NovelToon NovelToon
THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

THE SMILING KILLER : Faces Of Mercy

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Action
Popularitas:463
Nilai: 5
Nama Author: Firmanshxx969

Di tengah gemerlap kota, kegelapan purba bangkit.

​Satu per satu, para elite yang telah "bertobat" ditemukan tewas dalam ritual penyiksaan yang mengerikan. Mantan preman, pengusaha licik, semua yang kini dermawan, tubuhnya dipajang sebagai altar dosa masa lalu mereka.

​Sang pembunuh tidak meninggalkan sidik jari. Hanya sebuah teka-teki teologis: ayat-ayat Alkitab tentang murka dan penghakiman yang ditulis dengan darah.

​Media menjulukinya: "Sang Hakim".

​Ajun Komisaris Polisi (AKP) Daniel Tirtayasa, detektif veteran yang hidupnya ditopang oleh iman, ditugaskan memburu bayangan ini.

​Namun, perburuan kali ini berbeda. Sang Hakim tidak hanya membunuh; ia berkhotbah dengan pisau bedah, memutarbalikkan setiap ayat suci yang Daniel pegang teguh. Setiap TKP adalah kapel penghujatan yang menantang eksistensi pengampunan.

​Kini, perburuan ini menjadi personal.

​Mampukah Daniel menangkap Sang Hakim sebelum imannya sendiri hancur berkeping-keping?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firmanshxx969, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 15

Sudah hampir tiga minggu sejak pembunuhan Lukas Santoso. Tiga minggu yang terasa seperti tiga tahun yang dijalani di bawah cahaya lampu neon dan aroma kafein yang tak berkesudahan.

Bagi Daniel Tirtayasa, waktu telah kehilangan bentuknya. Tidak ada lagi hari kerja atau akhir pekan, siang atau malam. Yang ada hanyalah siklus tanpa akhir dari laporan, analisis, rapat, dan jalan buntu. Ruang komando Satgasus telah menjadi dunianya sebuah kapsul bertekanan tinggi yang diisi dengan foto-foto mengerikan dan bisikan tentang iblis yang mereka buru.

Dan di luar kapsul itu, dunianya yang sesungguhnya mulai retak.

Ia pulang pukul dua pagi. Rumahnya gelap dan sunyi. Bau samar susu dan minyak telon Nadia menyambutnya di dekat pintu, sebuah kontras yang menusuk dengan bau kopi basi dan kertas yang menempel di jaketnya. Ia melepas sepatunya di dekat pintu dengan gerakan sepelan mungkin, tidak ingin memecah keheningan yang terasa begitu rapuh. Dulu, pulang ke rumah terasa seperti memasuki pelabuhan. Kini, rasanya seperti memasuki museum dari kehidupan yang pernah ia miliki.

Saat ia masuk ke kamar tidur, sebuah lampu kecil di meja nakas menyala. Sarah, istrinya, duduk di tepi tempat tidur, menunggunya. Wajahnya yang biasanya hangat kini dihiasi oleh guratan kekhawatiran yang dalam.

“Mas?” sapanya lembut, suaranya serak karena mengantuk.

Hati Daniel terasa seperti diremas. Rasa bersalah. “Aku tidak bermaksud membangunkanmu.”

“Aku memang belum tidur,” jawab Sarah. Ia menggeser tubuh, memberi ruang. “Nadia demam lagi tadi. Dia terus memanggil-manggil namamu.”

Tusukan rasa bersalah itu semakin dalam. Nadia. Putrinya. Ia bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia membacakan dongeng untuknya. “Dia baik-baik saja sekarang?”

“Sudah turun panasnya. Tapi bukan itu intinya, Mas.” Suara Sarah kini sedikit bergetar. Ia mengulurkan tangan untuk menyentuh lengan Daniel. “Kamu. Lihat dirimu. Kamu kurusan. Matamu cekung. Kapan terakhir kali kamu benar-benar tidur... di sini?”

Daniel menghindari tatapan mata istrinya. Ia tidak bisa memberitahunya. Ia tidak bisa menceritakan tentang panggilan telepon itu, tentang kata "Gembala" yang kini terasa seperti kutukan. Ia tidak bisa menjelaskan perasaan diawasi yang terus menghantuinya, atau paranoia yang membuatnya memeriksa kunci pintu tiga kali sebelum tidur. Melindunginya berarti membangun sebuah tembok di antara mereka, dan tembok itu kini semakin tinggi.

“Hanya banyak pekerjaan, Sar. Kasus ini rumit,” jawabnya. Kalimat standar yang terasa seperti abu di mulutnya.

“Aku tahu,” kata Sarah. “Tapi kamu tidak di sini bahkan saat kamu sedang di sini. Tadi pagi, Nadia menunjukkan gambarnya padamu, dan kamu hanya mengangguk tanpa benar-benar melihatnya. Kamu jauh sekali, Mas. Rasanya seperti berbicara dengan bayangan.”

Daniel merasakan sengatan dari kebenaran kata-kata itu. Ia ingin meraih istrinya, memeluknya, dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Tapi ia tidak bisa. Rasanya seperti berbohong. Bagaimana ia bisa menjanjikan keamanan, jika ia sendiri merasa terancam? Bagaimana ia bisa memberikan kehangatan, jika jiwanya sendiri terasa dingin membeku, terkontaminasi oleh kengerian yang ia lihat setiap hari?

Ia hanya menepuk pelan tangan Sarah. “Aku lelah. Kita bicara besok.”

Itu adalah sebuah pengelakan. Mereka berdua tahu itu. Malam itu, Daniel tidur di sofa di ruang kerjanya. Bukan karena mereka bertengkar, tetapi karena ia tidak sanggup berbaring di samping istrinya. Ia merasa kotor. Ia takut membawa hantu-hantu dari pekerjaannya ke atas ranjang mereka.

Retakan itu tidak hanya muncul di keluarganya. Retakan yang lebih dalam muncul di tempat yang paling fundamental: di dalam imannya.

Ritual doa paginya, yang selama bertahun-tahun menjadi jangkar bagi jiwanya, kini terasa hampa. Pagi itu, ia berlutut di ruang kerjanya yang remang, Alkitab kecilnya yang usang terbuka. Ia mencoba memejamkan mata, mencoba menemukan keheningan.

Ia memulai dengan kata-kata yang sudah mendarah daging. “Tuhan, buka mataku agar melihat kebenaran-Mu…”

Sebuah gema menyela di dalam benaknya. Suara digital yang dingin.

…Gem-ba-la?

Mata Daniel langsung terbuka. Napasnya tercekat. Suara itu begitu jelas, seolah Sang Hakim sedang berdiri di sudut ruangan yang gelap, mengejeknya. Doanya hancur. Keheningan sucinya telah dinodai.

Ia mencoba lagi, tetapi pikirannya kini dipenuhi oleh pertanyaan-pertanyaan beracun yang belum pernah ia izinkan muncul.

Tuhan, Engkau adalah Gembala Agung, pikirnya, doanya kini berubah menjadi debat yang pahit. Tetapi ada serigala di antara kawanan domba-Mu. Seekor serigala yang sangat fasih mengutip firman-Mu. Dia memakai nama-Mu untuk membantai, untuk menyebar teror. Di mana Engkau dalam semua ini? Kenapa Engkau diam?

Ia menatap salib kecil yang tergantung di dinding. Biasanya, itu adalah simbol harapan. Kini, ia hanya melihat instrumen penyiksaan, sama seperti pisau bedah Sang Hakim. Keduanya digunakan untuk menumpahkan darah atas nama sebuah keyakinan.

Atau... jangan-jangan... sebuah pikiran yang lebih gelap dan mengerikan muncul. Jangan-jangan Engkau diam karena Engkau setuju dengannya?

Daniel merasa mual. Ia tidak sanggup melanjutkan. Ritual yang dulu memberinya kekuatan, kini hanya meninggalkannya dengan perasaan ragu dan ditinggalkan. Sang Hakim menyerangnya di bentengnya yang paling pribadi.

Malam harinya, obsesi Daniel tumpah dari ruang komando. Ia membawa pulang berkas-berkas paling penting, berharap suasana rumah bisa memberinya perspektif baru. Di atas meja makan meja di mana seharusnya ia berbagi cerita dengan Nadia kini terhampar foto-foto TKP yang mengerikan. Wajah Lukas, tubuh Riana Wulandari.

Ia begitu tenggelam dalam pekerjaannya hingga tidak mendengar Sarah masuk, membawa secangkir teh panas.

“Mas, ini teh…” Suara Sarah terhenti. Ia melihat foto-foto itu. Tangannya yang memegang cangkir gemetar, tehnya sedikit tumpah. “Ya Tuhan… apa ini?”

Daniel mendongak, tersentak. Ia terlambat. “Sar, aku…”

“Jangan bawa ini ke rumah, Mas!” kata Sarah, suaranya kini naik, campuran antara ngeri dan pilu. “Ini rumah kita. Tempat Nadia makan. Jangan racuni tempat ini dengan kengerian seperti itu. Ini tidak sehat. Untukmu, dan untuk kami.”

“Aku harus, Sar!” balas Daniel, suaranya lebih tajam dari yang ia maksudkan. Ia berdiri, menunjuk pada foto-foto itu. “Aku harus melihatnya, memahaminya, hidup di dalamnya sampai aku bisa menemukan polanya! Ini satu-satunya cara untuk menghentikannya sebelum ada foto lain seperti ini!”

“Dengan mengorbankan keluargamu sendiri?” tanya Sarah pelan, air mata mulai menggenang di matanya.

Kata-kata itu menghantam Daniel lebih keras dari sebuah pukulan. Ia menatap wajah istrinya yang terluka, lalu ke foto-foto kematian, lalu kembali ke wajah istrinya. Ia melihat retakan itu dengan jelas sekarang, sebuah jurang yang semakin lebar di antara dua dunianya.

Sarah meletakkan cangkir teh itu di meja, jauh dari foto-foto, lalu berbalik dan meninggalkan ruangan.

Daniel duduk kembali, dikalahkan oleh keheningan. Ia menatap kekacauan di depannya. Sang Hakim tidak perlu menyentuh keluarganya secara fisik. Ia sudah berhasil menyusup ke dalam rumah ini. Ia telah mengubah seorang suami dan ayah menjadi seorang detektif yang obsesif. Ia telah mengubah rumah yang penuh kehangatan menjadi pos komando bayangan. Ia telah mengubah doa menjadi keraguan.

Ia menyadari bahwa Sang Hakim sedang memenangkan perang psikologis ini.

Dengan sebuah gerakan yang terasa sangat berat, Daniel mengumpulkan semua berkas dan foto-foto itu. Ia memasukkannya kembali ke dalam tas kerjanya dan menguncinya.

Ia berjalan keluar dari ruang makan, mematikan lampu. Ia menemukan Sarah sedang duduk di sofa ruang keluarga, memeluk sebuah bantal, menatap kosong ke layar televisi yang mati.

Daniel tidak berkata apa-apa. Ia hanya duduk di sampingnya. Ada jarak beberapa sentimeter di antara mereka yang terasa seperti jurang. Perlahan, ia mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan istrinya. Tangan itu terasa dingin.

Itu adalah sebuah tindakan perlawanan kecil. Sebuah upaya untuk mulai memperbaiki retakan di dinding rumahnya. Ia tahu ia tidak bisa membiarkan Sang Hakim menang, tidak hanya di jalanan Jakarta, tetapi juga di sini, di dalam hatinya sendiri. Pertarungan ini kini memiliki medan perang yang baru.

1
Haruhi Fujioka
Wow, endingnya bikin terharu.
Si Hibernasi: mampir kak, judulnya Iblis penyerap darah, mungkin saja suka🙏
total 1 replies
Gohan
Ceritanya bikin merinding. 👻
naotaku12
Dapet pelajaran berharga. 🧐📝
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!