Jaka, pemuda desa yang tak tahu asal-usulnya, menemukan cincin kuno di Sungai Brantas yang mengaktifkan "Sistem Kuno" dalam dirinya.
Dibimbing oleh suara misterius Mar dan ahli spiritual Mbah Ledhek, ia harus menjalani tirakat untuk menguasai kekuatannya sambil menghadapi Bayangan Berjubah Hitam yang ingin merebut Sistemnya.
Dengan bantuan Sekar, keturunan penjaga keramat, Jaka menjelajahi dunia gaib Jawa, mengungkap rahasia kelahirannya, dan belajar bahwa menjadi pewaris sejati bukan hanya tentang kekuatan, tetapi tentang kebijaksanaan dan menjaga keseimbangan dunia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ali Jok, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PANGGILAN DARI PUNCAK
Tiga hari. Itu waktu yang kami habiskan untuk mempersiapkan segalanya sejak pengakuan pahit Eyang Retno di perpustakaan. Tiga hari dimana kata "Bramantya" dan "Merapi" menggantung di udara seperti aroma petaka yang tak bisa dihilangkan.
"Pemindaian energi konsisten menunjukkan peningkatan aktivitas magis di Gunung Merapi. Level bahaya: tinggi."
"Aku tahu, Mar," gumamku sambil memeriksa tas ransel untuk ketiga kalinya. Isinya sudah sempurna peralatan pendakian, obat-obatan, jimat pelindung dari Mbah Ledhek, dan persediaan makanan untuk seminggu.
Sekar mendekatiku, wajahnya masih menampakkan bekas-bekas kecemasan. "Aku masih tidak yakin tentang ini, Jaka. Eyang... dia belum pulih benar."
Dia menunjuk ke arah Eyang Retno yang sedang duduk di serambi, matanya tertutup dan wajahnya masih pucat. Tapi ada sesuatu yang berbeda tentangnya, sebuah keteguhan yang membuatku yakin ini adalah keputusan yang tepat.
"Dia yang memilih untuk datang," kataku. "Dan kita butuh dia. Hanya Eyang yang tahu rahasia keluarga kita, rahasia yang mungkin bisa menghentikan Bramantya."
Eyang Retno membuka matanya, seolah mendengar pembicaraan kami. "Jaka benar, Sayang. Ini bukan lagi tentang menyelamatkan satu nyawa atau satu tempat. Ini tentang menghentikan kegilaan yang sudah berlangsung selama dua puluh lima tahun."
Dia berdiri dengan gemetar, tetapi suaranya mantap. "Bramantya adalah kakakku. Aku yang harus menghentikannya."
Perjalanan menuju Merapi dimulai saat fajar. Kami memilih rute melalui hutan di sisi selatan, menghindari jalur pendakian biasa. Mbah Ledhek mengantar kami sampai di pinggir hutan, wajahnya penuh kekhawatiran.
"Ingat," pesannya, "Merapi bukan gunung biasa. Dia hidup, dan dia memiliki kemauannya sendiri. Jangan percaya pada semua yang kalian lihat."
"Peringatan: Gangguan energi terdeteksi. Sistem navigasi mungkin tidak akurat."
Lima jam pertama perjalanan relatif lancar. Tapi semakin kami mendekati puncak, semakin aneh atmosfer di sekitar kami. Udara terasa berat, dan ada semacam desisan halus yang terus-menerus terdengar, seperti bisikan dari dalam bumi.
"Kita sudah memasuki wilayah Keraton Merapi," bisik Eyang Retno. "Dengarkan baik-baik. Jika kalian mendengar suara terompet, itu pertanda Mbah Petruk, penjaga gerbang. Itu berarti kita sudah dekat."
Sekar menggenggam tanganku. "Aku mendengar sesuatu."
Kami berhenti dan mendengarkan. Dari kejauhan, terdengar suara seperti terompet raksasa yang bergema melalui lembah. Suaranya sedih sekaligus mengancam.
"Itu dia," kata Eyang Retno. "Dia memberi peringatan. Tapi juga... panggilan."
Saat matahari mulai tenggelam, kami tiba di sebuah tempat yang membuat nafas tertahan. Sebuah lapangan luas dengan batu-batu raksasa yang tersusun aneh, seperti meja dan kursi raksasa. Di sekelilingnya, bayangan-bayangan samar bergerak, dan suara gemuruh seperti pasar ramai memenuhi udara, meski tak seorang pun terlihat.
"Pasar Bubrah," kata Eyang Retno. "Gerbang menuju Keraton Merapi."
"Pemindaian multidimensi: Lokasi ini berada di antara dunia fisik dan spiritual. Tingkat distorsi realitas: 87%."
Dan di tengah semua kekacauan itu, berdiri seorang lelaki yang tak asing lagi. Bramantya. Dia tidak memakai topeng emasnya, dan untuk pertama kalinya, aku melihat wajah aslinya, wajah yang mirip dengan Eyang Retno, tapi dengan mata yang dingin dan kosong.
"Selamat datang, adikku," katanya, menyapa Eyang Retno dengan nada yang hampir sayang. "Aku tahu kau akan datang."
"Berhenti, Bramantya," jawab Eyang Retno, suaranya bergetar. "Sudah cukup. Sudah dua puluh lima tahun..."
"Dan dua puluh lima tahun itulah yang kubutuhkan untuk memahami kebenaran," sambung Bramantya. "Kita bukan sekadar penjaga, Retno. Kita adalah pewaris. Dan Sang Tuan telah menunggu terlalu lama untuk kebangkitan kita."
Dia mengangkat tangannya, dan batu-batu di sekitar kami mulai bergerak, membentuk lingkaran sempurna. Energi magis memenuhi udara, membuat rambut di tanganku berdiri.
"Energi ritual terdeteksi. Level: bahaya ekstrem."
"Jaka, Sekar, mundur!" teriak Eyang Retno.
Tapi sudah terlambat. Sebuah gerbang dari kabut dan api terbuka di tengah lingkaran batu, dan dari dalamnya muncul sosok yang membuat darahku membeku.
Bukan monster atau raksasa. Bukan iblis atau dewa. Tapi seorang lelaki tua dengan wajah yang sangat mirip dengan Eyang Retno dan Bramantya, dengan mata yang bersinar seperti bara api.
"Kakek..." desis Eyang Retno, wajahnya pucat mortir.
Sosok itu tersenyum, dan senyumannya lebih menakutkan daripada amarah mana pun. "Cucu-cucuku. Akhirnya kita bertemu."
"Analisis: Entitas tingkat dewa. Pola energi cocok 99.8% dengan DNA Eyang Retno dan Bramantya. Identitas: Kemungkinan besar adalah kakek buyut mereka, pendiri pertama padepokan."
"Aku bukan sekadar kakek buyut," kata sosok itu, seolah mendengar analisis Mar. "Aku adalah awal dari segalanya. Dan kalian..." matanya beralih ke arahku, "...adalah kunci dari akhir."
Eyang Retno melangkah maju, tongkatnya bergetar di tangannya. "Kakek, mengapa? Mengapa kau melakukan ini? Kau seharusnya sudah beristirahat dengan damai."
"Damai?" Sang Tuan tertawa, dan suaranya seperti gemuruh gunung berapi. "Keturunanku diperintah untuk menjadi penjaga, bukan penguasa! Kita memiliki hak atas kekuatan ini! Bramantya mengerti itu."
Bramantya membungkuk. "Aku hidup untuk melayaimu, Sang Tuan."
Tapi kemudian sesuatu yang tak terduga terjadi. Bramantya tiba-tiba berbalik kepada kami, dan di matanya aku melihat sesuatu yang lain, bukan pengabdian buta, tapi penderitaan.
"Dia... dia tidak seperti yang kukira," bisik Bramantya, suaranya hampir tak terdengar. "Dia bukan ingin membebaskan kita, tapi... menguasai kita semua."
Sang Tuan menggeram. "Pengkhianat!"
Dia mengulurkan tangan, dan Bramantya menjerit kesakitan saat energi disedot dari tubuhnya.
"Tidak!" Eyang Retno berteriak. Dia mengangkat tongkatnya, dan cahaya keemasan memancar, memutus hubungan antara Sang Tuan dan Bramantya.
"Kakak, tolong," tangis Eyang Retno. "Ingatlah siapa kita sebenarnya. Penjaga, bukan perusak."
Bramantya terjatuh, wajahnya penuh penyesalan. "Aku... aku salah. Dia menjanjikan... kekuatan untuk menyembuhkan Retno... setelah cedera latihan dulu..."
Sekarang aku mengerti. Semuanya kembali ke masa lalu, kecelakaan yang mengakibatkan Eyang Retno tidak bisa memiliki keturunan, dan upaya Bramantya untuk menyembuhkannya dengan cara apa pun.
Tapi Sang Tuan sudah marah. "Cukup! Semua pengkhianat akan mati!"
Dia melepas gelombang energi yang menghancurkan ke arah kami. Tapi sebelum mencapai kami, Eyang Retno melompat ke depan, tubuhnya bersinar dengan cahaya terang.
"Jaka, Sekar! Tutup gerbangnya! Hanya darah pewaris yang bisa menutupnya!"
"Energi kehidupan Eyang Retno sedang dikorbankan untuk menyegel gerbang!"
"Tidak! Eyang!" teriak Sekar.
Tapi Eyang Retno sudah berubah menjadi cahaya putih yang menyilaukan, membentuk perisai yang menahan serangan Sang Tuan. "Jagalah satu sama lain... dan jagalah rahasia keluarga kita..."
Dengan air mata, aku menarik Sekar dan Bramantya yang terluka. Kami bertiga—aku, Sekar, dan Bramantya yang sudah berubah—meletakkan tangan di gerbang. Darah kami bercampur, dan gerbang mulai menutup.
Sang Tuan menjerit marah saat gerbang menutup untuknya. "Ini bukan akhir! Aku akan kembali! Darahku mengalir dalam diri kalian semua!"
Tapi yang paling menghancurkan adalah senyum terakhir Eyang Retno sebelum dia menghilang menjadi cahaya. "Keluarga... bukan tentang darah... tapi tentang pilihan..."
Sekarang kami berdiri di lereng Merapi yang sunyi. Bramantya terduduk, tubuhnya gemetar, air mata mengalir di pipinya. "Dua puluh lima tahun... untuk akhir seperti ini..."
Sekar menangis di pelukanku, dan aku merasakan kehilangan yang dalam, seperti kehilangan keluarga untuk kedua kalinya.
Tapi yang membuatku tetap kuat adalah pesan terakhir Eyang Retno. Dan satu hal yang aku tahu: ini bukan akhir.
"Pemindaian: Jejak energi Sang Tuan masih terdeteksi, meski sangat lemah. Ancaman belum sepenuhnya hilang."
Bramantya melihatku, matanya penuh penyesalan. "Dia belum selesai, Nak. Dan sekarang... dia marah."
Aku memandang Merapi yang sekarang terlihat tenang, tapi tahu bahwa di balik ketenangan itu, ancaman masih mengintai. Beberapa rahasia terlalu berbahaya untuk diketahui, dan beberapa pertempuran terlalu besar untuk satu generasi.
Tapi kami akan siap. Karena seperti kata Eyang Retno, keluarga adalah tentang pilihan. Dan kami memilih untuk melindungi.
Walaupun latar belakangnya di Indonesia, tapi author keren gak menyangkut-pautkan genre sistem dengan agama🤭
bantu akun gua bro