Naura Anjani, seorang gadis desa yang menikah dengan pria asal kota. Namun sayang, gadis itu tidak di sukai oleh keluarga suaminya karena dianggap kampungan dan tidak setara dengan menantu lain yang memiliki gelar pendidikan tinggi dan pekerjaan yang memadai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon omen_getih72, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
"Loh? Loh? Kok malah minta dikembalikan sih?" ucap Tante Gina gelagapan.
"Uang yang sudah dikasih tidak boleh diambil lagi dong, Ra," timpal Dewi ikut membela sang ibu.
Ia tahu sendiri kalau uang itu sudah habis tak bersisa.
"Lalu kenapa kalian datang ke sini dan mempermasalahkan uang sumbangan itu?" balas Naura tak mau kalah.
Emosinya sudah terlanjur memuncak dan perlu diluapkan. Jadi, sekalian saja ia marahi semua orang yang ada di sana.
Toh, di mata mereka, ia hanyalah perempuan hina, manja, dan hanya menyusahkan hidup suaminya saja.
"Kami hanya mau memastikan saja, Ra," cicit Tante Gina. "Janganlah minta dikembalikan lagi. Bukankah itu hanya akan membuat nama suamimu tercoreng kalau uang itu kamu minta dikembalikan lagi?"
"Benar itu, Ra. Pikirin juga nama baik suamimu," timpal Dewi.
Naura bisa melihat keserakahan dari wajah Tante Gina dan Dewi.
Namun, belum sempat Naura membalas ucapan mereka, tangan kokoh suaminya sudah melingkar di pinggang.
"Sudahlah, Sayang. Lebih baik kita pergi saja," ajak Azriel lembut.
Tatapan Naura beralih pada pria yang tengah merangkulnya.
Ia yakin suaminya tak ingin ia meluapkan amarahnya di sana.
Naura bisa menerka pemikiran Azriel yang memang lebih suka ketenangan, meski mereka kini sedang berada dalam kebisingan lingkungan yang kejamnya seperti siksaan di neraka.
Naura mengangguk paham dan melangkah mengikuti langkah suaminya.
Bagaimanapun juga, Azriel adalah imamnya. Ia harus percaya dan patuh pada apa yang sudah diputuskan oleh suami tercintanya itu.
Azriel membukakan pintu mobil untuk istrinya.
Naura duduk di kursi samping kemudi, ia menghela napas panjang demi meluapkan sisa emosi yang masih bergejolak dalam dada.
Azriel yang sudah ikut masuk ke dalam mobil langsung memeluk istrinya dengan hangat.
"Maafkan keluarga Mas, ya?" bisik Azriel penuh rasa bersalah.
Tatapan pria itu terlihat sangat sedih melihat istrinya yang lagi-lagi menjadi korban makian seluruh anggota keluarganya.
Di balik punggung suaminya, Naura mengangguk pelan seraya tersenyum getir.
"Kita mau ke mana sekarang?" tanya Naura mencairkan suasana.
Azriel mengurai pelukannya, memasangkan seat belt ke tubuh Naura agar istrinya tetap aman.
"Kita cari makan yuk? Mas sudah sangat lapar," balas Azriel seraya tersenyum. "Kamu mau, kan?"
Naura kembali menganggukkan kepalanya sebagai jawaban.
Apalagi, ia juga memang merasa lapar karena tadi siang ia hanya makan sedikit saat belanja di mall.
Azriel seketika mengukir senyum lega. Sebuah senyum yang selalu berhasil meluluhkan hati seorang Naura Anjani.
Hanya senyuman itu yang mampu menjadi obat goresan luka hati yang ditorehkan ibu mertuanya.
**
**
Melihat mood istrinya sudah sedikit membaik, Azriel segera menyalakan mesin mobil dan mulai melaju meninggalkan area rumah.
Ia akan mengajak istrinya makan malam di tempat favorit mereka berdua.
Ia sangat tahu apa saja makanan favorit istrinya itu.
Setelah mengemudi sekitar 30 menit, mereka pun akhirnya tiba di sebuah rumah makan sederhana yang terkenal dengan sup iganya yang sangat enak.
Hampir saja air liur Naura menetes saat menatap makanan yang sudah tersaji di hadapannya.
Suara perutnya bahkan terdengar begitu saja tanpa bisa dikontrol.
Azriel tertawa kecil saat melihat istrinya tersenyum kecut menahan malu.
Ia lantas meraih segelas es teh dan menyodorkannya pada sang istri.
"Kamu pasti haus sekali setelah berdebat di rumah tadi,"
Naura mengangguk cepat, ia langsung meminum es tehnya hingga tandas.
Tenggorokannya memang terasa kering setelah beradu mulut dengan banyak nenek lampir.
Ia merasa dirinya seolah habis berperang melawan para tentara Yahudi.
Meskipun ia hanya beradu mulut saja. Tapi, rasa lelahnya sama seperti sedang menggembala para kambing nakal di peternakan.
"Aku suapi, ya?" ucap Azriel lembut.
Kali ini Naura hanya tersenyum dan mengangguk.
Ia ingin dimanjakan suaminya setelah perdebatan sengit dengan ibu mertua, ipar, dan tantenya.
Rasa sayang dan perhatian Azriel saat ini sangat penting baginya, agar ia selalu ingat bahwa alasannya untuk tetap bertahan dalam bahtera rumah tangganya adalah karena cinta mereka yang begitu kuat.
Hanya itu satu-satunya alasan Naura bisa berhasil bertahan sejauh ini.
"Buka mulutnya," ucap Azriel seraya menyodorkan sesendok nasi dengan irisan daging.
Pria itu terlihat sangat manis jika sedang memanjakan istrinya.
Naura bahkan tanpa ragu menghabiskan dua porsi nasi dan sup iga yang tersaji di hadapannya.
"Kenyang sekali!" seru Naura seraya menyandarkan tubuhnya.
Wanita itu bahkan meminta tambahan jus alpukat demi memulihkan kembali staminanya.
"Mas mau aku suapi?" tanya Naura sambil menempelkan bibirnya di ujung sedotan.
"Tidak usah. Kamu nikmati saja jusmu," jawab Azriel. "Malam ini aku hanya akan menyenangkan hatimu."
"Mas selalu buat aku senang kok," timpal Naura dengan senyum manisnya. "Aku selalu bersyukur karena Mas selalu ada dan mau membelaku."
"Semua ini karena pola pikir kolot Mama. Kamu jadi harus menanggung semua beban dan hinaan seperti ini," ujar Azriel dengan tatapan sendu. Ia menggenggam erat tangan istrinya. "Sekali lagi, Mas minta maaf ya? Mas harap kamu masih tetap mau bertahan menjadi istri Mas. Mas janji, Mas akan berusaha memperbaiki semua ini."
Naura mengangguk mengiyakan permintaan maaf suaminya.
Apalagi, Azriel memang tidak salah. Yang salah memang pola pikir ibu mertua dan iparnya saja.
"Syukurlah kalau kamu masih mau memaafkan keluarga Mas dan mau bertahan berada di sisi Mas," ungkap Azriel dengan penuh syukur.
Hal itu emang tampak sederhana. Namun, rasa syukur Azriel benar-benar membuat Naura bahagia karena ia merasa seperti menjadi bagian terpenting dalam hidup suaminya.
"Tapi, aku penasaran, kamu dapat uang sebanyak itu dari mana, Yang?" tanya Azriel kemudian.
Ia menatap istrinya dengan tatapan penasaran.
Naura mendadak gugup mendengar pertanyaan suaminya.
Bukannya ia tidak ingin jujur pada Azriel mengenai statusnya, tapi ia memang sedikit canggung jika harus mengungkapkan kekayaan dirinya dan keluarganya yang sebenarnya.
Ia lebih suka terlihat apa adanya di hadapan Azriel.
"Kok kamu malah diam, Yang?" tanya Azriel semakin penuh selidik. "Apa kamu tidak percaya pada Mas, gara-gara Mama sering memarahi kamu?"
Raut wajah Azriel kembali murung.
Naura pun segera menggelengkan kepalanya secepat kilat.
Ia tidak bisa melihat wajah suami tercintanya ini bermuram durja seperti ini.
"Jangan bicara seperti itu dong, Mas," pinta Naura.
Ia berusaha membujuk Azriel agar tidak marah.
"Kamu terlihat tidak mau bicara jujur padaku. Aku pikir mungkin kamu memang mulai hati-hati bersikap padaku gara-gara keluargaku selalu jahat padamu," ungkap Azriel jujur. "Tapi, aku berharap kamu bisa tetap yakin pada cinta dan komitmenku di pernikahan kita ini."
Bibir Naura melengkung mengukir senyum. Wajah Azriel yang murung terlihat sangat menggemaskan di matanya.
"Aku selalu yakin sama cinta kamu, kok. Aku hanya tidak mau bersikap sombong saja, Mas. Apalagi, keluargaku jauh lebih berada dibanding keluarga Mas."
"Eh? Maksudnya gimana?" raut wajah murung itu kini berubah kaget.
Kini ia bahkan menghentikan makan malamnya.
Naura menghela napas panjang. "Mas, sebenarnya keluargaku tidak semiskin, seperti yang keluarga kamu pikirkan," ungkap Naura.
Ia mencoba bersikap lebih berani dengan mengungkapkan jati dirinya pada sang suami.
"Keluargaku bisa dibilang keluarga berada. Aku juga punya pekerjaan yang setiap bulan menghasilkan banyak keuntungan. Aku tidak bisa sebut itu sebagai gaji, karena aku yang menggaji karyawan."
"Kamu menggaji karyawan?" Azriel semakin ternganga mendengar cerita istrinya.
Padahal, ini baru sebuah permulaan.
"Mas ingat kan waktu Mas Azriel jadi peserta KKN di desaku?" Naura mengingatkan Azriel saat awal mula mereka bertemu.
Azriel mengangguk cepat. "Pabrik dan perkebunan sawit di sana luas. Ada peternakan bagus juga. Semuanya benar-benar berjalan baik dan profit usahanya bagus," jawab Azriel antusias.
Naura mengulas senyum manis. "Mas, sebenarnya akulah pemilik pabrik dan perkebunan sawit itu," jawab Naura jujur. "Semuanya bisa berjalan baik karena aku yang mengelola dan mengembangkannya."
Prang!
Sendok di tangan Azriel terlepas begitu saja dan jatuh ke lantai.
Pria itu semakin menganga lebar usai mendengar semua pengakuan istrinya.
************
************