Kisah Seorang Buruh kasar yang ternyata lupa ingatan, aslinya dia adalah orang terkuat di sebuah organisasi rahasia penjaga umat manusia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Babah Elfathar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 27
Bab 27
Novida, wanita yang terlahir dengan paras cantik, selalu merasa bangga dan menganggap dirinya lebih tinggi dari orang lain.
Namun meski begitu, latar belakang keluarganya sebenarnya biasa saja.
Mimpinya adalah mendapatkan pasangan dari kalangan elit — setidaknya anak kedua dari pemilik perusahaan besar — tetapi status ekonominya membuat langkah itu tak mudah.
Ia membenci lelaki miskin, tapi nyatanya tidak juga mampu memikat lelaki kaya.
Kini, Novida berada di posisi serba tanggung — hanya seorang pegawai kantoran, bekerja dari pagi hingga sore, dengan gaji tetap dan beban hidup yang tak ringan.
Di Kota Veluna, PT. Luminex Corp memang bukan perusahaan kelas atas, tapi di tingkatnya, perusahaan ini tergolong besar.
Para karyawan di sana mendapat gaji dan fasilitas yang layak, cukup untuk menunjang kinerja dan kenyamanan kerja.
Sejak Rangga menjabat sebagai Direktur Utama, Novida selalu dilanda waswas. Ia takut dipecat kapan saja.
Namun, beberapa hari berlalu tanpa surat pemberhentian, membuatnya sedikit lega.
Padahal bagi Rangga, keberadaan Novida tidak penting. Ia bahkan jarang datang ke kantor.
Tapi kali ini berbeda — seseorang telah membawa Miriam dan Heru masuk ke gedung perusahaan. Dan orang itu tak lain hanyalah Novida sendiri.
Apalagi kali ini Miriam ikut campur urusan kontrak kerja sama dengan perusahaan milik Heru.
Sudah jelas keluarga mereka tengah merencanakan sesuatu.
Rangga selama ini mencoba membiarkan Novida bekerja sesuai kemampuan, tapi baginya, ada batas kesabaran.
Berurusan dengan keluarga seperti mereka hanya membuang waktu dan energi.
Ia berniat memutus seluruh rantai komunikasi — dan memecat Novida adalah langkah paling masuk akal.
Mendengar keputusan itu, wajah Novida langsung memucat.
Ia tahu mencari pekerjaan dengan gaji dan tunjangan setara Luminex Corp tidaklah mudah.
Novida menggertakkan gigi dan berseru, “Heh, Rangga, jangan merasa besar kepala cuma karena kamu punya uang! Pecat saja kalau mau! Rafael Voss pasti akan bantu aku, bahkan bisa dapat kerja di perusahaan sepuluh kali lebih bagus dari sini!”
Rangga tidak menanggapi. Ia hanya berbalik dan melangkah keluar dari ruang kerja Roki Budiman.
“Rangga sialan! Dasar anjing tak tahu diri! Dengar semuanya! Bos kalian ini kurang ajar!”
Miriam menjerit histeris di depan banyak karyawan.
“Dia menceraikan anakku dan tidak memberikan harta sedikit pun! Padahal kami yang menyelamatkan hidupnya! Tak tahu balas budi!”
“Sudah kaya tapi mentalnya busuk!”
Walau satpam berusaha menariknya, Miriam masih saja menjerit dan memaki.
Ia dan Heru akhirnya diseret keluar, sementara puluhan pasang mata karyawan menatap dengan rasa ingin tahu.
Siapa yang tidak penasaran melihat orang mengamuk di jam kerja?
Noah yang kebetulan lewat menghentikan langkahnya. Ia tidak tahan mendengar ocehan Miriam dan akhirnya membalas keras,
“Rangga nggak tahu balas budi, katanya? Justru kalian yang tak tahu malu! Rangga dulu diselamatkan suamimu, Hale, tapi dialah yang menyuruh Rangga menikahi putrimu! Dia kerja mati-matian selama tiga tahun demi kalian!”
“Tapi apa balasan kalian? Istrinya malah berselingkuh dengan Rafael Voss, anak kedua pemilik perusahaan besar! Kalian ambil rumah yang dibeli dari keringatnya, kalian paksa dia tanda tangan surat cerai! Dasar keluarga serakah!”
Noah mengepalkan tangan, suaranya makin keras, “Sekarang ingatannya sudah pulih, dan ternyata dia orang kaya raya, bahkan pemilik perusahaan ini! Tapi kalian masih berani datang ke sini minta bagian? Keterlaluan!”
Semua mata kini beralih pada Miriam dan Heru, sebagian karyawan berbisik-bisik.
“Keluarga macam apa ini?”
“Bukannya dia tantenya Novida? Aku pernah lihat mereka datang bareng.”
“Novida itu kan HRD yang licik itu… pantesan!”
Sementara itu, Rangga menuruni tangga, diikuti Novida yang masih menahan marah dan malu.
Di bawah, Miriam semakin berteriak, tapi sebelum ia sempat bicara lagi, Rangga menatapnya dingin.
“Bawa keluar,” katanya datar.
Satpam segera menarik Miriam dan Heru paksa keluar. Suara teriakannya masih menggema bahkan setelah pintu tertutup.
Menatap semua karyawan yang masih terpaku, Rangga berkata tegas,
“Bubar. Tak ada yang perlu dilihat.”
Semua orang pun bergegas kembali ke meja kerja masing-masing.
Kini hanya tersisa Novida yang berdiri menunduk, wajahnya menegang.
“Aku kasih kamu waktu setengah jam untuk bereskan barang-barangmu,” ujar Rangga dingin.
“Kesabaranku sudah habis. Jangan muncul lagi di hadapanku, kalau tidak, rumah yang kalian tempati akan kuambil.”
Novida menatap tajam, tapi tak berani melawan. Ia menggertakkan gigi dan berbalik menuju ruangannya.
Noah yang masih di sana menggeleng tak percaya.
“Bisa-bisanya kamu berurusan dengan keluarga gila seperti itu, Rangga.”
Rangga hanya tersenyum tipis dan mengganti topik. “Ngomong-ngomong, gimana Novri? Operasinya?”
“Udah selesai. Aku titipkan dia ke saudaraku di kampung, aku harus balik kerja, lagipula gajiku besar banget kemarin.”
Rangga mengangguk. Dalam hati, ia sempat berpikir merekrut Noah ke dalam Night Watcher, tapi usia dan latar belakangnya membuat ide itu batal.
Ponselnya tiba-tiba bergetar.
“Oke, kerja yang rajin,” katanya pada Noah. “Aku angkat telepon dulu.”
“Iya, Rangga, terima kasih. Kalau Novri sudah sadar, aku kabari. Aku berutang besar padamu, bro.”
“Sudah, pergi sana,” balas Rangga malas.
Mereka pun berpisah di lobi. Noah kembali ke ruangannya, sementara Rangga menjawab panggilan masuk.
Nama di layar membuatnya terdiam sejenak — Windy Syam.
“Kenapa dia meneleponku?” gumamnya pelan.
Terakhir kali mereka bertemu, Windy pergi terburu-buru tanpa sempat bicara panjang.
“Hallo?” ucap Rangga.
“Maaf soal kemarin, aku langsung pergi tanpa pamit,” suara Windy terdengar lembut.
“Tidak apa-apa,” jawab Rangga datar.
“Aku sekarang di Landscape view bersama Kak Gadis. Katanya, dia ingin bertemu denganmu sebentar. Datanglah ke sini,” ajak Windy.
Alis Rangga sedikit berkerut. Ia tidak menyangka Gadis ingin menemuinya.
“Oke,” katanya akhirnya, “aku akan ke sana.”
Setelah keluar dari gedung Luminex Corp, Rangga naik taksi menuju Landscape view— kawasan wisata terkenal di Kota Veluna.
Tempat itu berada di dataran tinggi, dengan pemandangan lembah dan sungai yang menakjubkan.
Bentuk bangunannya mirip pagoda, dan menjadi lokasi favorit untuk minum teh sambil menikmati udara sejuk.
Begitu tiba, Rangga menghubungi Windy untuk menanyakan di ruangan mana mereka berada.
Saat membuka pintu salah satu ruangan, aroma teh hangat langsung memenuhi inderanya — lembut dan menenangkan.
“Sini duduk, apa kamu sudah pernah coba teh di sini? Ini buatan Kak Gadis sendiri,” sambut Windy dengan senyum kecil.
Gadis duduk anggun di depan meja dengan perlengkapan seduh teh tradisional.
Gerakannya lembut, elegan, dan penuh ketenangan — seperti seorang seniman yang menari dengan uap teh.
Rangga duduk tanpa banyak bicara.
“Wen, bisakah aku dan Rangga bicara berdua sebentar?” kata Gadis lembut.
Windy mengangguk. “Baik, aku tunggu di luar.”
Ia keluar, tapi sempat menatap Rangga dengan rasa penasaran.
Kini hanya Rangga dan Gadis di dalam ruangan.
Gadis menyerahkan secangkir teh padanya. Ia menerimanya diam-diam, lalu menyesap tanpa pikir panjang — dan langsung meringis karena lidahnya terbakar.
Melihat itu, Gadis tersenyum kecil dan menggeleng.
“Kamu benar-benar sudah berubah. Dulu kamu yang paling suka urusan teh. Kamu bahkan belajar tata cara menyeduh dan menikmatinya dengan benar.”
Rangga hanya tersenyum kecut.
Dulu, memang benar. Ia menyukai semua tentang teh — karena Gadis.
Namun setelah menjadi bagian dari Night Watcher, kehidupan seperti itu sudah tak punya tempat.
“Sembilan tahun berlalu. Wajar kalau manusia berubah,” ujarnya ringan.
Gadis mengibaskan rambutnya perlahan, lalu mengangkat wajah. Untuk pertama kalinya, matanya bertemu dengan tatapan Rangga.
“Aku akan menikah… dengan Dika,” katanya pelan.
“Aku tahu,” jawab Rangga datar. “Dia sudah pamer padaku kemarin.”
“Aku tidak mencintainya,” bisik Gadis, lirih tapi tegas.
Bersambung