Gunung Es Suamiku

Gunung Es Suamiku

Panggung sandiwara

Lantai ke-30 menara perkantoran Wijaya Group selalu terasa dingin, bukan karena pendingin ruangan yang berlebihan, melainkan karena atmosfer beku yang diciptakan oleh sang pucuk pimpinan.

​Manager Risa melangkah keluar dari lift pribadinya akses yang diberikan kepadanya bukan sebagai istri, melainkan sebagai Manajer Pengembangan Bisnis dengan langkah mantap. Ia mengenakan blus putih bersih dan rok pensil, rambutnya terikat rapi. Ia tampak profesional, efisien, dan yang paling penting: sendirian.

​Di ujung lorong, tepat di depan pintu ganda kayu mahoni berukir lambang perusahaan, Risa melihatnya.

​Damian Wijaya.

​Sang CEO. Suaminya.

​Pagi itu, Damian berdiri tegak seperti patung marmer di depan kantornya, menerima laporan singkat dari asisten pribadinya, Reno. Jas tailor mode abu-abu gelap membalut tubuh tinggi semampai nya, bingkai kacamata peraknya memantulkan cahaya lampu koridor, dan ekspresinya sedingin malam di puncak Himalaya.

​Mereka berdua berjalan mendekat dua kutub magnet yang seharusnya saling tarik, namun kini justru saling menjauh karena gaya dorong jarak.

Risa berhenti di depan pintu ruangannya, yang letaknya hanya beberapa langkah dari kantor Damian. Asisten Risa, Lia, sudah menunggu dengan sebuah tablet di tangan.

​"Pagi, Manager Risa," sapa Lia dengan suara bersemangat.

​"Pagi, Lia. Jadwal hari ini?" tanya Risa tanpa menoleh, suaranya terdengar profesional dan fokus.

​Tepat saat itu, Damian dan Reno tiba di sebelah mereka. Hanya ada jarak semeter yang memisahkan Risa dan suaminya. Bagi siapapun yang melihat, mereka adalah dua eksekutif yang sibuk dan fokus pada pekerjaan.

​Damian melirik Risa bukan tatapan seorang suami kepada istrinya, melainkan tatapan sekilas seorang atasan yang memastikan karyawannya sudah berada di tempat. Tatapan itu cepat, hampa, dan penuh keengganan.

​"Tuan Damian, rapat direksi pukul sepuluh dimajukan sepuluh menit. Ada revisi dari Tuan Hartono," lapor Reno.

​"Batalkan revisi itu," suara Damian berat, dalam, dan tanpa emosi. "Ikuti jadwal awal."

​Reno mengangguk patuh.

​Lia, yang sejak tadi menunduk menghormati kehadiran CEO, berbisik kepada Risa, "Manager Risa, ini timeline untuk tender Proyek Gamma. Tim sudah menunggu di ruang rapat."

​"Bagus. Beri tahu tim saya masuk sepuluh menit lagi," jawab Risa, lalu ia akhirnya mendongak.

​Matanya bertemu dengan mata Damian. Lima tahun pernikahan, dan mereka masih berinteraksi seperti ini. Dua orang asing yang kebetulan menggunakan koridor yang sama.

​Risa tahu, ini adalah saatnya memainkan sandiwara.

Selamat pagi, Tuan Damian," sapa Risa dengan nada formal dan datar.

​Damian menoleh penuh, sorot matanya yang tajam dan dingin seolah menembus Risa. Ia tidak membuang sedetik pun waktu untuk basa-basi.

​"Pagi, Manager Risa," balas Damian. Ia menggunakan gelar jabatan itu dengan penekanan yang jelas, seolah ingin menegaskan bahwa di kantor ini, Risa hanyalah salah satu karyawannya. "Pastikan laporan profit-loss triwulan sudah saya terima sebelum makan siang."

​Itu bukan permintaan, melainkan perintah—perintah yang tidak akan pernah ia sampaikan kepada istrinya.

​"Tentu, Tuan Damian. Akan saya pastikan," jawab Risa, lagi-lagi dengan sikap membungkuk hormat.

​Damian mengangguk kaku, lalu menggeser tubuhnya sedikit. Ia masuk ke kantor CEO-nya, meninggalkan Risa dengan rasa beku yang selalu ia rasakan setiap pagi.

​Risa menarik napas tipis, yang nyaris tak terdengar. Ia lalu berbalik dan masuk ke ruangannya. Di belakang pintu, ia kembali menjadi Manajer Risa yang efisien.

​Di depan dunia, mereka adalah rekan kerja yang dingin. Di kamar terpisah, mereka adalah suami istri yang tak tersentuh. Sandiwara itu dimulai lagi.

Begitu pintu ruangannya tertutup sempurna, Risa sedikit memejamkan mata. Tarikan napasnya menjadi lebih dalam, mencoba mengisi paru-paru yang terasa kosong. Wajah pucatnya yang sedikit memudar di balik riasan tipis, ternyata tidak terlihat oleh Damian. Suaminya bahkan mungkin tidak menyadari perubahan itu, saking kakunya hubungan mereka.

​Risa sadar, keengganan Damian bukan hanya soal bisnis. Di rumah, mereka memang akan bicara, tetapi yang dibahas hanya berkisar pada bisnis dan pekerjaan. Mereka bahkan tidak punya waktu untuk saling memberikan perhatian, atau sekadar menanyakan kabar.

​Bukan karena tidak ada waktu, tetapi Damian terlalu sibuk memikirkan bagaimana menjalankan perusahaan, sementara Risa selalu dituntut oleh Damian untuk serba bisa sebuah tuntutan tak terucapkan yang berasal dari tuduhan gila harta dan keraguan atas kemampuannya.

Damian ingin melihat Risa bekerja keras, seolah hanya dengan membuktikan diri di kantor, Risa bisa sedikit menebus dosanya (yang hanya ada dalam pikiran Damian).

​Sebenarnya, beban Risa sangatlah berat. Peran balas budi yang ia pikul membuat Risa terkadang mengabaikan segalanya, termasuk kesehatannya yang sedikit menurun akhir-akhir ini. Rasa sakit di bagian perutnya sering datang menusuk, dan ia sering merasa kelelahan yang tak tertahankan, namun ia selalu menutupinya.

​Risa hanya bisa memegang erat prinsipnya: ia akan menjalankan perannya sebagai istri yang kompeten, menepati janji pada mendiang Kakek Wijaya, dan menunggu.

​Menunggu hingga Gunung Es itu mencair. Atau hingga ia sendiri yang habis terkikis kedinginan.

​Lia mengetuk pintu. "Manager Risa, tim sudah siap. Ruang rapat?"

​Risa seketika membuka mata. Wajahnya kembali mengenakan topeng profesionalisme. "Ya, Lia. Kita mulai sekarang."

Ia harus mendapatkan tender itu. Bukan demi kekayaan, tapi demi janji dan demi membuktikan bahwa ia tidak serendah tuduhan suaminya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!