di sana. Gue ogah jadi tontonan. Nanti, acara Himpro gue datang bentar saja ya, habis itu langsung balik ke kosan.”
“Nggak ikut juga nggak apa-apa, Ri. Lo sakit gini,” kata Isa lagi. Yuri hanya mengangguk lemah. Isa undur diri mencari obat di ruang BEM sekalian mengambil tas Yuri di ruang buletin.
Yuri mengetik pesan.
Yuri: Wid, lo di mana?
Widya: Ini lagi jalan di gedung Fakultas. Lo di mana?
Yuri mengirim foto selfie dirinya di kelas kosong, lengkap dengan lokasi.
Kurang dari lima belas menit, suara ketukan sepatu dari dua arah terdengar. Isa dan Widya datang bersamaan.
“Loh, Sa? Mau ke mana? Itu kan tas Yuri?” Widya bingung melihat tas di tangan Isa.
Keduanya masuk, dan Widya terbelalak. Yuri terduduk lemah di lantai, kaki memerah dan bengkak. Sepatu hak tinggi tergeletak nggak jauh dari posisinya.
Isa menjelaskan kalau Yuri keseleo. Tapi Widya jelas nggak percaya sepenuhnya—rambut Yuri sedikit acak-acakan. Ada sesuatu yang aneh. Nanti akan ia tanyakan.
Mereka berdua segera mengobati Yuri. Widya berkali-kali menyarankan Yuri untuk pulang saja, tapi Yuri menolak. Dia tetap mau datang ke acara Himpunan sebentar, dengan rencana duduk pojok, nyempil dibelakang saja. Cuma setor muka.
Kaki Yuri dibebat perban elastis yang Isa dapat dari kotak P3K BEM dan memberinya obat pereda nyeri. Yuri mengganti sepatu dengan sepatu basketnya, memakai jaket untuk menutupi tubuhnya yang mulai menggigil. Widya membantu merapikan rambutnya yang berantakan.
“Fuhhh…” helaan napas Yuri terdengar berat saat ia berdiri dan berjalan pelan. Tas ransel penuh barang tetap ia bawa sendiri—dia nggak mau jadi tontonan.
“Pelan-pelan. Kita langsung ke Saung aja, ya,” kata Widya. Isa sendiri sudah pamit kembali ke ruang BEM.
“Jangan pegangin gue, Wid. Gue nggak apa-apa. Males kalau diliatin orang.”
“Oke, oke…”
***
Mereka duduk di paling belakang, dekat pintu keluar. Acaranya lesehan, wajib untuk mahasiswa angkatan pertama. Senior dan alumni memberi banyak arahan dan nasihat.
Yuri sesekali meringis diam-diam. HP di saku jaket bergetar terus, tapi ia mengabaikannya. Sejak sesi foto tadi, ia belum bertemu Ezra atau bicara dengannya. Untung, mungkin—dia belum sanggup berurusan dengan drama Tania lagi.
“Sst, Ri,” bisik Widya. Yuri langsung menoleh.
Widya memberi kode ke arah depan. Yuri mengangkat wajahnya, melihat Pak Kenan baru datang.
“Terus, kenapa…” gumam Yuri sambil meringkuk menahan rasa sakit lainnya, kali ini malah sakit di bagian perut.
“Seger aja gitu,” bisik Widya genit.
Padahal Pak Kenan datang bareng pacarnya.
Yuri mengalihkan pandangan, mencoba fokus ke mana saja. Badannya mulai letih. Di seberang, Ezra sedang menatapnya, memberi kode agar Yuri mengecek HP.
Yuri pura-pura nggak lihat. Sekarang ia belum sanggup. Kakinya keseleo, kepalanya berdenyut, perutnya mendadak sakit dan mentalnya lelah habis diserang fans Ezra tadi secara brutal.
Acara berlangsung hampir tiga jam. Yuri jelas bosan, lelah, letih, lapar. Dia belum makan apa-apa dari siang tadi. Minum juga sedikit.
Sebelum acara benar-benar selesai, Yuri mengajak Widya untuk keluar, mereka mengendap-endap keluar ruangan saat semua yang ada di ruangan fokus ke arah podium, salah satu dosen senior yang juga alumni sedang memberi wejangan.
Yuri mengajak Widya jalan ke arah berlawanan. Dia nggak mau berpapasan dan kena tegur sama mahasiswa di jurusannya.
Widya mengikuti ritme jalan Yuri yang pelan, sudah mirip banget sama siput. Sesekali dia minta Widya buat berhenti dan nyender di tembok. Badannya mulai oleng.
"Kita ke tempat Tante aja ya. Biar dicek kaki lo," Yuri yang merasa badannya makin melemah hanya pasrah saat Widya merangkulnya. Sebelumnya, Widya kasih kabar ke tantenya lewat pesan singkat, kalau dia bakal datang ke RS bareng Yuri.
Mobil ojek online yang dipesan Yuri datang tepat di depan gedung Fakultas. Perlahan Widya menbantu Yuri buat turun tangga.
Padahal cuma keseleo, kenapa gue lemah gini, batin Yuri. Ini bukan pertama kalinya dia keseleo, waktu masih bermain basket dia udah beberapa kali mengalaminya. Tapi, kali ini kenapa beda?
***
"Ini kenapa?" tanya Tante Widya saat keduanya tiba, ia langsung mengarahkan keduanya ke salah satu ranjang.
"Kaki Yuri keseleo tante, tapi dia lemes banget, kayak mau pingsan, badannya juga mulai panas," kata Widya panjang lebar.
Tante Diah langsung mengecek kondisi Yuri dan mengobati bengkak di kaki Yuri yang mulai membesar. Setelah selesai, beliau juga memberi cairan infus dan membuat Yuri tidur untuk istirahat sejenak.
Widya digiring tantenya buat ikut dengannya mengurus administrasi.
"Dia kekurangan cairan dan sepertinya belum makan juga, selain kakinya keseleo. Biarkan dia istirahat sampai cairan infusnya habis ya, Wid."
"Iya, tante."
***
Sementara itu, Ezra nggak melihat Yuri lagi sejak acara selesai. Dia merasa Yuri menghindar. Tadi saat Yuri datang—dia sempat lihat Yuri jalannya pincang, tapi Yuri pura-pura kuat.
Kenapa? Apa yang gue lewatkan?
Dia kesal sendiri hingga beberapa kali memukul setir. Dari tadi ia terus menelpon dan mengirim pesan, tapi nggak ada respons.
Ezra menarik napas kasar, menghidupkan mesin mobil. Dia mau pulang, mandi, dan nanti menelpon Yuri lagi.
Saat mobil melaju keluar, ia melihat Tania dan gengnya di seberang, berusaha untuk ikut bareng.
Ezra menolak mentah-mentah.
Tanpa sepatah kata pun, ia pergi.
Masih dengan kegelisahannya, masih mencari tanda dari Yuri.