Di balik kacamata tebal, kemeja kusut, dan sepatu bolongnya, Raka Arya Pratama terlihat seperti mahasiswa paling cupu di kampus. Ia dijauhi, dibully, bahkan jadi bahan lelucon setiap hari di Universitas Nasional Jakarta. Tidak ada yang mau berteman dengannya. Tidak ada yang peduli pada dirinya.
Tapi tak ada yang tahu, Raka bukanlah mahasiswa biasa.
Di balik penampilan lusuh itu tersembunyi wajah tampan, otak jenius, dan identitas rahasia: anggota Unit Operasi Khusus Cyber Nusantara,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ahmad Taufik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Permintaan eyang
Sore itu, mentari hampir tenggelam saat Rolls-Royce hitam berhenti di halaman sebuah rumah megah bergaya kolonial. Gerbang besi otomatis terbuka, memperlihatkan taman hijau rapi dengan air mancur kecil di tengah. Aroma mawar dan bunga kamboja tercium samar saat pintu mobil dibuka.
Raka melangkah turun dengan senyum lebar. Begitu menjejakkan kaki di teras marmer, ia langsung melepaskan mantel dan menyampirkannya santai di bahu.
"Rakaaa!"
Suara seorang wanita paruh baya langsung terdengar dari dalam. Seorang bibi menyambutnya lebih dulu dengan pelukan hangat.
“Wah, sejak kapan kamu jadi tambah ganteng begini?” goda sang bibi sambil mencubit pipinya.
"Sejak lahir, Bi. Baru sadar sekarang?" jawab Raka dengan senyum jahil.
Tawa kecil mengisi ruang tamu. Suasana rumah itu tidak seperti rumah orang sakit. Justru hangat dan penuh cinta. Dari ruang tengah, muncul seorang pria berambut separuh putih—ayah Raka sendiri, mengenakan batik lengan panjang.
“Tumben kamu pulang tanpa diminta tiga kali,” ucap sang ayah datar, namun bibirnya tersenyum bangga.
“Ayah tahu kan, saya itu anak yang penuh inisiatif,” jawab Raka sambil menyalami dan mencium tangan ayahnya.
Tak lama kemudian, seorang pria tua yang masih tampak gagah berjalan dibantu tongkat keluar dari kamar utama. Janggut putih rapi dan mata tajamnya masih menunjukkan wibawa seorang mantan jenderal. Dialah kakek Raka, atau Eyang Kakung, yang dulu pernah menjadi tokoh penting dalam bidang keamanan negara.
“Wah, ini baru cucu kesayangan!” seru Eyang Kakung, membuka kedua tangan.
Raka langsung berjalan cepat dan memeluknya. “Eyang, saya pulang. Tapi nggak usah pakai pidato nasionalis ya, saya belum siap dikirim ke medan perang lagi.”
“Hah! Anak sekarang mentalnya lemah! Dulu eyang semester dua sudah dihukum push-up sambil bawa ransel lima belas kilo!” gerutu Eyang Kakung, tapi senyum mengembang di wajahnya.
Keluarga besar mulai berkumpul di ruang tengah. Raka duduk bersila di karpet, bercanda dengan sepupu dan pamannya. Bahkan sempat rebutan gorengan, seperti dulu saat masih kecil.
Namun di balik canda itu, matanya sesekali melirik ke arah kamar Eyang Putri. Pintu dibiarkan terbuka sebagian, memperlihatkan sosok wanita tua dengan rambut sepenuhnya putih, berbaring tenang di ranjang khusus.
Ibunya menyentuh bahunya lembut. “Nanti setelah makan, kita masuk pelan-pelan ya. Eyang Putri udah nunggu kamu.”
Raka mengangguk pelan. Senyumnya tetap terpasang, namun dalam hati ia mulai merasa gelisah lagi. Apalagi saat mendengar suara sepupunya berbisik:
"Katanya Eyang pengen lihat kamu tunangan dulu, baru dia tenang."
Raka hanya bisa tersenyum canggung sambil mengambil gorengan lain.
“Tunangan ya? Nanti aku cari di katalog,” ujarnya santai.
“Pake aplikasi?” tanya sepupunya sambil tertawa.
“Nggak. Aku langsung browsing di kampus. Siapa tahu ada yang lagi diskon.”
Raka tertawa kecil, meski dalam hati... hanya satu nama yang muncul: Cheviolla.
Setelah makan malam yang ramai penuh candaan dan tawa, suasana rumah mulai tenang. Lampu-lampu taman dinyalakan, aroma seduhan teh melati menyeruak dari dapur, dan suara jangkrik menggantikan riuh obrolan tadi.
Raka baru saja menyender santai di sofa ruang keluarga, mengenakan kaos longgar dan celana santai. Ia sedang bermain catur dengan Eyang Kakung, meski lebih banyak ngobrol daripada mikir langkah bidak.
“Kalau kamu terus begini, negara bisa rugi,” gumam Eyang Kakung sambil menggerakkan benteng ke arah raja Raka.
“Hah? Emangnya negara kenapa, Eyang?”
“Ganteng, pinter, muda, tapi belum punya pasangan. Kurang produktif.”
Raka tertawa pelan. “Kalau gitu biar produktif saya nikah sama sistem informasi deh, tiap hari input dan output.”
Belum sempat Eyang membalas, ibu Raka datang menghampiri.
“Rak, Eyang Putrimu nanya. Katanya kamu udah selesai makan belum? Dia pengen ngobrol sebentar.”
“Oh, iya, Bu. Bentar ya, Raka ke sana.”
Ia berdiri pelan dan berjalan menuju kamar di ujung lorong. Pintu kayu jati terbuka separuh, dan lampu tidur redup menyinari ruangan. Di ranjang besar bersandaran ukiran klasik, Eyang Putri duduk bersandar, mengenakan daster biru langit dan selimut menutupi kakinya. Di meja kecil, ada termos air hangat dan foto keluarga dalam bingkai perak.
“Rakaa…” panggilnya dengan suara lembut namun masih berwibawa.
Raka langsung duduk di samping ranjang dan menggenggam tangan Eyang Putri yang keriput namun hangat.
“Saya pulang, Yang,” ucapnya pelan.
Eyang tersenyum. “Akhirnya. Kamu tahu nggak… kamu ini cucu pertama Eyang, yang paling ditunggu. Jadi wajar kalau Eyang punya satu permintaan kecil sebelum waktuku habis.”
“Jangan ngomong gitu, Yang. Dokter bilang Eyang masih kuat, kok,” jawab Raka pelan.
“Tenaga bisa dipertahankan, Nak. Tapi umur… kita semua punya waktunya.”
Ia menatap Raka dalam-dalam, lalu melanjutkan, “Eyang cuma pengin lihat kamu bertunangan. Nanti, kalau kamu sudah wisuda… Eyang bisa tenang.”
Raka tercekat. Ia mengangguk, walau dalam hati sempat menjerit: Tunangan? Sekarang?! Gue aja masih nyamar!
Tapi demi wajah Eyang Putri yang tersenyum damai malam itu, Raka menahan semua keluhan dalam dadanya.
“Iya, Yang. Raka janji. Raka bakal bawa seseorang ke sini.”
Meski belum tahu siapa, satu nama melintas cepat di benaknya.
Cheviolla…
Usai dari kamar Eyang, Raka kembali ke kamarnya sendiri. Ia rebah di ranjang sambil menatap langit-langit, kepalanya penuh pikiran. Misi penyelidikan, data yang baru ia kirim dari bandara tadi, penyamaran sebagai mahasiswa semester empat, dan kini… urusan tunangan?
Ia memutar badan, menutupi wajah dengan bantal.
“Kenapa hidup gue jadi kayak drama romcom investigasi gini, sih…” gumamnya pelan.
Setelah diam sejenak, ia buka ponsel. Jempolnya melayang di atas ikon kontak Cheviolla.
Belum diklik, tapi wajah perempuan itu sudah terlintas di kepala. Yang galak, blak-blakan, kadang nyebelin… tapi justru karena itu, rasanya cocok untuk jadi akal-akalan.
“Kayaknya… bisa gue ajak kerja sama, deh.”
Ia mendesah panjang. “Aih, semoga dia nggak lempar buku ke muka gue.”
Malam itu, setelah semua obrolan panjang dan perbincangan hangat di ruang keluarga, Raka memutuskan untuk menginap di rumah Eyang. Rumah besar bercat putih gading itu masih terasa seperti rumah masa kecilnya—beraroma kayu tua, harum minyak telon samar dari laci kamar, dan langit-langit yang tinggi membuat udara terasa lapang.
Ia tidur di kamar tamu yang pernah jadi tempatnya menginap tiap liburan sekolah dulu. Udara Surabaya yang hangat membuat tidurnya nyenyak. Tak ada suara lalu lintas, hanya suara kipas angin dan dengung jauh dari TV ruang keluarga yang dibiarkan menyala semalaman oleh Eyang Kakung.
Pagi harinya, saat matahari baru mulai menyusup dari balik tirai renda, Raka bangun dan langsung bersiap. Setelah mandi, ia ikut sarapan di ruang makan bersama Eyang Putri, Eyang Kakung, dan kedua orang tuanya yang datang lebih pagi untuk menjemputnya.
“Mau langsung pulang, Rak?” tanya Ayah sambil menuang teh hangat.
“Iya, Yah. Soalnya nanti sore harus balik ke Jakarta,” jawabnya sambil tersenyum, meski dalam hati masih berat meninggalkan suasana rumah ini.
Eyang Putri yang duduk di kursi roda tampak menatapnya lama.
“Inget ya, Raka. Janjimu semalam…”
Raka mengangguk cepat, “Iya, Yang… doain aja, semoga cepet ketemu.”
Senyum kecil muncul di wajah Eyang, dan Raka pun membungkuk memeluk beliau dengan lembut. Ia juga berpamitan pada Eyang Kakung, lalu keluar rumah menuju mobil yang sudah menunggu di halaman.
Perjalanan ke rumah utama keluarganya di kota tidak terlalu jauh. Sepanjang perjalanan, ibunya sesekali meliriknya dari kaca spion dalam.
“Kamu kelihatan lebih tenang, Nak. Eyang Putri memang punya cara sendiri ya buat bikin orang serius.”
">dalam hati raka, aku pusing nyari pacar buat ketemu eyang..
Sesampainya di rumah, ia hanya sempat istirahat sebentar. Setelah makan siang bersama keluarga dan mengecek ulang barang-barang, menjelang sore, Raka kembali bersiap. Kali ini dengan koper kecil di tangan, jaket denim, dan ransel yang digendong miring.
Ibunya mengantarnya sampai ke mobil. “Hati-hati ya, Nak. Kalau capek, istirahat. Jangan maksa.”
“Iya, Bu.”
“Dan jangan lupa soal janji kamu ke Eyang.”
Raka tertawa pelan. “Duh… semua orang ngingetin itu, ya.”
Mobil pun melaju, perlahan meninggalkan halaman rumahnya. Di kursi penumpang, Raka membuka ponselnya, menatap layar kosong beberapa detik, lalu menghela napas.
“Jakarta… misi belum selesai. Dan sekarang harus tambah satu: pura-pura punya pacar.”
"