Kanaya terkejut saat bosnya yang terkenal playboy kelas kakap tiba-tiba mengajaknya menikah. Padahal ia hanya seorang office girl dan mereka tak pernah bertatap muka sebelumnya. Apa alasan pria itu menikahinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arandiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Malam pertama
"Jadilah milikku seutuhnya, Kanaya."
Bukan permintaan. Itu adalah perintah. Perintah yang dingin seolah tak ingin ada bantahan, sama seperti pria yang mengucapkannya.
Napas Naya tertahan di tenggorokannya. Dia tidak bisa bergerak, terkurung oleh tatapan Arjuna yang membara dan lengan kokoh yang menahannya. Harum sabun khas pria bercampur dengan aroma lain yang lebih pekat dan dasar—aroma hasrat—memenuhi indranya, membuatnya pusing.
"Lupakan pernikahan ini," bisik Arjuna, dan kata-kata itu, alih-alih melegakan, justru menusuk Naya seperti belati es.
Dia tidak ingin cinta. Dia tidak ingin pernikahan mereka. Dia hanya ingin... ini. Dia hanya ingin tubuhnya.
Rasa pilu yang tajam dan dingin menusuk jantung Naya, nyaris menenggelamkan rasa malu dan takutnya. Jadi, inilah tujuannya. Bukan untuk berdamai. Bukan untuk memulai. Ini hanya pelampiasan. Hukuman dalam bentuk lain.
Arjuna pasti melihat keraguan dan luka di matanya. Rahangnya mengeras. Sesaat, Naya mengira pria itu akan mendorongnya menjauh, dan kembali menghinanya.
Sebaliknya, dia menundukkan wajah.
Bibir Arjuna menyapu bibirnya, bukan dengan ciuman lembut, tapi dengan cara ingin memiliki. Itu seperti bukan ciuman. Itu sebuah penegasan. Panas, menuntut, dan sedikit marah. Bibirnya kasar di bibir Naya yang lembut, dan Naya memekik pelan karena keterkejutan.
"Emh... Ummm..."
Ciuman itu merenggut sisa-sisa napasnya. Tangan Arjuna yang tadi menopang tubuhnya di sisi kepala Naya, kini bergerak. Satu tangan melingkar di pinggangnya, menarik tubuh mereka hingga tak ada jarak sedikit pun. Panas tubuh Arjuna menembus sutra tipis yang dikenakan Naya, seolah ingin membakar kulitnya.
Tangan Naya yang tadinya melingkar di leher Arjuna, kini mencengkeram bahu pria itu, mencari pegangan di tengah badai yang tiba-tiba datang.
"Mas..." Naya berhasil berbisik di sela-sela ciuman itu, berusaha mendorong dadanya, namun tenaganya seolah hilang.
"Diam, Kanaya," geram Arjuna, suaranya serak dan berat. Ciumannya beralih dari bibirnya, turun ke rahangnya, lalu ke lehernya.
Setiap sentuhan bibir dan lidahnya terasa seperti sengatan listrik. Naya gemetar hebat. Logikanya berteriak untuk lari, untuk menampar pria ini dan melarikan diri ke kamar tamu yang aman.
Tapi tubuhnya... tubuhnya berkhianat.
Tubuhnya, yang tidak pernah disentuh seperti ini, yang selalu kedinginan di malam hari, kini bereaksi dengan cara yang memalukan. Kulitnya meremang. Napasnya terengah-engah. Rasa panas yang aneh berkumpul di perut bagian bawahnya, hingga membuatnya lemas.
Tangan Arjuna yang lain bergerak ke depan tubuh Naya, ke simpul kimono sutra hitam itu.
Naya membeku sambil mencegah tangan suaminya. "Jangan..."
Tatapan Arjuna terkunci pada wajah Naya. Matanya yang kelam berkilat. "Kenapa?" desisnya. "Bukankah ini yang kamu inginkan? Berpura-pura jadi istri yang baik, memasak untukku, lalu menungguku?"
"Bukan!" seru Naya, air mata perih mulai menggenang. "Saya... saya hanya..."
"Kamu memakainya," potong Arjuna, matanya kini tertuju pada simpul itu. "Kamu memakainya untukku."
Dengan satu tarikan cepat, simpul itu terlepas. Kain sutra itu meluncur terbuka. Udara dingin kamar ber-AC itu langsung menerpa kulitnya yang telanjang di balik renda-renda tipis.
Naya refleks berusaha menyilangkan tangan di depan dadanya lagi, tapi Arjuna lebih cepat. Dia menangkap kedua pergelangan tangan Naya dan menahannya dengan lembut tapi tegas di atas kepala Naya di bantal.
Kini Naya benar-benar terbuka di hadapannya.
Mata Arjuna menelusurinya, lambat dan tajam. Dari tulang selangkanya, turun ke dadanya yang naik turun dengan gugup, lalu ke perutnya yang rata, sebelum akhirnya kembali ke matanya.
"Kamu cantik," ucap Arjuna mengulanginya, tapi kali ini bukan gumaman. Itu adalah pernyataan fakta yang diucapkan dengan penuh kesadaran.
Dan kemudian, dia melepaskan ciuman itu sepenuhnya ke tubuh Naya.
Naya menjerit pelan saat bibir panas Arjuna menyentuh kulit sensitif di bawah telinganya, lalu turun perlahan. Lidahnya menggambar jejak panas di sepanjang lehernya, membuat Naya melengkungkan punggungnya dari tempat tidur.
Pria itu tahu persis apa yang dia lakukan. Dia seorang ahli, sementara Naya pemula yang kebingungan.
"Mas... Arjuna..." Naya memanggil namanya, setengah memohon, setengah pasrah.
"Ya, panggil namaku, sayang," jawab pria itu, napasnya panas di kulit dadanya. "Malam ini, aku hanya Arjuna. Dan kamu hanya Kanaya. Dan kita akan melewati malam panas bersama-sama."
Arjuna melepaskan pergelangan tangan Naya, hanya untuk membebaskan tangannya sendiri. Dia menyingkirkan tali tipis pakaian dalam itu dari bahu Naya. Sentuhannya, yang biasanya dingin dan angkuh, kini terasa membakar, penuh gairah.
Tapi kemudian, di tengah badai sensasi itu, Naya merasakan sesuatu yang aneh. Di balik hasrat yang membara itu, Naya bisa merasakan getaran halus di tangan Arjuna. Pria itu gemetar.
Arjuna—pria angkuh yang menganggapnya menjijikkan—gemetar karena menginginkannya.
Kesadaran itu menghantam Naya lebih keras daripada ciuman pria itu. Rasa takutnya tidak hilang, tapi kini bercampur dengan sesuatu yang lain. Sesuatu yang terasa seperti keinginan.
Dia berhenti melawan. Dia tidak mendorong, tidak menarik diri. Dia hanya membiarkan Arjuna melakukan aksinya.
Arjuna sepertinya merasakan perubahan itu. Dia mengangkat kepalanya, menatap Naya dari jarak yang sangat dekat. Api di matanya masih ada, tapi kini ada kebingungan di sana. Dia mungkin mengharapkan Naya melawan, menangis, atau memohon. Dia tidak mengharapkan kepasrahan dalam diam ini.
"Naya..." bisiknya, kali ini menggunakan nama panggilannya.
biar stres semoga Naya pergi jauh ke kampung biar tambah edan
udah akua hapus dari daftar favorit kemarin