Luna Maharani.
Nama yang sudah lama tidak ia dengar. Nama yang dulu sempat jadi alasan pertengkaran pertama mereka sebelum menikah. Mantan kekasih Bayu semasa kuliah — perempuan yang dulu katanya sudah “benar-benar dilupakan”.
Tangan Annisa gemetar. Ia tidak berniat membaca, tapi matanya terlalu cepat menangkap potongan pesan itu sebelum layar padam.
“Terima kasih udah sempat mampir kemarin. Rasanya seperti dulu lagi.”
Waktu berhenti. Suara jam dinding terasa begitu keras di telinganya.
“Mampir…?” gumamnya. Ia menatap pintu yang baru saja ditutup Bayu beberapa menit lalu. Napasnya menjadi pendek.
Ia ingin marah. Tapi lebih dari itu, ia merasa hampa. Seolah seluruh tenaganya tersedot habis hanya karena satu nama.
Luna.
Ia tahu nama itu tidak akan pernah benar-benar hilang dari hidup Bayu, tapi ia tidak menyangka akan kembali secepat ini.
Dan yang paling menyakitkan—Bayu tidak pernah bercerita.
Akankah Anisa sanggup bertahan dengan suami yang belum usai dengan masa lalu nya??
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Call Me Nunna_Re, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16
Tiga hari sudah Anisa dan Bima tinggal di kediaman keluarga Bima. Selama tiga hari itu pula suasana rumah selalu terasa hangat saat terisi tawa kecil Ratna dan Ammar, aroma masakan dari dapur, serta suara lembut Anisa yang selalu menyambut pagi dengan ucapan sopan dan senyum menenangkan.
Setiap hari, Anisa tak pernah lupa menyiapkan sarapan, menyiapkan teh untuk Ratna dan Ammar, serta secangkir kopi hitam untuk Bima. Meski tahu semua yang dilakukannya hanyalah bagian dari peran sebagai “istri kontrak,” Anisa tetap melakukannya dengan hati yang tulus. Ia tidak bisa bersikap setengah-setengah, bukan karena ingin terlihat sempurna, tapi karena sudah menjadi kebiasaannya untuk memberi yang terbaik dalam segala hal, apalagi Ratna dan Amar sudah memperlakukan nya dengan sangat baik.
Bima memperhatikan semua itu diam-diam. Dari cara Anisa tersenyum saat membantu Ratna menata meja makan, sampai caranya menunduk sopan setiap kali Ammar berbicara, bahkan pada ART pun Anisa selalu bersikap sopan.
Tiga hari ini, ia seperti berada di dunia yang berbeda, dunia yang tidak pernah ia rasakan selama ia bersama Luna.
Setiap pagi, ketika membuka mata, aroma harum teh melati dan suara lembut Anisa selalu menyambutnya. Kadang ia ingin percaya bahwa ini nyata, bahwa semua perhatian itu memang tulus. Tapi setiap kali bayangan Luna muncul, ia segera menepis perasaan itu jauh-jauh.
“Dia Cuma akting, cuma berpura-pura sesuai isi kontrak.” batinnya berulang kali meyakinkan diri. “Dia cuma memainkan peran di depan orangtuaku. Setelah enam bulan, semuanya akan selesai.”
Namun meski begitu, ada satu hal yang tidak bisa ia pungkiri, entah kenapa setiap kali Anisa tersenyum, dadanya terasa hangat, dan ia menyukai hal itu.
Namun hari ini, mau tidak mau Bima harus kembali ke apartemen mereka karena Luna terus saja merengek agar mereka segera kembali, padahal Ratna meminta mereka untuk menginap selama seminggu. Anisa sebagai istri hanya mengikut saja apa yang dikatakan oleh Bima.
Sementara itu, di sebuah apartemen mewah di pusat kota, Luna Maharani mondar-mandir di ruang tamu Apartemen. Matanya sembab karena kurang tidur, wajahnya penuh amarah dan pikirannya yang sudah menerawang ke mana-mana. Membayangkan Bima dan Anisa tidur bersama selama 3 hari saja sudah membuatnya hampir setengah gila.
Sudah tiga hari Bima tidak pulang. Tiga hari tanpa kabar jelas, tanpa pelukan, tanpa suaranya.
Ia menatap ponselnya dengan tatapan tajam dan penuh kecemburuan, mengetik pesan dengan emosi yang sudah di ubun-ubun,
“Beb, kamu di sana ngapain aja sih?! Masa iya tiga hari nggak bisa pulang? Kamu pikir aku nggak tau apa yang kalian lakukan selama tiga hari ini, pasti kalian tinggal sekamar kan?”
Beberapa detik kemudian pesan terkirim, tapi tidak dibaca oleh Bima. Luna mengetik lagi, lebih emosional lagi,
“Kamu bilang itu cuma kontrak! Tapi tiga hari kalian serumah, pasti kalian tidur bareng?! Membayangkan apa yang kalian lakukan saja membuat aku hampir gila mikirin itu, Bima!”
Ia melempar ponselnya ke sofa, lalu duduk dengan napas terengah-engah karena Bima tak kunjung membaca pesan nya. Biasa nya dalam hitungan detik Bima sudah membalas pesan dari Luna, karena Bima sangat takut jika ia marah atau merajuk.
Kecemburuan dan ketakutan bercampur jadi satu. Luna tidak pernah takut kehilangan siapa pun sebelumnya, tapi kali ini berbeda. Ia tahu, Anisa bukan wanita sembarangan. Ada sesuatu pada gadis itu, sesuatu yang tidak dimiliki olehnya dan itulah yang membuatnya takut.
Saat ini keluarga besar tengah berkumpul di ruang tamu, karena mereka semua libur, hari ini weekend, Saat mereka asik mengobrol, Bima menerima panggilan dari Luna. Sekali, dua kali, tiga kali, ia abaikan saja. Tapi saat panggilan keempat masuk, ia tidak tahan lagi. Ia berdiri dari sofa dan keluar menuju taman belakang. Sementara Nisa, Ratna dan Amar sudah tau siapa yang menelpon Bima. Namun mereka memilih diam dan sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.
Begitu tersambung, suara Luna langsung terdengar melengking dan penuh amarah,
“Beb, kamu ke mana aja sih?! Tiga hari nggak ada kabar, aku hampir gila di sini! Kamu udah lupa janji kamu sama aku?!”
Bima memejamkan mata, menahan emosi.
“Hon, tolong jangan begini. Aku nggak bisa terus-terusan kabur dari rumah. Mama sama Papa pasti curiga. Lagian kamu tahu sendiri ini cuma formalitas.”
“Tapi tiga hari, Bim! Tiga hari kalian tinggal serumah! Kamu pikir aku nggak mikir aneh-aneh? Aku tau gimana perempuan kayak dia bisa bikin kamu nyaman!”
“Cukup, Luna!” suara Bima meninggi, kali ini lebih tegas. “Kamu jangan ngomong seolah-olah aku nggak tau apa yang aku lakukan. Aku balik ke sini bukan buat senang-senang, tapi karena orangtuaku. Bisa gak sih kamu hormati mereka sedikit saja.”
Ada hening sejenak di ujung telepon sebelum Luna berkata dengan nada lebih lembut, manipulatif seperti biasanya.
“Beb... aku cuma takut kehilangan kamu. Aku sayang sama kamu. Kamu janji kan... kamu nggak akan nyentuh dia?”
Bima menarik napas panjang. “Aku janji. Aku akan balik ke apartemen sore ini.”
"Bener ja beb, aku kangen lo sama kamu."
"Iya."
Tut
Panggilan pun di putus oleh Bima.
Begitu telepon ditutup, Anisa muncul dari arah taman samping sambil membawa air hangat untuk Ratna. Pandangan mereka bertemu. Hanya sepersekian detik, tapi cukup membuat Bima gugup. Ia tidak tahu apakah Anisa mendengar percakapannya tadi atau tidak.
“Mas…aku masih mau ngobrol sama mama,” ucap Anisa lembut sambil menunduk. “Kalau Mas mau istirahat, nanti aku bantu siapin barang-barangnya.”
Bima menatapnya sekilas. Di matanya, Anisa tampak biasa saja, tenang, sopan, seperti tidak ada apa-apa. Tapi entah kenapa, dalam diam, Bima justru merasa bersalah.
Sore itu, ketika Ratna meminta mereka tinggal satu malam lagi, Bima menolak dengan alasan pekerjaan.
"Kok kalian cepat banget sih baliknya, kan mama mau nya kalian seminggu disini." ucap Ratna sendu.
“Ma, aku harus balik sekarang,” katanya mantap. “Ada urusan kantor yang harus aku tangani besok pagi sekali.”
"Harus ya?."
"Iya ma."
Ratna tampak kecewa, tapi akhirnya mengangguk pasrah.
“Baiklah, Nak. Tapi jangan lupa sering kesini, ya. Mama tenang kalau tahu kamu dijagain sama Nisa. Titip menantu kesayangan mama, awas kalau kamu buat dia nangis, mama akan coret nama kamu di Kartu keluarga." Ancam Ratna menatap Bima dengan tatapan menusuk.
Ucapan Ratna berhasil membuat dada Anisa bergetar, ia sangat tersentuh. Ia tersenyum sopan, sementara Bima hanya menunduk.
.