Sinopsis
Arta, Dewa Kekayaan semesta, muak hanya dipuja karena harta dan kekuasaannya. Merasa dirinya hanya 'pelayan pembawa nampan emas', ia memutuskan menanggalkan keilahiannya dan menjatuhkan diri ke dunia fana.
Ia terperangkap dalam tubuh Bima, seorang pemuda miskin yang dibebani utang dan rasa lapar. Di tengah gubuk reot itu, Arta menemukan satu-satunya harta sejati yang tak terhitung: kasih sayang tulus adiknya, Dinda.
Kekuatan dewa Arta telah sirna. Bima kini hanya mengandalkan pikiran jeniusnya yang tajam dalam menganalisis nilai. Misinya adalah melindungi Dinda, melunasi utang, dan membuktikan bahwa kecerdasan adalah mata uang yang paling abadi.
Sanggupkah Dewa Kekayaan yang jatuh ini membangun kerajaan dari debu hanya dengan otaknya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Khusus Game, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EPISODE 3
Dengan Rp 3.000 yang tersisa dari hasil penjualan kayu bakar dan singkong, serta dua pasak kayu ukiran di tangan, Bima kembali melangkah ke keramaian pasar. Dinda berjalan di sisinya, matanya berbinar penuh semangat.
{Pasak ini memiliki nilai estetika dan nilai guna. Nilai estetika dapat dijual ke pedagang suvenir, tetapi itu memerlukan waktu dan kemampuan negosiasi yang lebih tinggi. Nilai guna sebagai pasak penopang pajangan lebih cepat dan likuid.}
Ia mengarahkan langkah menuju deretan kios sembako dan warung. Strateginya kali ini berbeda. Ia tidak mencari pedagang suvenir, melainkan menargetkan pedagang yang memajang dagangannya di luar etalase, membutuhkan penyangga yang tampak rapi.
Di sudut lorong, Bima berhenti di depan sebuah warung kelontong tua. Pemiliknya, seorang pria paruh baya yang terlihat letih, sedang sibuk menata botol-botol minuman. Pajangan rokok dan kopi di depan warungnya tampak miring dan ditopang oleh batu bata yang tidak sedap dipandang.
Bima menarik napas, mengatur getaran suaranya. "Selamat siang, Pak. Maaf mengganggu kesibukannya."
Pria itu menoleh. "Ada apa, Nak? Mau beli sesuatu?"
"Tidak, Pak. Saya ingin menawarkan solusi nilai untuk pajangan di depan warung Bapak," ujar Bima sambil menunjuk ke tumpukan rokok yang miring. "Lihatlah penyangga Bapak saat ini. Batu bata. Itu tidak mencerminkan kualitas dagangan Bapak yang bagus."
Bima meletakkan salah satu pasak ukiran kayunya yang telah dihaluskan. Ukiran itu hanya sederhana, hanya berupa garis-garis silang yang rapi, tetapi memiliki sudut 90 derajat yang presisi, menjadikannya penyangga yang kuat dan elegan.
"Pasak ini dibuat dari kayu tua yang kuat. Bentuknya kecil, kokoh, dan rapi. Jika Bapak menggunakannya untuk menopang pajangan di kedua sisi, pandangan pembeli akan jauh lebih baik. Ini adalah investasi kecil untuk meningkatkan citra warung, Pak. Bukankah citra adalah salah satu bentuk kekayaan?"
Pria itu mendekat, mengambil pasak itu, dan membolak-baliknya. Mata letihnya sedikit berbinar. Ia mencoba menopang beberapa botol dengan pasak itu. Hasilnya, pajangan itu berdiri tegak, terlihat jauh lebih profesional.
"Pemuda macam apa kau ini? Biasanya orang menjual kayu untuk dibakar, bukan dipajang," gumam pria itu. "Berapa harga dua pasak ini?"
"Saya hanya butuh Rp 3.500 per pasak, Pak," jawab Bima. "Total Rp 7.000 untuk sepasang penyangga yang akan bertahan lama dan membuat warung Bapak terlihat lebih terawat."
Pria itu tersenyum kecil. Angka Rp 7.000 adalah jumlah yang dibutuhkan Bima untuk membeli dua lembar papan atap baru.
"Ambillah," kata pria itu, merogoh saku celananya dan menyerahkan dua lembar uang lima ribuan. "Simpan kembaliannya. Anggap itu biaya untuk ide yang bagus."
Bima tertegun. Ia mendapatkan Rp 10.000. Keuntungan 40% lebih banyak dari yang ia targetkan.
{Kekayaan sejati didapatkan saat kita menjual bukan hanya barang, tetapi ide dan pemecahan masalah. Ia membeli solusi kerapian, bukan sekadar kayu.}
Dinda bertepuk tangan pelan di belakang Bima. "Kakak hebat!"
"Terima kasih, Pak. Semoga warung Bapak semakin maju," balas Bima tulus. Ia membungkuk, menarik tangan Dinda, dan bergegas pergi sebelum pria itu berubah pikiran.
Di saku celananya, kini Bima memiliki total Rp 13.000 (Rp 3.000 sisa sebelumnya ditambah Rp 10.000 hasil penjualan pasak).
Uang atap (Rp 10.000) sudah terkumpul, bahkan lebih.
Namun, Arta tidak bisa berpuas diri.
{Papan atap akan menyelesaikan masalah keamanan fisik hari ini. Namun, masalah fundamental, yaitu biaya hidup harian, tetap ada.}
Ia berjalan menuju kios material kecil. Ia membeli dua lembar papan kayu kualitas standar (Rp 10.000) dan beberapa paku (Rp 500), menyisakan uang tunai Rp 2.500.
Bima kembali ke gubuk. Tubuhnya lelah, tenaganya terkuras. Tetapi saat ia melihat papan kayu baru itu, ia merasakan rasa kepuasan yang belum pernah ia rasakan ketika masih menjadi Dewa Kekayaan. Ia telah menciptakan keamanan dari ketiadaan, dengan kecerdasannya sendiri.
"Dinda, tugas kita selanjutnya. Kita akan memasang atap ini sebelum matahari terbenam."
Dinda mengangguk semangat. Saat Bima mulai memanjat dengan hati-hati, memegang papan kayu itu, pikirannya sudah jauh melampaui atap yang bocor.
Rp 2.500. Hanya itu modal yang tersisa untuk makan malam dan masa depan.
{Benih lobak baru akan menghasilkan dalam dua minggu. Itu adalah investasi jangka menengah. Namun, apa yang akan kami makan besok? Bagaimana jika Dinda sakit? Aku harus membangun pondasi modal kerja yang stabil. Kekayaan harus berputar, tidak boleh diam.}
Sambil memakukan papan atap, Bima mulai menyusun tabel mentalnya, menyesuaikan variabel dengan modal Rp 2.500 yang ia miliki.
Prioritas Keuangan (Jangka Pendek):
Makanan Malam Ini: Paling minim dibutuhkan Rp 5.000 untuk nasi dan lauk sederhana agar Dinda tidak kelaparan.
Modal Kerja Besok: Harus ada minimal Rp 5.000 sebagai modal putar untuk menciptakan nilai baru, bukan hanya untuk makan.
Dilema: Uang saat ini hanya Rp 2.500. Masih kurang Rp 7.500 untuk dua prioritas itu.
{Aku tidak bisa menjual aset. Aku juga tidak bisa mencuri. Aku harus menawarkan jasa.}
Satu-satunya aset yang ia miliki sekarang adalah tubuh Bima, yang meski lemah, memiliki presisi dewa.
Bima mengambil keputusan. Malam ini, setelah atap terpasang, ia tidak boleh beristirahat. Ia harus menjual tenaga dan keahliannya.
"Dinda, ambil sisa serutan kayu yang halus ini," kata Bima sambil memotong kelebihan papan. "Kita akan membutuhkannya malam ini."
"Untuk apa, Kak?" tanya Dinda.
"Untuk menciptakan api yang lebih baik," jawab Bima. "Malam ini, Kakak akan pergi ke pasar malam. Kakak akan menjadi pedagang jasa tercepat yang pernah mereka lihat."
Bima turun dari gubuk dengan keringat membasahi tubuh. Meskipun lelah, api tekad di matanya tampak menyala lebih terang daripada cahaya matahari yang mulai meredup di ufuk barat. Ia telah menyelesaikan tugas pertamanya: menjamin keamanan fisik. Kini, ia harus menjamin keberlanjutan ekonomi.
Senja telah berganti malam sepenuhnya. Lampu-lampu minyak dan bohlam kecil mulai menghiasi pasar malam yang ramai. Bau masakan, keringat, dan debu bercampur dalam udara yang lembap. Bima berjalan kaki menuju area pusat keramaian, sambil menggendong sebuah karung kecil berisi sisa serutan kayu halus dari papan atap.
Dinda ditinggalkannya dengan kunci gubuk dan satu janji untuk segera kembali. Itu adalah keputusan yang sulit, tetapi Arta tahu: {Risiko adalah biaya yang harus dibayar untuk pertumbuhan modal. Aku akan memperkecil risiko dengan bekerja di tempat yang ramai.}
Bima menyusuri lorong pedagang makanan. Matanya menyapu dengan cepat, memproses data. Pedagang sate membutuhkan kipas paling cepat. Penjual nasi goreng membutuhkan pemotong sayur yang efisien. Tukang gorengan membutuhkan api yang stabil.
Fokusnya jatuh pada seorang ibu penjual jagung bakar yang tampak kepayahan. Asap dari arangnya mengepul tebal, tetapi api di bawahnya redup dan tidak merata. Ibu itu tampak kelelahan, sesekali mengipas dengan potongan kardus.
Bima mendekat dengan langkah mantap. "Permisi, Bu. Jagung bakar Ibu pasti enak, tetapi apinya kurang stabil. Itu membuat waktu tunggu pelanggan jadi lebih lama."
Ibu itu mengerutkan dahi, kesal karena ada pemuda lusuh yang sok tahu. "Memangnya kenapa? Kalau kau mau beli, beli saja!"
Bima tidak terpancing. Ia menurunkan karung serutan kayu. "Saya tidak menjual barang, Bu. Saya menjual efisiensi. Serutan kayu ini adalah bahan bakar ringan yang terbaik untuk menyalakan arang secara cepat dan merata, menghasilkan panas yang stabil dan minim asap. Saya bisa membuat api Ibu menyala sempurna, sehingga Ibu bisa menjual tiga jagung dalam waktu yang biasa Ibu pakai untuk dua."
Ia mengeluarkan pisau tumpul yang ia gunakan untuk memahat pasak. Dengan gerakan presisi yang cepat, ia memotong beberapa serutan menjadi ukuran yang lebih kecil, lalu dengan hati-hati meletakkannya di antara arang. Ia kemudian mengipasnya dengan teknik yang terukur. Dalam waktu kurang dari satu menit, api arang itu berkobar merata, berwarna biru kemerahan yang stabil.
Ibu penjual jagung itu terkejut. "Wah, cepat sekali apimu menyala! Aku baru tahu serutan kayu bisa seefektif ini."
Bima meletakkan kipas kardus itu. "Berapa Ibu akan menghargai waktu tunggu pelanggan yang Ibu hemat, dan jagung tambahan yang bisa Ibu jual malam ini?"
Ibu itu tersenyum lebar. "Anak pintar. Kau ingin dibayar berapa?"
"Lima ratus Rupiah per layanan, Bu. Saya akan tetap di sini selama dua jam, memastikan api Ibu stabil. Jika Ibu setuju, bayar saya di akhir," tawar Bima.
{Lima ratus Rupiah per layanan. Jika aku melayani dua belas pedagang dalam dua jam, aku bisa mendapatkan Rp 6.000. Itu hampir cukup.}
"Baiklah! Tapi kau harus ke warung sebelah juga, ya? Aku tidak mau kalah saing," kata ibu itu riang.
Bima menyeringai. {Nilai yang diciptakan melalui kompetisi. Sempurna.}
Bima segera berpindah ke warung sate di sebelah. Penjual sate itu adalah pria kekar dengan kumis tebal yang tampak sedang bergumul dengan kipasan yang lambat.
"Pak," sapa Bima, langsung ke intinya. "Saya bisa menggandakan kecepatan kipas Bapak."
Pria sate itu hanya menatap Bima dari atas ke bawah, sangsi.
"Ini bukan sulap, Pak. Tubuh saya lelah, tetapi saya tahu matematika tubuh manusia. Saya akan mengipas dengan sudut 45 derajat, memaksimalkan dorongan udara ke titik panas. Ini akan memanggang sate Bapak lebih cepat 30 persen."
Bima mengambil kipas, dan mulai mengipas dengan ritme yang stabil dan presisi seperti mesin. Bukan dengan kekuatan kasar, tetapi dengan gerakan yang efisien. Panas dari arang langsung naik.
"Lima ratus Rupiah per jam, Pak. Jika tidak terbukti cepat, Bapak tidak perlu bayar," tawar Bima.
Pria itu terkesan, dan tanpa bicara, ia mengangguk.
Bima kini bekerja sebagai "pedagang jasa tercepat," bergerak dari satu warung ke warung lain. Ia membantu penjual nasi goreng memotong daun bawang dengan irisan secepat kilat. Ia membantu pedagang minuman mengangkut balok es dengan perhitungan beban yang efisien sehingga tenaga yang dikeluarkan minimal.
Setiap jasanya dihargai Rp 500 hingga Rp 1.000, tergantung tingkat kepuasan. Ia tidak meminta, ia menuntut harga berdasarkan nilai yang ia ciptakan.
Setelah dua jam tanpa henti, dengan tubuh Bima yang menjerit minta istirahat, Arta menghitung total penerimaannya.
Rekapitulasi Malam:
Layanan Api Stabil (Ibu Jagung): Rp 1.000 (Ibu itu memberinya dua kali lipat)
Layanan Kipas Cepat (Pak Sate): Rp 1.000
Layanan Potong Cepat (Nasi Goreng): Rp 1.500
Layanan Angkut Es (Pedagang Minuman): Rp 500
Layanan Tambahan dari Empat Pedagang Lain: Rp 2.000 (rata-rata Rp 500 per orang)
Total Pendapatan: Rp 6.000
Ditambah modal tunai yang tersisa: Rp 2.500. Total Uang Saat Ini: Rp 8.500.
{Target terpenuhi, bahkan melebihi target Rp 7.500. Fondasi modal kerja untuk besok telah aman. Sekarang, makanan.}
Bima membeli sebungkus nasi dan lauk sederhana seharga Rp 4.000 (di bawah estimasi Rp 5.000 karena ia menemukan warung yang lebih murah menjelang tutup). Ia juga membeli sebungkus kerupuk renyah seharga Rp 500 untuk Dinda.
Sisa uang tunai yang dipegangnya: Rp 4.000.
Meskipun kelelahan hampir meruntuhkan tubuhnya, Bima merasakan kebanggaan yang mengalahkan rasa sakit. Ia telah menggunakan kecerdasannya, bukan kekuatannya, untuk melindungi kekayaan sejati: adiknya, Dinda.
Ia bergegas kembali menuju gubuk reot. Di bawah langit yang gelap, gubuk itu tampak berbeda. Atap barunya bersinar redup di bawah cahaya bulan, sebuah simbol perlindungan yang baru diciptakan dari ketiadaan.