Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Langkah pertama menuju akhir..
Pagi itu, Siska duduk di beranda kontrakannya, menggenggam ponsel dengan jari yang sedikit gemetar. Matanya sembab karena kurang tidur. Hatinya dipenuhi kegelisahan sejak mendengar curhatan Nayla semalam. Ia tahu, sahabatnya itu tidak bisa dibiarkan terus berjuang sendiri. Satu nama terlintas di pikirannya: Aldi, sepupunya yang bekerja sebagai pengacara dan pernah berkata bahwa ia bersedia membantu kasus perceraian, bahkan dibayar seikhlasnya.
Siska membuka kontak bertuliskan "Mas Aldi (Pengacara)", lalu menekan tombol hijau.
Terdengar beberapa nada sambung sebelum suara lelaki ramah menyapa dari seberang.
Aldi:
Halo, dek Siska? Waduh, pagi-pagi udah nelepon, tumben. Ada apa?
Siska:
Halo, Mas Aldi… maaf banget ganggu pagimu. Aku… aku lagi butuh bantuan. Tapi bukan buat aku. Buat sahabatku.
Aldi:
(suara langsung serius)
Oh, oke. Tenang. Cerita aja, ada apa?
Siska:
Namanya Nayla, Mas. Dia lagi dalam proses cerai. Tapi suaminya main kasar secara emosi, selingkuh juga. Parahnya, sekarang dia pakai pengacara buat ngulur waktu dan bikin Nayla stres. Sementara Nayla nggak punya cukup uang buat bayar pengacara sendiri. Dia juga lagi hamil...
Aldi:
(terdiam sejenak, lalu pelan)
Hamil? Ya Tuhan…
Siska:
Iya, Mas. Aku udah bingung harus bantu gimana. Tapi aku inget Mas pernah bilang kalau Mas suka bantu perempuan yang bener-bener korban kayak gini… dan Mas nggak masalah dibayar seikhlasnya.
Aldi:
Iya, masih berlaku sampai sekarang. Aku nggak tega kalau denger kasus kayak gitu. Bukan soal duit, Sis. Ini soal keadilan. Aku bersedia bantu.
Siska:
(matanya berkaca-kaca)
Makasih, Mas… aku bener-bener lega denger itu. Kayak baru bisa napas.
Aldi:
Kapan aku bisa ketemu sama Nayla? Aku perlu denger ceritanya langsung, dan lihat dokumen kayak surat nikah, KTP, KK, dan semacamnya.
Siska:
Gimana kalau nanti sore, jam lima? Nayla kerja dari rumah, tapi aku bisa ajak dia ketemu Mas.
Aldi:
Jam lima oke. Kita ketemu di kantorku aja ya? Biar gampang dan dokumennya bisa langsung aku cek.
Siska:
Siap, Mas. Aku akan pastikan semua dokumennya dibawa. Mas, terima kasih banyak. Aku sampai bingung mau ngomong apa lagi.
Aldi:
Tenang, Sis. Ini memang jalanku. Doain aja prosesnya bisa lancar dan Nayla kuat. Aku akan bantu semampuku.
Siska:
Aamiin… sampai ketemu nanti sore ya, Mas.
Aldi:
Sampai ketemu. Jaga dirimu juga, ya.
Telepon ditutup. Siska menatap layar ponselnya dengan perasaan yang sedikit lebih tenang. Ia tahu ini belum akhir dari penderitaan Nayla, tapi setidaknya, mereka telah mengambil satu langkah kecil menuju keadilan.
“Aku sudah menghubungi sepupuku, Aldi,” ujar Siska tanpa basa-basi, setelah menutup pintu kamar kos Nayla. “Dia bersedia bantu kamu, Nay. Dan dia bilang kamu cukup bayar seikhlasnya.”
Nayla yang tengah melipat baju di atas tempat tidur hanya mengangguk pelan. Tak ada lagi air mata seperti malam sebelumnya. Sorot matanya tampak tenang, meski sorot itu datang dari hati yang pernah berkecamuk begitu hebat.
“Kapan aku bisa ketemu dia?” tanyanya lugas.
Siska tersenyum bangga. “Aku suka Nayla yang seperti ini. Tegas. Aldi bisa ketemu kamu sore ini. Kita janjian di warung kopi deket kantor dia.”
Nayla menarik napas panjang. “Aku bukan nggak sedih, Sis. Aku cuma capek merasa jadi korban terus. Raka memilih pergi, dan sekarang dia seolah datang lagi dengan cara memaksa. Aku nggak mau tunduk lagi cuma karena aku cinta.”
Siska menepuk bahunya. “Dan itu keputusan yang tepat. Karena cinta bukan alasan untuk membiarkan dirimu disakiti.”
Jam menunjukkan pukul empat sore saat mereka tiba di kafe kecil dekat kantor hukum tempat Aldi bekerja. Ruangan itu hangat dengan aroma kopi dan dentingan gelas, tapi hati Nayla tetap dingin. Keteguhannya adalah pelindung terbaiknya saat ini.
Aldi datang sepuluh menit kemudian, mengenakan kemeja biru muda dan jas hitam yang membuatnya terlihat profesional. Ia menyapa dengan ramah, lalu duduk di hadapan Nayla.
“Aku sudah dengar sedikit dari Siska,” katanya membuka pembicaraan. “Tapi aku mau dengar langsung dari kamu, Nayla. Kau yakin ingin melanjutkan proses perceraian ini meskipun suamimu mengajukan pembatalan lewat pengacaranya?”
Nayla menatap langsung ke arah Aldi. “Saya yakin. Pernikahan ini bukan lagi rumah buat saya. Yang tersisa hanya puing dan luka. Saya ingin selesai dengan cara yang benar.”
Aldi mengangguk pelan. “Baik. Kau tahu ini akan melewati proses mediasi ulang. Kalau kamu tetap pada pendirianmu, kita akan ajukan alasan keberatan terhadap permohonan pembatalan yang dia ajukan. Dokumen pendukung dari pihakmu akan penting. Kamu punya bukti—chat, foto, atau saksi yang bisa menguatkan posisimu?”
Nayla mengeluarkan satu map dari dalam tas. Ia sudah menyiapkannya sejak tadi malam, setelah menenangkan diri. Di dalamnya ada tangkapan layar percakapan Raka dengan Tania, surat hasil pemeriksaan kandungan, dan catatan bulanan transfer uang dari Raka.
“Ini semua, termasuk bukti pengabaian. Saya juga bisa ajukan beberapa teman yang tahu bagaimana saya menjalani rumah tangga selama ini,” katanya tenang.
Aldi menerima dokumen itu dengan hormat. “Kamu kuat, Nayla. Nggak semua perempuan bisa sekuat ini.”
“Aku harus kuat,” jawab Nayla, suaranya dalam. “Bukan untuk membalas siapa pun, tapi untuk melindungi diriku sendiri. Dan anakku.”
Percakapan berlanjut, membahas strategi hukum yang bisa ditempuh. Nayla menyimak dengan tenang. Tak ada lagi wajah goyah, tak ada lagi air mata. Yang tersisa hanyalah tekad yang tumbuh dari luka paling dalam.
Sore itu, di kafe kecil dengan aroma kopi yang tak pernah berhenti menyeruak, Nayla membuat langkah pertamanya menuju kebebasan. Bukan karena ia tak mencintai Raka, tapi karena ia mencintai dirinya sendiri lebih dari luka yang ditinggalkan lelaki itu.