NovelToon NovelToon
Tangis Dan Doa Dalam Kegelapan

Tangis Dan Doa Dalam Kegelapan

Status: sedang berlangsung
Genre:Pihak Ketiga / Ibu Tiri / Selingkuh / Janda / Cinta Terlarang / Romansa
Popularitas:822
Nilai: 5
Nama Author: Queen_Fisya08

Setelah bertahun-tahun hidup sendiri membesarkan putrinya, Raisa Andriana seorang janda beranak satu, akhirnya menemukan kembali arti cinta pada Kevin Wibisono duda beranak dua yang terlihat bijaksana dan penuh kasih. Pernikahan mereka seharusnya menjadi awal kebahagiaan baru tapi ternyata justru membuka pintu menuju badai yang tak pernah Raisa sangka

Kedua anak sambung Raisa, menolak kehadirannya mentah-mentah, mereka melihatnya sebagai perebut kasih sayang ayah nya dan ancaman bagi ibu kandung mereka, di sisi lain, Amanda Putri kandung Raisa, juga tidak setuju ibunya menikah lagi, karena Amanda yakin bahwa Kevin hanya akan melukai hati ibunya saja

Ketegangan rumah tangga makin memuncak ketika desi mantan istri Kevin yang manipulatif, selalu muncul, menciptakan intrik, fitnah, dan permainan halus yang perlahan menghancurkan kepercayaan.

Di tengah konflik batin, kebencian anak-anak, dan godaan masa lalu, Raisa harus memilih: bertahan demi cinta yang diyakininya, atau melepas

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queen_Fisya08, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 21 Jejak Yang Mulai Terungkap

Konsentrasi Kevin buyar di tempat kerja. Untung saja hari ini jadwalnya tidak terlalu padat. Sejak pagi ia ingin menjemput Raisa, tetapi wanita itu melarangnya..

("Aku pulang sendiri saja, Mas… malam ini aku pasti pulang ke rumah setelah tutup toko") begitu isi pesan singkat Raisa

Kevin menghela napas panjang, mencoba memusatkan pikiran kembali pada tumpukan berkas di mejanya...

Namun tak lama, lamunannya buyar oleh bunyi dering ponsel, nama yang muncul di layar membuat bahunya langsung menegang.

... Laras. Putri sulungnya..

"Ayah, kenapa hari ini tidak datang? Sudah melupakan kami ya? Ayah jahat” suara Laras terdengar kesal, bahkan nyaris marah..

Kevin memijit pangkal hidungnya, ia lelah berdebat dengan anaknya dalam beberapa hari terakhir..

"Sebentar lagi ayah ke sana” jawabnya singkat..

"Kami tunggu,” ucap Laras lalu mematikan telepon begitu saja..

Kevin tersandar di kursi, ia benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran anak-anaknya yang begitu keras kepala..

Mereka belum bisa menerima Raisa, dan setiap kali Kevin mencoba menjembatani, justru pertengkaran baru yang muncul.

Begitu menyelesaikan penandatanganan berkas terakhir, ia memanggil sekretarisnya dan menyerahkan semua map itu.

"Mohon diproses hari ini,” ucapnya singkat sebelum bergegas pergi.

Ia menyetir menuju rumah ibunya, tempat kedua putrinya tinggal sementara...

Begitu mobilnya berhenti di pekarangan, Laras yang sedang duduk termenung di bangku teras langsung berdiri dan menghampirinya..

"Ayah lama sekali!” tegurnya tanpa basa-basi.

Kevin hanya terdiam, tidak ingin memulai drama baru, ia mengusap kepala putrinya dengan lembut, lalu mengajaknya masuk.

Di dalam rumah, Dewi putri bungsunya langsung berlari keluar dari kamar, tanpa berkata apa pun, ia memeluk ayahnya erat-erat, seakan takut Kevin menghilang lagi.

Setelah suasana sedikit tenang, Kevin akhirnya membuka suara.

"Kalian hari ini ikut ayah, ya. Tinggal bersama ayah dan Mama Raisa"

Ucapan itu langsung disambut ketegangan.

"Raisa itu istri ayah, bukan mama kami” ketus Laras dengan dahi mengernyit..

Kevin menatap Laras tajam.

“Jangan bicara seperti itu.”

“Ya memang kenyataannya begitu,, kenapa Ayah maksa banget supaya kami tinggal dengan Raisa? Dia bukan siapa-siapa buat kami.” ucap Laras dengan nada sinis

Kevin memijit pelipisnya.

“Dia istri ayah, dia juga wanita yang Ayah cintai dan dia adalah ibu sambung kamu Laras, kamu harus terima kenyataan itu" jelas Kevin tegas

"Dia wanita yang merebut Ayah dari kami,” jawab Laras cepat..

Kevin tercekat, ia ingin berteriak bahwa semua ini salah Desi yang menghasut mereka...

Tiba-tiba Dewi akhirnya angkat bicara.

“Ayah… kita pikirkan dulu, ya? Dewi belum siap… kita masih nggak nyaman di rumah sana.”

Pada saat itu, Bu Arum muncul dari arah dapur, membersihkan tangannya yang basah dengan kain lap...

Ia tak banyak bicara, hanya mengedipkan satu mata pada Kevin, sebuah isyarat yang sudah dipahami Kevin sejak kecil.

Isyarat bahwa ia harus sabar dan memilih waktu yang tepat untuk membicarakan sesuatu yang sensitif.

Kevin mengangguk kecil, ia tahu, malam ini akan panjang, dan mungkin, lebih sulit dari hari-hari sebelumnya..

***

Selepas meeting panjang yang menguras pikiran, Bryan tidak langsung kembali ke kantor untuk menyelesaikan berkas-berkas yang menumpuk...

Ada sesuatu yang lebih penting. Sesuatu yang jauh lebih berat dari sekadar pekerjaan, kebenaran..

Sebelum meninggal, Omah sempat menyebutkan sebuah rumah desa yang harus ia datangi jika ingin mengetahui apa yang sebenarnya terjadi pada Mama dan Aisah

Dua sosok yang selama ini hanya bisa ia lihat dalam mimpi-mimpi buruk dan kenangan samar karena waktu itu ia baru berusia enam tahun..

Hari ini, tanpa pikir panjang, Bryan memutuskan untuk pergi ke rumah itu sendiri, tanpa menyuruh anak buahnya lagi untuk menyelidiki..

Mobilnya berhenti tepat di depan sebuah rumah tua yang tampak ditelan waktu...

Catnya pudar, kusennya retak, dan halaman depannya dipenuhi ilalang yang bergerak pelan ditiup angin...

Tempat itu terlihat sepi… tetapi justru kesepiannya lah yang membuat Bryan merasa tempat itu sangat akrab..

“Tempat ini… Tempat ini yang selalu muncul dalam mimpiku.” gumam nya pelan, merasa tenggorokan nya tercekat

Mimpi yang selalu sama: dirinya kecil, berdiri di halaman rumah itu, sambil berteriak memanggil Mama..

Di dalam mimpinya, ia selalu melihat sosok perempuan berlari tergesa dengan seorang anak perempuan kecil dalam gendongannya Aisah..

Kenangan itu membuat Bryan menundukkan kepala, angin sore menyapu lembut wajahnya..

“Mama… Aisah… mudah-mudahan hari ini aku menemukan petunjuk tentang kalian.” ucap Bryan lirih mata nya mulai berkaca

Ia menyentuh pagar tua itu, merasakan dinginnya besi yang sudah berkarat, entah kenapa, sentuhan itu membuat dadanya seolah diremas..

Ada rasa rindu, ada rasa takut, ada rasa marah, semuanya bercampur..

Bryan hendak masuk lebih dekat, namun langkahnya terhenti ketika mendengar suara langkah kaki dari arah belakang..

Seorang lelaki tua dengan rambut memutih, berjalan melewati jalan kecil di depan rumah itu...

Lelaki itu memperhatikan Bryan lama sekali, kemudian, perlahan ia mendekat.

"Den,” sapa nya ramah, suaranya serak namun hangat..

"kenapa berdiri di situ? Rumah itu sudah kosong sejak lama.” ucap nya

Bryan menoleh, memperhatikan lelaki itu, ada keriput di wajahnya, namun matanya jernih penuh cerita..

“Mari ikut bapak ke rumah, di sini anginnya tidak enak, kalau Aden butuh tanya-tanya… rumah bapak dekat.” lelaki itu melanjutkan

Bryan menatap lelaki itu tanpa berkata apa-apa selama beberapa detik...

Ada sesuatu pada pria tua itu, entah tatapannya, entah suaranya yang membuat Bryan merasa ia bisa dipercaya..

“Bapak kenal dengan penghuni rumah ini?” akhirnya Bryan bertanya.

Lelaki itu tersenyum kecil...

“Kenal banget, Den, mereka orang baik.” Lalu ia menoleh sambil memberi isyarat agar Bryan mengikutinya...

“Ayo, mari, di rumah bapak lebih enak bicara nya.”

Tanpa pikir panjang, Bryan mengangguk dan berjalan mengikuti lelaki itu melewati jalan kecil yang dipenuhi aroma tanah basah.

Rumah Pak Warno tidak jauh, rumah sederhana dengan cat yang mulai memudar, namun terasa hangat hanya dengan melihatnya...

Ada tanaman bunga di depan teras, ada sandal-sandal berjejer rapi, dan ada suara ayam dari belakang rumah.

Begitu tiba di depan pintu, lelaki itu mengetuk sambil memanggil istrinya..

“Bu… Bu… ada tamu, tolong buatkan air teh hangat untuk tamu kita.” ucap nya

“Iya, Pak.” Suara perempuan dari dapur terdengar, lembut dan hangat.

Bryan masuk, duduk di kursi kayu yang sudah di pernis berulang kali, ruang tamunya sederhana, tapi ada ketenangan yang sulit dijelaskan..

“Silakan duduk, Den... Kenalkan Nama bapak Warno” ucap lelaki itu sambil ikut duduk di hadapannya...

“Terima kasih, Pak Warno, Nama saya Bryan" ucap Bryan sambil membungkuk kecil sopan..

Tak ingin membuang waktu, Bryan langsung mengeluarkan sebuah foto dari dompetnya...

Foto lama yang telah lusuh: ibunya tersenyum sambil menggendong Aisah kecil..

"Pak… apakah orang yang menempati rumah yang di sebrang jalan tadi sama persis dengan orang yang di photo ini?"” tanya Bryan.

Pak Warno mengambil foto itu, tangannya sedikit bergetar, tapi matanya menatap foto tersebut dengan fokus yang tidak pernah Bryan lihat dari orang lain selama ini.

Beberapa detik berlalu, lalu Pak Warno menghela napas panjang..

“Ya Den, ini orang nya yang ada di photo, saya sangat kenal” katanya penuh keyakinan.

“Sangat kenal" Bryan mengulangi perkataan pak Warno dan Bryan merasakan jantungnya berdetak keras...

“Benarkah, Pak?” Bryan merasa lega bercampur haru

Pak Warno mengangguk pelan, kemudian mulai bercerita..

"Sewaktu mereka tinggal di sini dulu, ibu ini… yang kami panggil sebagai Ibu Rara, adalah seorang perempuan yang sangat baik, dia suka menolong warga, suka berbagi makanan, dan anaknya… Rara kecil… adalah anak yang sopan, manis, dan cerdas.” ucap pak Warno

Bryan nyaris tidak bisa bernapas..

Rara… nama itu terasa sangat asing..

"Maksud bapak Aisah ya? Gadis kecil yang ada di photo ini kan pa?" Tanya Bryan memastikan

"Ya itu non Rara, tapi kadang mama nya memanggil ada Aisah nya, nama nya Ra... Ra" pak Warno berhenti sejenak untuk mengingat-ingat nya..

Bu Aminah keluar dan ikut angkat bicara

"Non Raisa, pak Nama nya, harap maklum Den, suami saya ini sudah pelupa... Mari silahkan di minum, supaya segar" ucap Bu Aminah sambil menyajikan teh hangat..

"Ya Den, non Raisa namanya" ucap pak Warno sambil terkekeh

"Ya sudah ibu pamit lanjut kerja lagi di belakang" ucap Bu Aminah

Lalu pak Warno melanjutkan ceritanya.. “Tapi kehidupan mereka tidak tenang, Den. Ada dua lelaki bertubuh besar sering datang ke rumah itu. Mereka kasar… dan selalu membuat suasana mencekam.”

Bryan mengepalkan tangannya, amarah naik ke dadanya..

“Pasti orang suruhan omah” desisnya..

“Warga juga sering melihat mereka bicara dengan nada mengancam, ibu Rara selalu terlihat ketakutan setelah kedatangan mereka.” ucap nya

Bryan menahan napas lalu mengeluarkan nya..

“Selain itu, ada juga seorang ibu-ibu. Orangnya galak, wajahnya sombong seperti orang yang sangat terpandang, ia datang dan marah-marah, membentak ibu Rara tanpa alasan jelas, kami warga tidak berani ikut campur.” lanjut Pak Warno

Bryan memejamkan mata, melihat sekilas bayangan seseorang dalam benaknya..

"Itu pasti Omah" gumamnya dalam hati

“Lalu… mereka pindah?” tanya Bryan

“Iya Den mereka pindah, suatu malam, tiba-tiba saja, mereka pergi tergesa-gesa, tidak pamit pada siapa pun, sejak itu rumah itu kosong.” jawab Pak Warno

Bryan menunduk air matanya hampir jatuh dan merasakan getaran kuat di dadanya, semua cerita itu cocok dengan potongan-potongan yang selama ini ia cari.

Pak Warno melihat Bryan sangat sedih dan terpukul sekali..

"Maaf Den sebelum bapak lanjut lagi cerita, Aden ada hubungan apa dengan ibu rara? Sampai Aden terlihat sangat sedih sekali" tanya Pak Warno

"Mereka itu mama dan adik saya Pak" jawab Bryan lirih

Pak Warno terkejut mendengar jawaban dari Bryan, lalu menarik nafas panjang tidak berani bertanya lagi..

"Pak apakah bapak tahu sekarang mereka tinggal di mana?" Tanya Bryan dengan harapan Pak Warno mengetahui keberadaan Ibu dan adiknya..

“Mereka sempat kembali beberapa waktu lalu Den,, singgah sebentar, tapi tidak lama, dan setelah itu… mereka belum kesini lagi Den, karena yang saya dengar non Rara sekarang punya toko roti di kota, dia bahkan mengambil beberapa karyawan dari desa ini termasuk cucu saya den” lanjut Pak Warno

“Pak...Bapak bilang Rara sekarang punya toko roti terkenal di kota?” tanya Bryan

“Iya Den" jawab Pak Warno

Napas Bryan tercekat.

Toko roti… kota…

Jika benar itu Aisah…

Jika benar Rara adalah Aisah adik ku..

Maka selama ini hanya jarak beberapa kilometer yang memisahkan kami..

“Pak… kalau boleh tahu… nama tokonya apa?” tanya Bryan lagi dengan suara nyaris berbisik..

Pak Warno geleng kepala..

“Itu yang bapak belum tahu Den, saya jarang keluar desa, tapi cucu saya Jesika kerja di toko roti itu.”

Bryan bangun saking tidak sabarnya...

“Pak, saya bisa dapat nomor telepon Jesika?”

Pak Warno mengangguk, bangkit perlahan. “Bisa, Den, tapi sinyal di sini susah, biar bapak ambilkan dulu, no telpon nya”

Ia berjalan ke kamar belakang. Bryan berdiri mematung di ruang tamu, menatap pintu kamar itu dengan jantung berdegup kencang.

Hari ini… mungkin adalah hari pertama ia benar-benar melihat cahaya dari kegelapan yang selama ini membelenggunya.

“Mama… Aisah… aku menemukan jejak kalian… akhirnya.” bisik nya

Pak Warno kembali membawa ponsel jadul dengan antena kecil, ia menyodorkan secarik kertas berisi nomor cucunya..

“Ini, Den, nomor cucu saya"

Bryan menggenggam kertas itu seolah menggenggam harapan hidupnya..

"Terima kasih, Pak. Bapak tidak tahu… betapa berharganya ini untuk saya.” ucap Bryan yang begitu senang karena ada setitik harapan.

Pak Warno tersenyum hangat...

“Semoga Den Bryan menemukan keluarga Den kembali.”

Keluar dari rumah Pak Warno, matahari hampir tenggelam, langit merah, angin sore bertiup lembut..

Bryan memandang rumah tua di seberang jalan, tempat yang pernah menjadi rumah bagi dua orang yang paling ia cintai dan ia cari selama ini..

Dan hari ini… untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia tidak merasa sendirian lagi...

"Mama... Aisah, kita akan segera bertemu, aku kangen kalian" gumam Bryan

1
Setsuna F. Seiei
Tidak hanya cerita, tetapi juga pengalaman hidup. 🤗
•°ꫀꪜꪖ°•
Gak nyangka bakal se-menggila ini sama cerita. Top markotop penulisnya!
kappa-UwU
Seru abis 🤩
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!