Saat kehamilan itu benar-benar terjadi pada Livia, dia bermaksud memberikan kejutan dengan datang ke kantor suaminya untuk mengabarkan kabar bahagia tersebut.
Tapi apa yang dia dapatkan, sangatlah mengguncang perasaannya.
Ternyata di ruangannya, Alex tengah bersama seorang wanita berparas lembut, dengan gadis kecil yang duduk di pangkuannya.
Bukannya merasa bersalah, setelah kejadian itu Alex malah memberi pernyataan, "kita berpisah saja!" Betapa hancur hati Livia. Dia tak menyangka, Alex yang begitu
mencintainya, dengan mudah mengatakan kata-kata perpisahan. Lalu apa jadinya jika suatu hari Alex mengetahui kalau dia sudah menelantarkan darah dagingnya sendiri dan malah memberikan kasih sayangnya pada anak yang tidak ada hubungan darah dengannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hasri Ani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KEDATANGAN ALETTA
"Ma... Mama... ada kabar bagus, Ma!" teriak Aurelie memanggil-manggil ibunya yang tengah membuat kue di dapur. Hari ini rencananya akan ada arisan di rumahnya.
"Aurel, kamu ini teriak-teriak kayak di hutan aja! Ada
kabar gembira apa, sih?" semprot ibunya sambil melotot.
"Ma, akhirnya Maaa... si perempuan mandul itu bakalan dicerein Bang Alex. Duh, aku seneng banget."
Aurel melompat-lompat kecil. Dia lupa kalau sekarang dirinya tengah hamil tua.
"Heyyy, jangan lompat-lompat begitu! Kamu sedang hamil."
Aurel tersadar dan akhirnya terkekeh sendiri.
"Saking happy nya, Ma..."
"Happy sih happy, tapi ingat kondisi kamu. Tapi memangnya sudah fiks, Kakakmu akan ceraikan dia?"
Aurel mengangguk yakin. "Abang sendiri yang bilang sama aku kemarin."
"Waaah... kalau gitu patut kita rayakan!" Kedua ibu dan anak itu tertawa puas, tak ingat kalau semua yang terjadi ke depan adalah rahasia Tuhan.
"Eh. Kamu sudah makan belum? Tuh, di dapur Mama masak banyak makanan. Kakakmu Aletta akan datang," kata Wulan. Tapi Aurelie menggeleng.
"Aku sudah makan, Ma, di mal. Ini baru pulang dari
Sana."
"Jangan keseringan makan junk food! Tidak baik untuk kesehatan anak dan ibu hamil."
"Tapi Syaira yang minta, Ma. Dia bakalan tantrum kalau nggak diturutin," jawab Aurel sambil mencomot sepotong kue yang sudah matang.
"Ya udah, tapi jangan dibiasain, kalau keterusan bahaya." Nasihat Wulan lagi, sambil menyelesaikan memanggang kue terakhir.
Livia membawa kakinya melangkah ke ruangan Sean.
Tadi lelaki itu memanggil ke ruangannya.
Tiba di depan ruangan Sean, tangannya terulur mengetuk pintu.
"Masuk!"
Livia memutar handle pintu.
"Selamat pagi, Pak."
"Pagi, Livia. Silakan duduk!"
"Ada apa Anda memanggil saya?" tanya Livia setelah duduk di hadapan meja Sean.
"Maaf, Liv, bukan maksud aku mau ikut campur, tapi jika kamu sudah yakin dengan keputusanmu bercerai dari Alex dan belum memiliki pengacara, aku ada kenalan. Dia sudah terbiasa menangani kasus seperti itu. Jika kamu mau, aku akan bantu menghubunginya."
Livia terdiam. Keinginan bercerai dari Alex meskipun terasa berat, tapi dia sudah yakin. Tak ada yang bisa
Dipertahankan lagi. Bahkan ketika Livia bilang akan memperbaiki semuanya, Alex malah semakin terhanyut memberikan kasih sayangnya pada anak itu. Bahkan wallpaper di laptopnya pun, barang pribadinya yang setiap saat ada di dekatnya, adalah foto gadis kecil itu. Ini sangat melukai perasaan terdalam Livia.
"Terima kasih, Pak, atas perhatiannya. Tapi Anda sudah terlalu banyak menolong saya. Saya tak ingin merepotkan Anda la-"
"Sssttt! Jangan bicara begitu. Mungkin perusahaan ini un sudah ikut andil dalam kisruh rumah tanggamu. Jadi pun biarkan aku tetap membantumu sampai semuanya selesai."
Akhirnya Livia mengangguk. Dia memang tak begitu paham tentang pengacara yang berkompeten untuk mengurus masalah perceraian.
"Baiklah Pak, terima kasih sekali lagi. Kalau begitu saya permisi untuk melanjutkan pekerjaan."
Sean mengangguk, setelah itu Livia pun keluar dari ruangannya.
Aletta, kakak tertua Alex, datang dari Solo. Alex sudah mengabarinya kalau dia akan bercerai dari Livia.
Sebagai kakak tertua, dia ingin coba memberi nasihat pada adik dan adik iparnya. Dan kebetulan, di antara semua keluarga Alex, termasuk ayah, ibu, Anita, dan si bungsu Aurelie, Aletta lah yang paling waras. Pola pikirnya modern, logis, tapi juga tetap masih mau menggunakan perasaan.
Dari awal Alex menikah dengan Livia, hanya Aletta lah yang mendukung. Menurut pengamatannya, ia tak melihat ada keburukan pada pribadi Livia, meski memang dia mengakui kalau Livia terlalu berambisi dalam meraih kariernya. Tapi dia masih memaklumi. Sebagai anak yang dibesarkan di panti asuhan, Livia ingin memberikan kebanggaan pada seluruh penghuni panti dan juga memberikan contoh yang baik bagi junior-juniornya.
Hanya Alex saja yang kurang sabar, menurutnya.
Aletta tiba di rumah, tepat di saat ibu-ibu arisan teman-teman ibunya tengah bergosip sambil menikmati hidangan.
"Assalamualaikum..." Salam Aletta, menghentikan obrolan unfaedah mereka.
"Waalaikumsalam, Letta... duh putri sulungku sudah datang. Ayo masuk, Nak! Kamu sendirian saja? Mana cucu-cucu Mama?" sambut Wulan heboh.
"Anak-anak di rumah sama Mas Johan. Aku cuma sebentar kok di sini. Ada yang harus aku urus," jawab Aletta sambil melepas sepatunya. Senyumnya hangat, tapi sorot matanya tajam mengamati suasana ruang tamu yang penuh dengan ibu-ibu arisan.
"Oh, ya ampun, itu Aletta ya? Cantik banget sekarang... tetap kelihatan muda," celetuk salah satu ibu-ibu sambil nyengir sok akrab.
"Iya, iya... beda ya, gayanya kelihatan kalem dan anggun. Meski sudah berumur, tapi tetap terlihat awet muda," sambung yang lain sambil melirik-lirik, antara pujian dan sindiran terselubung.
Aletta hanya mengangguk sopan. Ia tidak suka basa-basi, apalagi kalau nadanya setengah meremehkan.
"Ma, aku masuk dulu. Mari ibu-ibu..." pamit Aletta.
Wulan mengangguk dan kembali melanjutkan rumpian mereka.
Rupanya Wulan sudah memberi pengumuman pada teman-temannya kalau putra satu-satunya, Alex, akan segera bercerai. Tentu saja dibumbui dengan segala keburukan Livia dari A sampai Z.
Aletta yang samar-samar masih mendengar obrolan mereka, merasa sangat gemas. Ingin rasanya melabrak mereka, tapi tubuhnya masih terasa lelah. Akhirnya, dia melanjutkan langkah menuju kamarnya.
Secara pribadi Aletta mengunjungi apartemen adiknya, Alex. Kebetulan sore itu Livia sudah ada di apartemennya, sementara Alex masih belum pulang.
"Kak Letta... aku senang kakak datang. Apa kabar, Kak?" sambut Livia saat baru saja membukakan pintu.
Keduanya saling bercipika-cipiki.
"Kakak baik, Dek. Kamu sendiri gimana? Kok kelihatannya agak pucat dan lemas gitu? Tapi kamu baik-baik saja, kan?"
"Alhamdulillah baik, Kak. Ayok masuk!"
Livia langsung membawa kakak iparnya ke ruang tengah.
"Sebentar, aku bikinkan minum dulu."
Livia beranjak ke dapur, dan tak berapa lama kembali lagi dengan dua cangkir teh hangat dan beberapa camilan di toples.
"Kakak kapan dari Solo?"
"Dua jam yang lalu. Istirahat bentar terus ke sini. Alex belum pulang?" Livia menggeleng.
"Aku pulang cepat dari kantor."
Lalu mereka pun ngobrol ringan ke sana ke mari.
Cerita tentang anak-anak Aletta yang kini sudah benar-benar gede. Si sulung Kamal sudah kelas 1 SMA, sementara si bungsu Naira kelas 1 SMP.
Dan tibalah pada obrolan pokok mereka.
"Benar kalian akan bercerai?" tanya Aletta dengan tatapan yang langsung mengena ke retina terdalam Livia.
Wanita itu mencoba mengalihkan tatapannya, tapi dia tak bisa menutupi lagi. Dan mengangguk perlahan.
"Kenapa, Liv? Bukankah kalian begitu saling mencintai? Bahkan Alex sampai rela menentang kedua orangtua kami saat mereka menyatakan ketidaksetujuannya atas pernikahan kalian?"
Livia menunduk. Air matanya tak terasa mulai berjatuhan.
"Mungkin berawal dari kesalahanku yang terlena mengejar karier. Tapi pada saat aku mulai menyadari dan ingin mengurangi aktivitasku, bahkan saat aku siap hamil, Alex sudah terlanjur berubah. Dia udah gak setia lagi sama aku, Kak. Hatinya kini sudah mendua."
Jadi benar. Aletta sudah meminta seseorang untuk
Mengawasi Alex, saat adiknya itu mengatakan kalau dia akan bercerai.
"Ayo ikut Kakak!"
"Ke mana?" Livia bingung.
"Ikut saja, nanti kamu juga tahu!"
Mau tak mau, Livia pun mengangguk. Dan setelah Livia berganti pakaian, mereka pun keluar dari unit apartemen.
35 menit perjalanan, Aletta menghentikan mobil yang dia pinjam dari ayahnya di depan sebuah taman kanak-kanak.
Menurut alamat yang dia dapatkan dari seseorang, rumah yang akan dia datangi letaknya tepat berada di belakang TK ini.
"Ayo kita turun!"
Mereka keluar dari mobil dan berjalan ke arah gang sempit. Tak jauh, hanya beberapa langkah, mereka sampai di sebuah rumah sederhana namun terlihat bersih dan rapi.
Aletta langsung membuka pagar yang tidak digembok, lalu masuk ke halaman.
Rumah itu terlihat sepi, tapi Aletta mencoba mengetuknya.
Seorang perempuan seumuran Alex membuka pintu. Dia tampak terkejut saat menatap pada Livia.