Setelah meninggal karena tenggelam saat menolong anak kecil, Nadra Elianora, gadis modern yang ceria dan blak-blakan, terbangun di dunia kuno dalam tubuh Li Yuanxin seorang gadis malang yang dibuang oleh tunangannya karena sang pria berselingkuh dengan adik tirinya.
Tersesat di hutan, Nadra membangun gubuk, hidup mandiri, dan menggunakan ilmu pengobatan yang ia kuasai. Saat menolong seekor makhluk terluka, ia tak tahu bahwa itu adalah Qiu Long, naga putih ilahi. Dari pertemuan konyol dan penuh adu mulut itu, tumbuh hubungan ajaib yang berujung pada kontrak suci antara manusia dan hewan ilahi.
Tanpa disadari, kekuatan dalam diri Nadra mulai bangkit kekuatan milik Sang Dewi Semesta, makhluk tertinggi yang jiwanya dulu dipecah ke berbagai zaman untuk menjaga keseimbangan dunia.
Kini, dengan kepintaran, kelucuan, dan keberaniannya, tak hanya menuntut balas atas pengkhianatan masa lalu, tapi juga menapaki takdir luar biasa yang menunggu: menyelamatkan dunia dan mengembalikan cahaya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 — Kelahiran Cahaya dan Bayangan
Angin malam berputar di atas Akademi Langit Biru, membawa serpihan cahaya dari Pustaka Langit yang baru saja terbuka. Dari luar, tampak seperti ribuan kunang-kunang emas beterbangan di udara, tapi bagi para penjaga spiritual, itu adalah huruf-huruf roh—fragmen mantra kuno yang membentuk dasar dunia.
Ren dan Ruan, yang menunggu di luar, terpaksa menutup mata mereka karena silau. “Apa yang terjadi di dalam sana?” seru Ruan dengan suara gemetar.
“Sepertinya... dunia sedang berubah,” jawab Ren pelan.
Tepat di saat itu, suara ledakan lembut terdengar dari dalam. Pintu batu yang menutup Pustaka Langit memancarkan cahaya terakhir sebelum perlahan memudar. Dari sana, muncul sosok Yuanxin berjubah putih dengan cahaya emas lembut menyelimuti tubuhnya. Rambutnya kini sedikit berkilau merah keemasan di ujung, dan di pundaknya, Feng Yan tampak terengah tapi bersinar kuat.
“Dia... berhasil,” bisik Ren kagum.
Namun Yuanxin tak langsung berbicara. Matanya menatap langit, dan di sanalah mereka semua melihatnya dua cahaya besar melintas bersilangan di awan, membentuk simbol lingkaran api. Naga putih dan Phoenix berputar seolah menari, menandai ikatan mereka telah terbangun sepenuhnya.
Feng Yan tersenyum lemah. “Akhirnya... dunia tahu kita kembali.”
“Tapi bukan hanya dunia manusia yang tahu,” kata Yuanxin lirih. “Langit juga.”---
----
Sementara itu, jauh di Istana Timur, Putra Mahkota Feng Liansheng berdiri di ruang meditasinya. Seluruh lantai dipenuhi simbol pelindung, tapi satu per satu, cahaya segel itu retak.
Penasihat tua, Mo Zheng, berlari masuk. “Yang Mulia! Segel langit di atas istana mulai retak. Apa ini ulah Tabib Yu Xin?”
Liansheng membuka matanya, memancarkan sinar perak tajam. “Bukan ulah... tapi panggilan.”
“Panggilan?”
“Dia telah membuka Pustaka Langit. Jiwa lamaku juga ikut bergetar. Itu artinya... penghalang antara dunia para dewa dan dunia manusia mulai menipis.”
Mo Zheng menelan ludah. “Jika penghalang runtuh, para roh lama akan kembali. Dunia akan kacau, Yang Mulia.”
“Aku tahu,” jawab Liansheng tegas. “Tapi aku tidak akan biarkan kekacauan itu ditentukan tanpa aku.”
Ia berdiri, mengenakan jubah hitam bersulam naga emas. “Kirim kabar ke pasukan penjaga langit. Suruh mereka bersiap. Jika Dewan Langit menurunkan utusan, mereka akan menemukan bahwa dunia ini sudah punya penguasanya sendiri.”
---
Di sisi lain, di dalam ruang dimensi pribadinya, Yuanxin duduk bersila di atas kolam spiritual. Cahaya dari simbol Mantra Penyatuan Jiwa berputar di sekelilingnya. Feng Yan beristirahat di batu dekat air, sementara Qiu Long muncul dari pusaran air, wujud naga putihnya setengah transparan.
“Nadra... eh, maksudku Yuanxin apa yang kau dapatkan di dalam Pustaka?” tanya Qiu Long.
Yuanxin membuka matanya perlahan. “Sebuah kunci. Tapi bukan kunci biasa. Ini adalah Kunci Penyatuan, salah satu dari tiga yang tersebar di dunia.”
“Tiga?” Feng Yan memiringkan kepala. “Berarti ada dua lagi?”
“Ya. Satu tersegel di Istana Timur—di tangan Putra Mahkota Feng Liansheng. Dan satu lagi... di Dunia Bayangan, tempat roh jahat dikurung.”
Qiu Long bergemuruh pelan. “Tempat itu berbahaya. Jika kau ke sana tanpa kesiapan, jiwamu bisa terpecah lagi.”
“Aku tahu,” kata Yuanxin sambil menatap telapak tangannya. “Tapi kalau aku tidak melakukannya, maka bagian lain dari jiwaku akan diburu oleh kekuatan gelap lebih dulu.”
Feng Yan menggeleng. “Kalau begitu, kita perlu rencana. Dan tenaga tambahan.”
Yuanxin tersenyum kecil. “Tenaga tambahan itu sudah datang.”
Begitu ucapannya selesai, cahaya dari kolam spiritual bergetar. Dari pusaran air muncul seekor naga kecil berwarna biru muda, ukurannya hanya sebesar lengan anak kecil. Ia tampak malu-malu, tapi aura spiritualnya murni.
“Dia... keturunanmu?” tanya Yuanxin ke Qiu Long.
Naga besar itu tersenyum samar. “Lebih tepatnya pecahan dari kekuatanku sendiri. Aku memberimu penjaga baru. Namanya Lan’er.”
“Lan’er?” Feng Yan mendecak. “Aku sudah tahu akhir-akhir ini rumah ini makin ramai.”
“Kalau kau tidak keberatan,” kata Yuanxin sambil mengelus kepala naga kecil itu, “aku butuh kalian bertiga menjaga ruang ini. Aku harus ke Istana Timur.”
“Ke istana?” Feng Yan hampir melompat. “Kau gila? Di sana Putra Mahkota itu! Kau baru saja membuat seluruh langit tahu kau hidup!”
“Justru itu,” kata Yuanxin lembut. “Aku harus tahu apakah dia masih berpihak pada cahaya... atau sudah menjadi bayangan.”
----
Keesokan harinya, kabut tipis menyelimuti jalanan menuju istana. Yuanxin mengenakan jubah hijau sederhana, membawa kotak obat di punggung. Ia tidak datang sebagai dewi, tapi sebagai tabib.
Namun penjaga di gerbang segera mengenalinya. “Tabib Yu Xin? Yang Mulia sudah menunggu.”
Liansheng berdiri di taman dalam, di bawah pohon plum yang sama seperti pertama kali mereka bertemu. Kali ini, tanpa mahkota, hanya pakaian sederhana berwarna abu, tapi aura kekuasaan tetap kuat.
“Sepertinya kita selalu bertemu di antara bunga dan rahasia,” kata Yuanxin sambil tersenyum ringan.
“Dan selalu setelah kau membuat dunia bergetar,” balas Liansheng datar.
Ia melangkah mendekat. “Kau membuka Pustaka Langit. Sekarang seluruh langit sedang memburumu.”
Yuanxin menatap matanya. “Aku tidak bersembunyi.”
“Tidak,” jawabnya pelan. “Kau menantang.”
Ia berhenti di hadapan Yuanxin, jarak mereka hanya beberapa langkah. “Kau tahu apa akibatnya jika Dewan Langit menemukanmu?”
“Ya,” jawab Yuanxin mantap. “Tapi aku lebih takut kalau aku tidak melakukan apa-apa.”
Mata perak Liansheng berkilat tajam. “Kau masih sama seperti dulu.”
“Dulu?” Yuanxin terkejut.
Liansheng menatapnya lama, lalu berkata lirih, “Aku mulai mengingat... potongan masa lalu. Tentang langit terbakar, tentang seorang dewi yang menantang para dewa untuk melindungi manusia.”
Yuanxin terdiam, dada bergetar halus. “Dan kau... di mana dalam ingatan itu?”
“Aku berdiri di hadapanmu,” jawabnya lirih. “Sebagai pelindung sekaligus algojo.”
Udara di sekitar mereka mendadak berat. Angin berputar, dan dalam sekejap, bayangan muncul di belakang Liansheng—sosok besar bersayap hitam, aura kekaisaran memancar darinya. Roh Pengawal Agung telah bangkit.
Yuanxin menatapnya tajam. “Jadi benar. Kau adalah pecahan roh pengawal.”
“Dan kau adalah dewi yang memecah jiwanya sendiri,” sahut Liansheng. “Kita berdua adalah dua sisi dari takdir yang sama.”
Cahaya mulai muncul di sekitar Yuanxin. Api keemasan menyala di rambut dan matanya. “Kalau begitu, biarlah takdir kali ini memilih dengan adil.”
Feng Yan, yang bersembunyi di pepohonan istana, mengibaskan sayap dengan panik. “Oh tidak, mereka akan bertarung di tengah taman kekaisaran!”
Qiu Long muncul samar dari bayangan. “Tidak. Mereka tidak bertarung dengan amarah... tapi dengan ingatan.”
Di dalam pusaran cahaya, Yuanxin dan Liansheng berdiri di dunia ilusi—langit kuno, dengan pilar-pilar batu raksasa menjulang di sekeliling mereka. Di bawah kaki mereka, laut bintang berputar.
Liansheng memegang pedang roh yang menyala biru. “Kau memecah jiwamu agar dunia tetap hidup.”
“Dan kau mengunci jiwaku di dalam lingkaran waktu agar aku tidak hancur,” balas Yuanxin.
“Lalu kenapa kita harus melawan lagi?”
“Karena dunia ini tidak akan damai sebelum kita menyeimbangkannya.”
Mereka berdua melangkah maju. Pedang biru bertemu cahaya emas, membentuk gelombang energi yang memecah ilusi. Dalam setiap benturan, kenangan masa lalu muncul Yuanxin sebagai dewi, Liansheng sebagai pengawal agung, berdiri di tengah perang antara langit dan kegelapan.
Dalam satu gerakan cepat, Liansheng menahan pedangnya di leher Yuanxin, tapi api keemasan di mata wanita itu tak gentar.
“Kau tidak akan membunuhku,” katanya lembut. “Kau tidak bisa.”
Liansheng menatapnya dalam, lalu menurunkan pedang perlahan. “Kau benar.”
Ilusi lenyap, membawa mereka kembali ke taman istana. Mereka berdiri dalam diam, nafas terengah, tapi mata mereka saling terikat.
“Kau akan diburu,” kata Liansheng akhirnya. “Dan kali ini, aku tidak tahu apakah aku bisa melindungimu.”
Yuanxin tersenyum lembut. “Aku tidak meminta perlindungan. Aku hanya ingin kau tidak menghalangi.”
Liansheng memalingkan wajah. “Kau terlalu berani untuk dunia ini.”
“Karena dunia ini terlalu pengecut untuk menghadapi kebenaran,” sahut Yuanxin.
Mereka berpisah tanpa kata lagi. Saat Yuanxin melangkah pergi, Feng Yan turun ke bahunya, menatap punggung Liansheng yang menjauh.
“Kau pikir dia masih di pihak kita?”
Yuanxin menatap langit. “Aku pikir... dia sedang berperang melawan dirinya sendiri.”
---
Malam itu, di langit utara, muncul celah besar berwarna ungu gelap Gerbang Dunia Bayangan terbuka untuk pertama kalinya setelah seribu tahun. Suara ribuan roh menggema dari baliknya.
Di tepi celah itu, sosok berjubah hitam berdiri, dengan sepasang mata merah menatap ke arah dunia manusia. Bibirnya melengkung membentuk senyum dingin.
“Dewi Semesta... kau sudah bangun. Maka aku pun akan bangkit.”
Ia mengangkat tangannya, dan dari balik gerbang, tangan-tangan roh mulai merayap keluar.
Di tempat lain, Yuanxin tiba-tiba tersentak dari tidurnya. Feng Yan melompat panik. “Ada apa?”
“Pecahan gelapku...” bisik Yuanxin lirih. “Dia sudah bangun.”
Feng Yan menatapnya ngeri. “Kau punya pecahan gelap juga?”
Yuanxin memejamkan mata, suaranya tenang tapi bergetar. “Ya. Bagian diriku... yang dulu membakar langit.”
Dari kejauhan, naga putih Qiu Long mengangkat kepalanya dari kolam spiritual, matanya bersinar cemerlang.
“Perang yang lama... akan dimulai kembali.” ujar Qiu Long
Dan di kejauhan, gong langit berdentang tiga kali pertanda dunia spiritual dan dunia manusia telah kembali terhubung sepenuhnya.
Yuanxin menatap ke arah cahaya merah di langit utara dan berbisik pelan.
“Baiklah. Kalau takdir ingin menyalakan api lagi, maka aku akan memastikan aku yang memegang apinya.”
Bersambung
saatnya sekarang tinggal menunggu balasan yang setimpal.
sultan itu bebas melakukan apapun bukan /Facepalm/