Dibuang oleh ibu, dipertemukan oleh takdir, dan diakhiri oleh waktu.
Hidup Angkasa mungkin singkat,
tapi cintanya… abadi dalam setiap detak jantung yang ia tinggalkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Realrf, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terlalu manis
Tapi juga ... urat-urat rapuh di balik selaput hidungnya. Ia menekan pangkal hidungnya dengan ibu jari dan telunjuk, berusaha menghentikan aliran hangat yang terasa asing itu. Kepalanya masih berdenyut, sebuah simfoni minor yang mengiringi bau hangus dari abu kenangan di atas meja. Diabaikannya. Sama seperti ia mengabaikan rasa lelah yang menggantung di bahunya seperti jubah timah selama berminggu-minggu. Ini hanya kelelahan, bisiknya pada diri sendiri. Hanya kopi dan kurang tidur.
Ya benar mungkin hanya itu .. Kecapekan.
.
.
.
.
.
Aroma biji kopi yang baru digiling adalah satu-satunya parfum yang Angkasa kenal sebagai rumah. Di balik konter bar Senja Kopi, dunia terasa lebih teratur. Ada resep yang pasti, takaran yang presisi, dan suhu yang terkendali. Di sini, ia adalah sang alkemis, mengubah bubuk hitam pahit menjadi kehangatan cair yang didambakan orang-orang. Di sini, ia memegang kendali.
“Satu Iced Americano, tanpa gula, seperti biasa?” Suara Angkasa datar, sebuah kontras yang tajam dengan senyum yang ia paksakan untuk pelanggan di hadapannya.
“Tentu saja tidak!”
Sebuah suara renyah memotong rutinitasnya. Angkasa mengangkat kepala, matanya bertemu dengan sepasang mata cokelat yang berbinar jenaka. Gadis itu sudah berdiri di depan konter, menyandarkan sikunya di atas permukaan kayu dengan gaya yang terlalu santai untuk seorang pelanggan. Rambutnya yang panjang diikat asal-asalan, menyisakan beberapa helai yang membingkai wajahnya yang selalu tampak seperti baru saja mendengar lelucon terbaik di dunia.
Ia adalah anomali dalam semesta Angkasa yang monokrom. Gadis itu sudah menjadi pelanggan tetap selama sebulan terakhir, dan kedatangannya selalu terasa seperti seseorang menyalakan lampu neon di tengah ruangan yang remang-remang. Terlalu terang. Terlalu berisik. Namun, entah kenapa, Angkasa mendapati dirinya selalu menantikan sore hari.
“Hari ini gue lagi butuh yang manis-manis,” lanjutnya, mengetuk-ngetukkan jarinya di menu.
“Kasih gue sesuatu yang paling manis yang lo punya. Yang bisa bikin diabetes dalam sekali teguk.” Gadis berambut panjang itu mengedipkan sebelah matanya menggoda.
Angkasa mengangkat sebelah alisnya.
“Di sini kami menjual kopi, bukan menjual syarat masuk rumah sakit.”
Gadis itu tertawa. Tawa yang pertama kali menarik perhatian Angkasa. Lepas, tanpa beban, seolah dunia belum pernah memberinya alasan untuk berhenti. Tawa yang membuat beberapa kepala menoleh, bukan karena terganggu, tetapi karena terinfeksi oleh keceriaannya.
“Ayolah, Mas Barista Kaku,” godanya, memberinya julukan yang entah sejak kapan melekat.
“Kejutkan gue. Bikin racikan spesial. Anggap aja ini tantangan. Oke!" serunya bersemangat dengan mengacungkan dua jempol pada Angkasa.
Angkasa menghela napas, tetapi sudut bibirnya terangkat sedikit tanpa ia sadari. Ia berbalik, tangannya bergerak dengan lincah di antara mesin espreso dan botol-botol sirup. Ia tidak pernah meracik minuman di luar menu. Itu melanggar keteraturan. Namun, untuk gadis ini, aturan terasa bisa sedikit dilonggarkan.
Beberapa menit kemudian, sebuah gelas tinggi berisi lapisan warna-warni kopi, susu, dan saus karamel pekat, tersaji di depan wanita muda yang mengusik dunia monokrom Angkasa. Di atasnya, whipped cream menjulang dengan taburan bubuk cokelat.
Mata gadis itu membelalak.
“Woah ... Ini kelihatan… mematikan. Apa namanya?” tanyanya antusias.
“Racun,” jawab Angkasa tanpa ekspresi.
Lagi-lagi G
Lagi-lagi gadis itu tertawa, lebih keras dari sebelumnya.
“Gue suka! Lo ternyata punya selera humor juga, ya?” Ia mengambil sedotan, mengaduk minuman itu sedikit sebelum menyesapnya. Matanya terpejam sejenak.
“Mmm… sempurna. Manisnya pas, kopinya masih berasa. Lo jago banget.”
“Itu pekerjaan saya,” balas Angkasa, mulai membersihkan konter dengan lap, sebuah gestur untuk menciptakan jarak.
“Gue rasa bukan hanya karena pekerjaan,” sanggahnya, menatapnya lekat.
“Pekerjaan lo itu bikin kopi. Tapi yang ini, rasanya beda. Kayak ada… sentuhan personalnya.”
Angkasa berhenti mengelap. Tatapan gadis itu terlalu tajam, seolah bisa menembus tembok es yang telah ia bangun selama delapan belas tahun.
“Hanya ilusi. Gula bisa memanipulasi persepsi rasa.”
“Atau mungkin lo yang terlalu takut buat ngaku kalau lo bisa bikin sesuatu yang indah?” balas wanita itu pelan, senyumnya sedikit memudar, digantikan oleh sorot yang lebih dalam.
Skakmat. Angkasa tidak tahu harus menjawab apa. Ia hanya bisa membuang muka, kembali pada kesibukannya yang dibuat-buat. Keheningan yang canggung menggantung di antara mereka, hanya dipecah oleh suara dengungan mesin pendingin.
“Gue Mia,” katanya tiba-tiba, mengulurkan tangan melewati konter.
Angkasa menatap tangan itu sejenak. Ragu. Sentuhan adalah sebuah keintiman. Sebuah gerbang menuju koneksi yang selalu ia hindari. Namun, menolak uluran tangan itu akan terasa lebih aneh. Dengan enggan, ia menyambutnya. Tangannya terasa hangat.
“Angkasa.”
“Angkasa,” ulang Mia, seolah merasakan nama itu di lidahnya.
“Bagus namanya. Kayak… luas, tapi sayang yang punya nama kakunya minta ampun.”
Lagi. Gadis ini lagi-lagi berhasil meruntuhkan sedikit pertahanannya hanya dengan beberapa kata.
“Saya harus lanjut kerja,” kata Angkasa cepat, menarik tangannya.
“Oke, oke, Mas Angkasa yang sibuk,” Mia terkekeh, mengangkat minumannya.
“Gue duduk di pojok sana, ya. Makasih buat Serangan Jantung Manisnya!”
Angkasa hanya mengangguk, mengawasinya berjalan menuju meja favoritnya di dekat jendela. Ia melihat gadis itu mengeluarkan laptop dan buku-buku tebal, lalu tenggelam dalam dunianya. Namun, sesekali, Angkasa menangkap basah Mia sedang menatap ke arahnya sambil tersenyum tipis. Setiap kali mata mereka bertemu, sebuah sengatan aneh menjalar di dadanya. Perasaan yang terasa familier sekaligus berbahaya. Harapan.
Satu jam berlalu. Kafe mulai ramai, lalu kembali lengang saat jam makan siang berakhir. Angkasa sibuk melayani pelanggan lain, mencoba mengusir bayangan gadis di pojok itu dari kepalanya. Namun, usahanya sia-sia. Kehadiran Mia seperti melodi latar yang terus berputar, menolak untuk berhenti.
Tiba-tiba, Mia tampak panik. Ia melihat jam tangannya, lalu buru-buru membereskan barang-barangnya ke dalam tas. Dengan tergesa, ia bangkit dan berjalan cepat ke arah pintu keluar, hanya berhenti sejenak di depan konter.
“Eh, gue cabut duluan, ya! Ada kelas mendadak!” serunya, sedikit terengah.
“Kopinya enak banget. Ma aciwww!”
Sebelum Angkasa sempat menjawab, Mia sudah mendorong pintu kaca dan menghilang di antara keramaian trotoar. Angkasa hanya bisa menatap pintu yang berayun pelan sebelum kembali diam. Ada sedikit rasa kecewa yang aneh.
Ia baru saja akan berbalik untuk membersihkan meja yang ditinggalkan Mia ketika matanya menangkap sesuatu di lantai. Sebuah dompet kulit berwarna merah muda tergeletak tak berdaya di dekat kaki meja. Dompet Mia.
Tanpa pikir panjang, Angkasa keluar dari balik konter dan memungutnya. Nalurinya menyuruhnya untuk segera berlari keluar dan mengejar gadis itu. Tapi jalanan sudah terlalu ramai. Mia sudah pasti hilang ditelan kerumunan.
“Sial,” gumamnya.
Ia membolak-balik dompet itu di tangannya, ragu. Ia harus mencari identitasnya agar bisa menghubunginya. Itu satu-satunya alasan, katanya pada diri sendiri. Murni untuk mengembalikan barang yang hilang.
Dengan jemari yang sedikit bergetar, ia membuka kancing dompet itu. Di dalamnya ada beberapa lembar uang, kartu mahasiswa, dan beberapa kartu lainnya. Matanya langsung tertuju pada slot transparan tempat kartu identitas berada. Kartu Tanda Penduduk.
Wajah Mia tersenyum dari foto kecil itu, senyum yang sama cerianya dengan aslinya. Angkasa tersenyum tipis melihatnya. Lalu, matanya turun membaca deretan huruf kapital di bawah foto itu.
MIA ANINDITA PRADANA
Seketika, udara di paru-paru Angkasa seolah tersedot habis. Waktu berhenti. Suara mesin espreso, obrolan pelanggan, dan deru kendaraan di luar kafe mendadak lenyap, digantikan oleh denging tajam di telinganya. Dunianya yang teratur runtuh dalam sepersekian detik.
Pradana.
Nama belakang itu. Nama yang sama yang terukir di nisan ayahnya. Nama yang sama yang Laras, ibunya, pakai setelah menikah dan meninggalkannya. Nama yang begitu membekas untuknya.
Napasnya tercekat di tenggorokan. Dompet itu terasa membakar telapak tangannya, seolah bukan terbuat dari kulit, melainkan dari bara api masa lalunya. Kakinya terpaku di lantai keramik yang dingin, tubuhnya membeku menjadi patung es di tengah kafe yang hangat, sementara di dalam kepalanya, sebuah nama terus bergema seperti lonceng kematian.
setelah ini apa yg akan km lakukan pada Angkasa, Laras