NovelToon NovelToon
Reign Of The Shadow Prince

Reign Of The Shadow Prince

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Timur / Transmigrasi / Fantasi Isekai
Popularitas:553
Nilai: 5
Nama Author: ncimmie

di khianati dan di bunuh oleh rekannya, membuat zephyrrion llewellyn harus ber transmigrasi ke dunia yang penuh dengan sihir. jiwa zephyrrion llewellyn masuk ke tubuh seorang pangeran ke empat yang di abaikan, dan di anggap lemah oleh keluarga, bangsawan dan masyarakat, bagaimana kehidupan zephyrrion setelah ber transmigrasi?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ncimmie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

16

Selesai membeli pakaian untuk mereka, Valerian, Alaric, dan para budak itu kembali ke istana. Begitu melewati gerbang utama, para budak menatap sekeliling dengan mata terbelalak kagum. Istana Phoniks tampak megah dengan menara tinggi berwarna keemasan dan taman yang dipenuhi bunga langka. Mereka tak pernah membayangkan akan tinggal di tempat seindah itu.

Valerian berjalan masuk dengan langkah tenang lalu duduk di kursi utama ruang tamu. Alaric segera pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman, sementara para budak hanya berdiri di sisi ruangan, menatap tuan baru mereka dengan tatapan penuh heran.

Anak itu membuka jubah hitamnya perlahan, memperlihatkan rambut perak yang berkilau lembut dan mata emas yang tampak bersinar di bawah cahaya sore. Dalam sekejap, keheningan menyelimuti ruangan. Tak ada satu pun dari mereka yang berani berbicara—aura Valerian terlalu kuat, terlalu berwibawa untuk mereka pandang lama-lama.

Tak lama, Alaric kembali dengan troli berisi teh dan kudapan ringan. Ia menuangkan teh ke dalam cangkir dan menyodorkannya dengan sopan.

“Silakan diminum, Pangeran,” ucapnya.

Kata pangeran membuat semua budak itu saling berpandangan. Mereka terkejut. Rambut perak? Mata emas? Hanya satu keluarga di seluruh kerajaan yang memiliki ciri seperti itu.

Valerian menerima teh itu, menyesap perlahan, lalu mengambil sepotong kue kecil. “Ambillah, dan bagi-bagikan,” katanya tenang.

Salah satu dari mereka maju ragu-ragu, mengambil piring, lalu membagikan kue kepada yang lain. Wajah-wajah yang awalnya tegang kini sedikit melunak, tapi tatapan mereka pada Valerian masih penuh hormat dan rasa takut.

“Mulai sekarang,” suara Valerian memecah keheningan, “kalian akan menjadi orang-orangku. Aku membeli kalian bukan untuk membersihkan istana ini, tapi untuk menjadi pasukan yang melindungiku—dan menaati perintahku.”

Mereka serempak berlutut, tangan kanan menempel di dada kiri.

“Yang Mulia Pangeran, kami bersumpah setia. Kami tidak akan mengkhianati Anda.”

Valerian tersenyum tipis, senyum yang membuat bulu kuduk siapa pun berdiri.

“Aku sangat benci pengkhianatan,” ucapnya pelan. Api biru menyala di telapak tangannya, berputar tenang namun memancarkan panas yang mengancam. “Jika kalian mengkhianatiku, maka api ini akan menjadi akhir kalian.”

Beberapa dari mereka menelan ludah keras-keras.

Valerian menurunkan tangannya, api itu padam seketika. “Aku tidak tahu nama kalian,” lanjutnya datar. “Perkenalkan diri kalian.”

Namun salah satu dari mereka menunduk dan berkata, “Pangeran, sebaiknya Anda yang memberi kami nama baru. Itu akan menjadi tanda awal kehidupan kami yang baru.”

Valerian menatap mereka sejenak, lalu melirik ke arah Alaric. “Apa benar begitu?”

Alaric, yang berdiri di sampingnya, buru-buru menunduk. “Memangnya ada yang seperti itu ya?” gumam Valerian pelan, membuat Alaric tersenyum kecil.

Ternyata pangeranku masih polos juga, pikir Alaric dalam hati. Meski Valerian memiliki pikiran matang dan kekuatan luar biasa di usia empat belas tahun, tetap saja ada sisi polos yang tidak hilang darinya.

“Tentu saja benar, Pangeran,” jawab Alaric lembut. “Nama dari Anda akan menjadi kehormatan bagi mereka.”

Valerian mengetuk meja pelan, memaksa pikirannya untuk bekerja cepat. Mata emasnya menatap satu per satu budak yang berdiri di hadapannya. Dalam hening itu, nama-nama mulai bermunculan di benaknya — tiap nama mengandung makna dan tujuan.

Ia berdiri, melangkah perlahan ke barisan pertama — seorang pria berambut putih dengan mata merah tajam.

“Kau…” suaranya tenang tapi berwibawa. “Mulai sekarang, namamu Raven. Kau akan menjadi mataku dalam bayangan.”

Pria itu menunduk dalam, suaranya bergetar rendah. “Terima kasih, Yang Mulia.”

Valerian beralih pada gadis berambut pirang kusam di sebelahnya.

“Kau, Lyra. Tangan dan suaramu akan mengatur semua komunikasi rahasia. Tak ada pesan yang keluar tanpa sepengetahuanku.”

Kemudian ia berhenti di depan pria berotot yang berdiri tegap meski jelas sedang gemetar.

“Kael,” katanya datar, “kau akan menjadi perisai di garis terdepan. Tak seorang pun boleh menyentuhku tanpa melewati dirimu.”

Valerian terus melangkah, memberikan nama satu per satu —

“Nero, Eira, Lune, Vern, Azel, Seren...”

Hingga akhirnya, ia berhenti di depan pria bermata abu-abu yang menatapnya tanpa gentar.

“Dan kau… Renan.”

Valerian mundur selangkah, menatap mereka semua. Tatapan matanya tajam dan dalam, seperti menembus sampai ke jiwa mereka.

“Nama-nama itu bukan sekadar identitas baru,” ujarnya pelan, namun penuh kekuatan. “Itu tanda bahwa kalian hidup di bawah sayapku. Ingat, selama kalian setia — aku akan melindungi kalian. Tapi sekali kalian berkhianat…” ia tersenyum tipis, dingin. “Nama itu akan terhapus selamanya.”

Kesepuluh orang itu serempak berlutut, tangan kanan mereka menempel di dada kiri.

“Setia pada Yang Mulia Pangeran Valerian, sampai akhir!” suara mereka menggema, menembus dinding istana yang megah.

Valerian tersenyum puas, senyum tipis yang sulit diartikan antara kehangatan dan ancaman.

“Alaric,” panggilnya lembut. “Antarkan mereka ke kamar masing-masing.”

Alaric membungkuk hormat lalu memimpin mereka keluar. Begitu ruangan kembali sunyi, Valerian menatap ke arah jendela besar istana Phoniks — tempat senja mulai turun, mewarnai langit dengan merah keemasan.

“Ini baru permulaan,” bisiknya.

Hari ini adalah hari pertamanya di istana Phoniks — dan juga hari pertama roda kekuasaannya mulai berputar.

Rapat negara sudah ia acaukan, dan perlahan, ia akan membuat para pendukung putra mahkota berpaling kepadanya. Butuh waktu… tapi waktu selalu berpihak pada orang yang sabar menunggu dalam bayangan.

Rakyat mungkin belum tahu bahwa pangeran ketiga masih hidup.

Namun, mereka akan tahu.

Dan saat hari itu tiba—nama Valerian akan menjadi legenda yang menelan cahaya kerajaan itu sendiri.

Sore itu, cahaya matahari menembus jendela kaca besar istana Phoniks, menciptakan bayangan panjang di lantai marmer putih. Valerian baru saja menutup percakapannya dengan Alaric ketika langkah tergesa para penjaga terdengar di depan pintu utama.

“Yang Mulia,” ujar salah satu dari mereka dengan nada canggung, “Putra Mahkota datang berkunjung.”

Ruangan mendadak terasa dingin. Alaric yang berdiri di sisi Valerian menatap heran—kunjungan mendadak seperti ini jarang terjadi, apalagi tanpa pemberitahuan resmi dari istana pusat.

Valerian menghela napas pendek, lalu berdiri.

“Suruh dia masuk,” ucapnya tenang.

Pintu besar terbuka, menampilkan sosok Putra Mahkota dengan jubah merah keemasan yang berkilau diterpa cahaya sore. Di belakangnya, beberapa pengawal berpakaian elit mengikutinya dengan langkah tegap.

“Adikku yang hilang akhirnya pulang juga,” suara Putra Mahkota terdengar ringan tapi penuh sindiran. “Kau membuat banyak orang bingung, Valerian. Mereka pikir kau sudah mati.”

Valerian menatapnya datar, mata emasnya tidak menunjukkan sedikit pun emosi. “Sayangnya aku belum mati,” jawabnya tenang. “Mungkin itu membuat beberapa orang kecewa.”

Senyum di wajah Putra Mahkota menegang.

“Masih sama seperti dulu, ya? Lidahmu tajam, tapi apa kau lupa posisi kita? Aku adalah pewaris tahta, dan kau hanyalah bayangan yang kebetulan lahir dari darah yang sama.”

Alaric menggenggam ujung pakaiannya erat, berusaha menahan amarahnya. Tapi Valerian bahkan tidak bergerak. Ia hanya menatap kakaknya dengan ekspresi datar yang anehnya membuat suasana makin menekan.

“Jika begitu,” ucap Valerian perlahan, “mengapa bayangan sepertiku cukup penting sampai seorang pewaris tahta datang sendiri ke sini?”

Nada tenangnya menusuk halus, membuat beberapa pengawal Putra Mahkota menundukkan kepala dengan tegang.

Putra Mahkota menyipitkan mata, menatap Valerian dari ujung kepala hingga kaki, seolah ingin mencari kelemahan yang bisa dijadikan bahan olok-olok. Tapi yang ia temukan hanya anak berusia empat belas tahun dengan tatapan seperti api tenang—dingin, berbahaya, dan memantulkan kekuasaan yang belum tampak di permukaan.

“Jaga ucapanmu, Valerian. Aku datang untuk mengingatkanmu agar tidak melangkah terlalu jauh. Istana Phoniks ini mungkin milikmu, tapi benua ini tetap di bawah perintahku.”

Valerian perlahan tersenyum, tipis, hampir tidak terlihat.

“Lalu apa kau pikir aku ingin benua ini?”

Tatapannya menajam. “Aku hanya ingin mengubah cara ia berjalan.”

Kata-kata itu membuat udara terasa menegang.

Putra Mahkota menatap Valerian lama, sebelum akhirnya berbalik dengan langkah keras. “Kau benar-benar tidak berubah. Masih berani menantang bahkan tanpa kekuatan.”

Saat pintu menutup di belakangnya, Alaric menatap Valerian cemas.

“Pangeran… apakah anda yakin tidak menyinggungnya terlalu jauh?”

Valerian menatap secangkir teh yang belum tersentuh di meja.

“Menyinggung?” gumamnya pelan. “Tidak, Alaric. Aku hanya menunjukkan padanya bahwa aku masih hidup—dan itu sudah cukup membuatnya takut.”

1
彡 Misaki ZawaZhu-!
Bingung mau ngapain setelah baca cerita ini, bener-bener seru!
Nori
Buku-buku sebelumnya sudah seru, tapi yang ini bikin aku ngerasa emosi banget.
Brian
Terpesona
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!