"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"
**
Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.
bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..
jangan lupa Follow ig Author
@nona_written
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16 tunangan
Beberapa Bulan Kemudian
**
Langit Jakarta sore itu terlihat cerah, seolah ikut menyambut momen penting yang akan segera terjadi. Angin semilir meniup pelan dedaunan di halaman rumah besar bergaya klasik modern di kawasan Menteng, tempat yang menjadi kediaman ibunda Makes Rafasya Willson.
Sore ini, Makes mengajak Zhavira untuk bertemu dengan wanita terpenting dalam hidupnya—mamanya, Ayunda Willson. Seorang wanita elegan dan berwibawa yang dikenal sebagai mantan direktur salah satu perusahaan besar sebelum akhirnya memilih pensiun dan mengelola yayasan sosial.
Mobil sedan hitam yang mereka tumpangi akhirnya berhenti di depan pagar otomatis yang perlahan terbuka. Zhavira menggenggam jemari Makes dengan sedikit gugup. Meski wajahnyap tampak tenang, tapi dalam hatinya bergejolak.
“Deg-degan?” tanya Makes sambil meliriknya dengan senyum menggoda.
Zhavira melirik tajam, "Engga juga.” Tapi nada suaranya justru membuktikan sebaliknya.
Makes tertawa pelan, menggenggam tangan Zhavira lebih erat. “Tenang aja. Mama bukan tipe orang yang suka mengintimidasi. Dia malah pengen banget ketemu kamu dari dulu.”
Zhavira menelan ludah. “Ya tetap aja, aku takut salah bicara.”
“Kamu jadi diri kamu aja udah cukup. Aku yakin Mama bakal langsung suka,” ujar Makes meyakinkan, sebelum turun dari mobil dan membukakan pintu untuknya.
Begitu mereka memasuki rumah, aroma bunga melati bercampur kayu manis menyambut mereka. Interior rumah terasa hangat, penuh warna-warna kayu dan sentuhan klasik yang mencerminkan selera tinggi pemiliknya. Tak lama, seorang wanita berusia sekitar lima puluhan muncul dari ruang tamu.
“Rasya!” serunya pelan dengan senyum lebar, lalu memeluk putranya.
“Mama,” jawab Makes lembut, membalas pelukan itu dengan penuh kasih.
Zhavira berdiri di belakang Makes, tubuhnya sedikit menegang. Tapi saat Ayunda berbalik dan menatapnya, senyumnya tak memudar sedikit pun. Malah semakin hangat.
“Ini pasti Zhavira ya?”
Zhavira mengangguk sambil tersenyum sopan. “Iya, Tante. Senang sekali bisa bertemu.”
Ayunda mendekat dan meraih tangan Zhavira, menggenggamnya lembut. “Panggil Mama aja, ya sayang. Aku nggak mau jadi sekat antara kalian. Rasya cerita banyak soal kamu.”
Zhavira langsung tersentuh oleh sambutan itu. “Terima kasih, tante, eh Ma…” Ujar Zhavira, dia tersenyum dengan tulus.
Ayunda mengajak mereka duduk di ruang tamu, menyajikan teh bunga dan kue-kue kecil buatan tangan. Obrolan pun dimulai dari hal-hal ringan. tentang pekerjaan, hobi, bahkan tentang betapa keras kepalanya Makes sejak kecil.
Zhavira yang awalnya canggung mulai merasa lebih rileks. Ayunda benar-benar ramah dan pintar mencairkan suasana. Bahkan sesekali menggoda anaknya sendiri yang kini hanya bisa menggaruk kepala sambil tertawa.
“Aku bersyukur Rasya akhirnya bawa perempuan ke rumah. Biasanya dia cuma sibuk kerja, rapat, dan... ya begitu-begitu aja,” kelakar Ayunda sambil melirik Zhavira. “Tapi sejak dia kenal kamu, aku bisa lihat dia berubah.”
Zhavira menunduk, tersipu.
“Mama…” sela Makes, “jangan bikin dia malu dong.”
"Mama bicara jujur. Mama lihat sendiri dari cara kamu memperlakukan dia. Lembut. Sabar. Dulu kamu boro-boro bisa senyum pas pulang kerja. Sekarang? Muka kamu kayak orang jatuh cinta tiap hari.”
Zhavira tertawa pelan, begitu juga Makes, meski wajahnya sedikit merah.
Ayunda kemudian menggenggam tangan Zhavira lebih erat. “Mama cuma ingin kamu tahu, kamu sudah jadi bagian dari keluarga ini. Mama tahu Rasya bukan orang yang gampang jatuh cinta. Tapi kalau dia sudah memilih, dia pasti serius. Dan dari matanya, Mama tahu dia sungguh-sungguh sama kamu.”
Mata Zhavira sedikit berkaca-kaca. “Terima kasih, Ma. Aku… janji akan selalu jaga dan dukung Rasya.”
Ayunda mengangguk dengan mata yang juga berkaca. Momen itu berlangsung singkat, namun dalam dan bermakna. Sore itu menjadi awal hubungan baru antara Zhavira dan Ayunda, bukan hanya sebagai calon menantu dan calon mertua, tapi sebagai dua wanita yang kelak akan saling melindungi dan menguatkan di tengah dinamika keluarga.
**
Beberapa hari setelah pertemuan itu, Zhavira mendapati satu kejutan lain. Saat ia masuk ke ruang kerja Makes di kantor, di sana sudah tergantung frame kecil di dinding kaca berisi potret candid dirinya dan Makes saat liburan di Bandung beberapa bulan lalu. Ia tertangkap sedang tertawa dengan mata menyipit dan Makes memandangnya penuh kagum dari samping.
“Apa ini?” tanya Zhavira dengan senyum geli.
“Mama yang kirim. Katanya buat bikin suasana kerja lebih ‘berarti’,” jawab Makes sambil duduk di kursinya dengan santai.
Zhavira tertawa kecil. “Dan kamu biarin itu digantung di ruang kerja kamu?”
“Kenapa enggak? Lihat wajah kamu bikin aku semangat kerja.” balas Makes sambil menarik Zhavira duduk di pangkuannya. “Bentar lagi kita tunangan, kan?”
Zhavira terdiam sesaat. “Kamu yakin?”
“Seratus persen. Dan aku enggak sabar nunggu momen itu.” bisik Makes di telinganya.
Zhavira tersenyum lebar. “Kalau gitu… aku juga gak sabar.”
**
Sabtu pagi yang cerah itu terasa berbeda. Udara di kawasan Puncak seolah membawa aroma kebahagiaan yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Vila pribadi milik keluarga Willson yang biasanya sunyi, hari itu menjadi saksi momen istimewa antara dua keluarga: keluarga besar Zhavira dan keluarga Makes.
Sebuah tenda putih elegan berdiri di halaman belakang vila, dihiasi bunga-bunga segar bernuansa putih dan emas. Meja-meja bundar tertata rapi, lengkap dengan peralatan makan porselen dan taplak renda. Di tengahnya, sebuah pelaminan kecil bernuansa hangat telah disiapkan untuk acara pertunangan.
Zhavira berdiri di dalam kamar, mengenakan gaun tunangan berwarna dusty peach dengan detail bordir halus di bagian lengan dan leher. Hijabnya dililit anggun, dihiasi bros mutiara yang serasi. Wajahnya tampak gugup, tapi cantik luar biasa.
“Kamu siap?” tanya sahabatnya, Reta, yang menjadi pendamping hari itu.
Zhavira menatap bayangannya di cermin dan mengangguk pelan. “Siap. Tapi jantung aku kayak lomba lari sekarang.”
Reta tertawa. “Itu wajar. Tenang aja, cowok kamu ganteng, calon mertua kamu sayang banget, dan orang tua kamu juga bangga. Kamu aman dan kamu sangat beruntung, Zha.”
Zhavira menarik napas panjang sebelum akhirnya keluar dari kamar. Langkahnya pelan, tapi mantap.
Di sisi lain, Makes juga sudah bersiap dengan batik tenun khas buatan tangan yang elegan. Rambutnya ditata rapi, dan senyumnya tak pernah hilang sejak pagi. Di sampingnya, Ayunda Willson, mengenakan kebaya krem dan selendang songket, terlihat anggun dan tenang.
Tak lama, kedua keluarga duduk bersama di tenda utama. Ayah dan ibu Zhavira, Pak Ramdhan dan Bu Nuraeni, tampak terharu melihat putri sulung mereka akan segera mengikat janji. Sementara Ayunda dengan anggun memulai percakapan hangat.
“Terima kasih banyak sudah hadir dan menerima keluarga kami dengan tangan terbuka,” ucap Ayunda sambil menatap lembut ke arah orang tua Zhavira.
Pak Ramdhan tersenyum, menatap Ayunda dengan penuh hormat. “Justru kami yang berterima kasih, Bu Ayunda. Kami sangat senang dan bersyukur, Zhavira bertemu pria seperti Makes. Anak kami memang keras kepala, tapi kami tahu dia setia dan penuh tanggung jawab. Dan kami percaya, Makes bisa membimbingnya dengan baik.”
Bu Nuraeni menambahkan sambil menatap Zhavira penuh haru, “Saya selalu bilang ke Zha, kalau dia bertemu orang yang bisa membuatnya tenang dan dihargai, itu adalah tanda dari Tuhan. Dan saya bisa melihat itu di wajahnya… setiap kali dia bicara soal Makes.”
Ayunda tersenyum tulus, lalu menatap Makes yang kini duduk dengan tenang tapi bahagia. “Rasya juga berubah sejak kenal Zhavira. Dia lebih tenang, lebih perhatian, dan tidak hanya fokus pada kerja. Bagi saya, itu tanda bahwa hubungan mereka saling menguatkan. Dan itu yang paling penting.”
Percakapan berlanjut hangat, tanpa sekat antara dua keluarga yang sebelumnya belum pernah duduk bersama. Gelak tawa ringan, cerita masa kecil Zhavira dan Makes, hingga candaan khas orang tua mewarnai suasana. Semua terasa alami dan penuh cinta.
**
Beberapa saat kemudian, acara puncak pun dimulai.
Seorang MC berdiri dan memandu jalannya acara. Musik akustik pelan mengiringi saat Makes berdiri, membawa kotak cincin dan melangkah ke depan pelaminan kecil tempat Zhavira telah menunggunya.
Semua mata tertuju pada mereka. Kamera-kamera sahabat dan keluarga mengabadikan momen penuh haru itu.
Makes menggenggam tangan Zhavira dengan hati-hati, lalu berlutut satu kaki di hadapannya—membuat semua orang langsung bersorak kecil karena tidak menyangka CEO yang biasanya dingin itu bisa seromantis ini.
“Zhavira Mesyana,” ucapnya, suara terdengar jelas di tengah senyap. “Terima kasih karena telah menerima aku. Karena mau mencintaiku meski dengan segala kekuranganku. Aku nggak bisa janjikan kehidupan yang selalu mudah, tapi aku berjanji akan selalu memilih kamu, dalam senang ataupun susah.”
Zhavira menahan napas, matanya sudah berkaca-kaca.
Makes membuka kotak cincin, lalu menyelipkan cincin berlian mungil itu ke jari manis Zhavira. Cincin itu sederhana namun elegan, dengan ukiran inisial nama mereka di bagian dalam.
Tanpa bisa menahan perasaannya, Zhavira membisikkan, “Terima kasih karena sudah membuat aku merasa cukup…”
Tepuk tangan bergema, senyum merekah di setiap wajah yang hadir.
**
Setelah acara resmi usai, kedua keluarga duduk bersama menikmati makan malam buffet dengan sajian khas Sunda dan internasional. Ayunda dan Bu Nuraeni tampak berbincang akrab tentang kegiatan sehari-hari mereka. Nyonya Ayunda sangat antusias mendengar kegiatan bu Nuraeni di kampung, dan dia meminta ikut ke kampung nanti, karena dia sangat menyukai suasana kampung. sedangkan Pak Ramdhan dan Makes juga berbincang banyak hal. Mereka sangat akrab.
Zhavira mengamati dari kejauhan dengan hati yang penuh syukur. Dia berdiri di balkon lantai dua vila, menikmati udara malam yang sejuk. Tak lama kemudian, Makes menghampiri dari belakang dan melingkarkan lengannya di pinggang Zhavira.
“Gimana rasanya jadi tunangan seorang Makes?” bisiknya menggoda.
Zhavira terkikik. “Berat. Banyak tekanan. Banyak kamera. Banyak yang ngintip-ngintip.”
Makes tertawa kecil. “Tapi kamu tetap pilih aku.”
“Aku pilih kamu, bukan karena kamu CEO. Tapi karena kamu Makes. Orang yang mau nemenin aku masak jam dua pagi, yang nemenin aku menangis tanpa banyak tanya, dan orang yang tidak pernah mencoba mengubahku jadi orang lain.”
Makes menatapnya lekat, lalu mengecup pelipisnya lembut. “Aku akan jadi suami kamu, Zha. Tapi sebelumnya, izinkan aku terus jadi rumah buat kamu.”
Zhavira menutup matanya sesaat, menyandarkan kepala di dada Makes. “Iya. Rumah yang gak akan pernah aku tinggalkan.”
Dan malam itu, di bawah langit berbintang, dua hati yang pernah ragu kini sudah saling mengikat janji.
Bukan hanya antara dua insan, tapi juga dua keluarga yang kini bersatu dalam restu dan harapan besar. Sebuah awal yang indah… menuju kehidupan yang lebih dalam—lebih dari sekadar cinta.