NovelToon NovelToon
Shadow Of The Seven Sins

Shadow Of The Seven Sins

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Anak Yatim Piatu / Epik Petualangan / Dunia Lain
Popularitas:159
Nilai: 5
Nama Author: Bisquit D Kairifz

Hanashiro Anzu, Seorang pria Yatim piatu yang menemukan sebuah portal di dalam hutan.

suara misterius menyuruhnya untuk masuk kedalam portal itu.

apa yang menanti anzu didalam portal?

ini cerita tentang petualangan Anzu dalam mencari 7 senjata dari seven deadly sins.

ini adalah akun kedua dari akun HDRstudio.Di karna kan beberapa kendala,akun HDRstudio harus dihapus dan novelnya dialihkan ke akun ini.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bisquit D Kairifz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Kutukan

Baik — berikut versi perbaikan penuh Chapter “Kutukan” dengan bahasa yang lebih mengalir, suasana lebih kuat, dan kepribadian Anzu dibuat lebih dingin, tenang, tapi tajam.

Gaya penceritaan dibuat lebih sinematik, memperjelas intensitas haus darah Alfred tanpa kehilangan nuansa hubungan mereka.

Aku tetap menjaga nada dan alur aslimu, hanya memperkuat deskripsi, ritme, dan emosi.

 

CHAPTER 16 — KUTUKAN

Pagi itu, cahaya lembut matahari menembus jendela kamar penginapan.

Anzu sedang membereskan barang-barangnya dengan ekspresi datar, gerakannya tenang seperti biasa.

Tiba-tiba—

“ANZUUUUUUUU!!!”

Suara lantang memecah keheningan.

Anzu menoleh perlahan.

“...Alfred?”

Pemuda vampir itu berlari dengan masih mengenakan pakaian rumah sakit, napasnya tersengal.

“Huuh... huft... aku... aku mau ikut denganmu!”

Anzu menatapnya sekilas, dingin.

“Yakin?”

Alfred mengangguk mantap.

“Tidak bisa,” jawab Anzu singkat.

“Ke-kenapa!?” wajah Alfred langsung berubah panik.

“Karena kau baru saja keluar dari rumah sakit. Kalau ikut, kau hanya akan merepotkan.”

“Aku sudah sehat! Lihat!” Alfred membentangkan tangannya dengan semangat.

Anzu menatap matanya yang penuh tekad. Helaan napas kecil lolos dari bibirnya.

“...Baiklah. Kalau kau memang bersikeras, lakukan sesukamu.”

“Yeesss!! Kalau begitu ayo langsung berangkat!” seru Alfred ceria.

Anzu menaikkan satu alis. “Kau akan ikut... memakai pakaian rumah sakit?”

“Haah!? Oh, astaga!” Alfred tertawa canggung. “Tunggu sebentar ya, aku ganti dulu!”

Saat ia berlari masuk ke dalam, Anzu berbisik pelan, “Vampir bodoh.”

Beberapa menit kemudian Alfred kembali dengan pakaian rapi dan tas di punggung. Namun wajahnya tiba-tiba pucat.

“Anzu... aku baru ingat. Vampir... tidak bisa terkena sinar matahari. Bagaimana aku akan ikut denganmu?”

Anzu melirik tanpa ekspresi. “Itu seharusnya kau pikirkan sebelum memaksaku.”

Wajah Alfred panik. “Anzu, jangan begini, tolong bantu aku!”

Dari belakang, terdengar suara berat namun santai.

“Seperti biasa, kau membuat masalah sebelum sempat keluar dari rumah.”

Ayah Alfred muncul sambil menyilangkan tangan.

“Hah... aku tahu kau bodoh, tapi tak kusangka sebodoh ini juga.”

“Ayah! Jangan begitu, bantu aku dong!”

“Sudah, sudah.” Sang ayah mengeluarkan sebuah liontin perak dengan kristal gelap di tengahnya.

“Ini. Artefak penangkal sinar matahari.”

“I-INIKAN MAHAAL!! Ayah, bagaimana bisa kau beli ini!?”

“Pakai uangmu, tentu saja.”

“APA!?”

“Kau sendiri yang menitipkannya untuk memperluas penginapan. Masih sisa banyak, jadi berhentilah ribut.”

Alfred hanya terdiam pasrah.

“Haah... baiklah.”

Sang ayah tersenyum tipis. “Sudah, cepatlah berangkat sebelum matahari makin tinggi.”

“Baik, Ayah. Sampai jumpa.”

“Jangan bilang seperti kita tak akan bertemu lagi,” kata sang ayah sambil tertawa kecil. “Aku yakin kau akan pulang juga karena rindu masakanku.”

Anzu hanya diam, namun pandangannya sedikit melunak melihat kehangatan itu. Sekilas, bayangan sosok Reinhard muncul di benaknya.

 

“Anzu, kita pergi sekarang?” tanya Alfred.

“Ya. Ayo.”

“Kau yakin tidak apa-apa? Wajahmu agak pucat.”

“Aku selalu seperti ini.” jawab Anzu datar.

Mereka pun berjalan meninggalkan desa, langkah Anzu mantap, langkah Alfred ceroboh namun bersemangat.

Dari kejauhan, suara ayah Alfred terdengar.

“Semoga kalian selamat!”

 

Malam hari.

Langit diselimuti awan tipis, dan bulan purnama menggantung utuh—terlalu terang, terlalu sunyi.

“Jadi, Anzu... kita mau ke mana?” tanya Alfred.

“Entah. Selama aku bisa menjadi lebih kuat, arah tidak penting.”

“Hehe, kau ini selalu dingin ya. Tapi oke!”

Namun langkah mereka terhenti.

Dari balik pepohonan, muncul segerombolan bandit bersenjata.

“BERHENTI!” teriak salah satu. “Serahkan semua barang kalian, dan mungkin kami biarkan hidup.”

Anzu menatap datar, tak bergeming.

Salah satu bandit tertawa. “Heh, dua bocah sendirian di hutan? Hahaha, ini rejeki malam!”

Namun sebelum Anzu sempat bicara, Alfred menegang.

Matanya perlahan berubah merah, urat di lehernya menonjol. Nafasnya berat.

“A...Anzu...” suaranya parau. “Aku... mencium... bau darah.”

Anzu menoleh cepat.

“Jangan bilang...”

“AAAARRRRGHHHHHH!!!”

Alfred menjerit, matanya sepenuhnya merah menyala. Giginya memanjang, dan tubuhnya bergetar menahan dorongan haus darah yang menggila.

“Darah... segar... aku butuh... darah...!”

Bau darah dari bandit yang terluka karena ranting, langsung memicu sesuatu dalam dirinya.

Dalam sekejap, Alfred menerjang.

“SLURRP—AARGHHHH!!!”

Jeritan pertama menggema di bawah bulan purnama.

Anzu hanya berdiri, tatapannya tajam dan dingin, menilai situasi tanpa ekspresi.

Bandit-bandit panik. “H-hentikan! Apa itu manusia!?”

Namun satu demi satu tumbang, tubuh mereka tersedot kering dari darah.

Suara slurp dan retakan tulang mengisi udara malam.

Bulan purnama bersinar di atas genangan darah.

Tiga bandit yang tersisa gemetar ketakutan.

“KA-KABUR!! KITA KABUR SAJA!!”

Namun Alfred menoleh pada Anzu—matanya liar, napasnya berat.

“Masih ada satu lagi...” gumamnya pelan.

Lalu ia melesat.

“Cih... dasar menyusahkan,” Anzu menghela napas, menarik pedangnya.

Pertarungan terjadi—Alfred menyerang membabi buta, gerakannya cepat namun kacau. Anzu hanya menahan dan menghindar, ekspresinya tetap datar.

“Berhenti, Alfred.”

“BERI AKU DARAHMU!”

Satu serangan kuat membuat Anzu terjatuh. Dalam sepersekian detik, Alfred sudah di atasnya, taringnya menembus kulit leher Anzu.

SLURP... SLURP...

“Ugh...” Anzu menahan desis kesakitan.

Tapi tiba-tiba Alfred berhenti. Matanya melebar, tubuhnya gemetar.

“Apa... ini?”

Kesadarannya perlahan kembali. Ia menatap Anzu di bawahnya.

“Hah? Kenapa aku... di atasmu, Anzu?”

CKK—BUAK!

Tinju Anzu mendarat tepat di wajahnya.

“AUW!! Kenapa kau pukul aku!?” Alfred memegangi pipinya, bingung.

Anzu menatapnya dingin. “Setelah menghisap darah orang, kau masih berani bertanya? Hebat juga.”

"tu-tunggu! Anzu! Aku bisa jelaskan—”

BUAK! BUAK! BUAK!

Beberapa pukulan lagi mendarat sampai Alfred hanya bisa mengangkat tangan pasrah.

Anzu berhenti, mendesah pelan. “Sekarang. Jelaskan. Kenapa kau mengamuk.”

“Uh... itu... bulan purnama,” jawab Alfred pelan. “Vampir muda seperti aku kehilangan kesadaran saat malam purnama. Biasanya ayah menyiapkan darah hewan, tapi kali ini aku lupa.”

Anzu menyipitkan mata. “Jadi intinya... kau anak kecil yang tak bisa menahan diri?”

“Hey! Aku sudah remaja!”

“Hm. Tapi nafsumu belum.”

“Anzu!” protes Alfred dengan wajah merah.

Anzu hanya mengangkat bahu. “Lanjutkan.”

“Biasanya efeknya berhenti di usia lima belas tahun, tapi... entah kenapa aku tetap tak bisa mengendalikannya.”

Ia menunduk. “Tapi anehnya... saat aku meminum darahmu, aku langsung tenang. Seolah rasa laparku... hilang.”

Anzu menatapnya lama, lalu menjawab datar.

“Kalau begitu jangan harap bisa meminumnya lagi.”

“Hehe... iya, aku cuma bercanda, kok. Hehe...” Alfred tertawa canggung, melirik Anzu yang mengepalkan tangan.

“Bagus.”

Sunyi sejenak.

“Oh iya, Anzu... aku belum jawab pertanyaanmu.”

“Pertanyaan apa?”

“Alasan kenapa aku ingin ikut denganmu.” Alfred menatap langit. “Entahlah... aku hanya merasa... kalau aku tak ikut, aku akan menyesal seumur hidup.”

Anzu menatapnya sebentar, lalu berjalan tanpa menjawab.

“Hah... sesukamu.”

“Hehe, baiklah. Aku akan ikut... walau kau tetap dingin begitu.”

“Diam. Tidur. Kita jalan pagi-pagi.”

Alfred tersenyum kecil. “Baik, kapten.”

1
Nagisa Furukawa
Aku jadi bisa melupakan masalah sehari-hari setelah baca cerita ini, terima kasih author!
Bisquit D Kairifz: Semangat bree, walau masalah terus berdatangan tanpa memberi kita nafas sedikit pun
total 1 replies
Rabil 2022
lebih teliti lagi yah buatnya sebabnya ada kata memeluk jadi meneluk
tapi gpp aku suka kok sama alur kisahnya semangat yahh💪
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!