Seorang dokter jenius dari satuan angkatan darat meninggal karena tanpa sengaja menginjak ranjau yang di pasang untuk musuh.
Tapi bukanya ke akhirat ia justru ke dunia lain dan menemukan takdirnya yang luar biasa.
ingin tau kelanjutannya ayo ikuti kisahnya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34
Langkah demi langkah rombongan meninggalkan Gunung Kabut. Pasukan Wu Jing yang menunggu di kaki gunung langsung berbaris, menundukkan kepala dalam penghormatan. Sorak lega terdengar, tapi keheningan cepat menyusul ketika mereka melihat kondisi Li Xiaoran, Xiumei, dan Mo Feng.
Baju perang mereka compang-camping, darah menodai kain, aura tubuh mereka menyisakan kelelahan luar biasa. Namun mata semua prajurit tahu mereka yang kembali dari dalam kabut bukan sekadar manusia biasa. Mereka adalah sosok yang memikul dunia.
Wu Jing menghampiri, wajahnya keras tapi matanya berkaca. “Kalian… berhasil lagi.”
Xiaoran mengangguk pelan. “Segelnya tertutup. Untuk sementara.”
“Untuk sementara,” ulang Wu Jing lirih, lalu menepuk bahu Mo Feng yang masih berlutut dengan tubuh bergetar. "Anda… bukan hanya sekadar bayangan, Mo Feng. Anda adalah perisai.”
Mo Feng tersenyum samar, darah masih menetes dari bibir. “Perisai… ya, mungkin itu lebih cocok daripada bayangan.”
Para makhluk ilahi berdiri di sekitar, bukan dengan kesombongan, melainkan ketenangan berwibawa. Shui Ying melingkarkan tubuhnya di tepi gunung, matanya bagai dua samudra biru. Yue Lan berdiri dengan sayap putih-emas masih bercahaya lembut, mengusir sisa kabut. Bai He dengan anggun menutup sayap, sementara Ruan Tian berdiri gagah seperti pilar bumi. Luo Yun, duduk tenang dengan mata tajam tapi lembut, seolah menimbang setiap gerakan.
Mereka tidak menunduk seperti budak, tidak pula bersikap berlebihan. Mereka hadir sebagai sekutu yang sejajar, makhluk yang menjaga kehormatan mereka sendiri. Dan semua manusia di sana tahu, kedatangan para makhluk ini bukan karena terpaksa, melainkan karena pilihan.
---
Dalam perjalanan pulang, rombongan singgah di sebuah desa kecil di perbatasan. Warga desa yang ketakutan menyambut mereka dengan air mata syukur. Api unggun dinyalakan, meja-meja kayu dipenuhi makanan sederhana: bubur jagung, daging asap, sayur liar dari hutan.
“Tidak ada jamuan mewah, tapi ini semua dari hati kami,” kata seorang tetua desa sambil menunduk dalam.
Xiaoran tersenyum lembut. “Jamuan yang dibuat dengan hati… lebih berharga dari emas.”
Anak-anak desa berlarian, sesekali mendekat untuk melihat naga, rubah, dan burung api. Yue Lan melipat sayapnya, lalu dengan sengaja membuat bulu emas kecil jatuh dari tubuhnya. Anak-anak yang mendapatkannya bersorak kegirangan.
Ruan Tian duduk diam, tapi seorang bocah berani memanjat punggungnya. Semua orang menahan napas, takut rubah putih itu marah. Namun Ruan Tian hanya mengeluarkan suara dengusan kecil, lalu membiarkan bocah itu duduk sambil tertawa-tawa.
Mo Feng, yang biasanya dingin, dipaksa duduk oleh beberapa ibu-ibu desa yang gigih. Mereka menyuapinya bubur panas sambil berkata, “Nak, wajahmu pucat sekali! Kau harus makan yang banyak!”
Li Xiaoran tertawa kecil melihatnya. “Ternyata bayangan pun bisa ditundukkan oleh sendok kayu.”
Mo Feng hanya bisa mendesah, wajahnya memerah samar.
Xiumei, meski tubuhnya lemah, tetap ikut tertawa. “Ran’er, jangan lupa, bahkan perisai pun butuh istirahat. Kalau tidak, besok pecah.”
Malam itu, tawa bercampur tangis syukur terdengar. Untuk sesaat, dunia terasa damai.
---
Namun jauh di ibu kota, istana Xiang mulai keropos dari dalam.
Para pejabat yang menerima benih kabut kini berubah perlahan. Mata mereka sering berkilau merah samar di bawah cahaya lampu minyak. Mereka mulai mengatur siasat, memutarbalikkan laporan tentang Li Xiaoran dan rombongannya.
Menteri Han, kini wajahnya tirus, berdiri di depan cermin. Dari balik bayangan, sosok utusan kabut muncul.
“Segel ketiga sudah jatuh di tangan mereka,” kata Menteri Han dengan nada getir. “Bagaimana kita bisa menang, kalau setiap kali mereka selalu berhasil?”
Utusan kabut tersenyum licik. “Kalian terlalu memikirkan segel. Dengarkan baik-baik—segel terakhir tidak sama. Ia bukan hanya kunci penjara… ia adalah pintu.”
“Pintu?”
“Ya,” jawab utusan itu, matanya berkilau merah. “Pintu menuju dunia lain. Jika terbuka, kabut tak lagi perlu berjuang menembus segel. Ia akan banjir, menyelimuti segala sesuatu. Dan pintu itu… ada di bawah istana Xiang sendiri.”
Menteri Han tertegun. “Di bawah kita…?”
“Benar. Jadi biarkan Li Xiaoran sibuk berlari ke segala penjuru menutup segel. Sementara itu… kita siapkan panggung akhir tepat di sini, di jantung kekaisaran.”
Utusan itu lenyap, meninggalkan Menteri Han dengan senyum keji yang perlahan muncul.
---
Beberapa minggu kemudian, rombongan tiba kembali di Xiang. Kota menyambut dengan tabuhan genderang dan sorak. Kaisar sendiri turun menyambut, wajahnya berusaha tersenyum meski tubuhnya semakin kurus.
“Pahlawan Xiang kembali!” seru sang Kaisar.
Namun di balik sorak-sorai rakyat, Xiaoran merasakan sesuatu yang aneh. Udara di sekitar istana lebih berat dari biasanya. Angin berputar pelan, membawa bisikan samar. Ia menoleh pada Shui Ying, yang hanya mengangguk pelan, memberi tanda: Aku juga merasakannya.
Di malam perayaan di istana, pesta berlangsung megah. Musik dimainkan, makanan lezat tersaji, para bangsawan berpakaian indah. Namun mata Xiaoran tak bisa lepas dari beberapa pejabat yang gerak-geriknya aneh. Mata mereka sesekali menyala merah samar, gerakan tangan mereka kaku seperti boneka.
Xiumei yang duduk di sebelahnya berbisik, “Ran’er… mereka… sudah dicemari kabut.”
Xiaoran mengepalkan tangan di bawah meja. “Ya. Dan aku khawatir… kabut sudah masuk terlalu dalam.”
Mo Feng, yang duduk tak jauh, menatap para pejabat itu tajam. Aura hitam-ungu samar keluar dari tubuhnya, menahan kabut agar tidak langsung menyentuh Xiaoran.
Tiba-tiba, suara musik berhenti. Lampu minyak bergetar, nyala api padam satu per satu. Aula besar istana tenggelam dalam kegelapan.
Dari bayangan, kabut tipis menjalar di lantai, merayap ke arah singgasana. Kaisar berdiri gemetar, sementara permaisuri menahan napas.
Lalu suara dingin menggema, suara yang sama seperti di ruang pertemuan rahasia.
“Selamat datang, Li Xiaoran. Kau menutup tiga segel, tapi kau lupa satu hal. Pintu terakhir… berada tepat di bawah kakimu.”
Lantai istana bergetar. Retakan muncul, cahaya merah keluar dari bawah ubin emas. Rakyat dan pejabat menjerit, sebagian terjatuh.
Xiaoran berdiri, pedangnya terhunus. “Jadi… inilah panggung terakhir.”
Mo Feng maju ke sampingnya, mata menyala ungu. “Kalau begitu, mari kita buka tarian penutup.”
Xiumei bangkit, meski tubuhnya gemetar. “Ran’er, kita bersama. Selalu.”
Para makhluk ilahi muncul dalam wujud penuh di aula: Shui Ying melingkar bagai lautan hidup, Yue Lan dengan sayap emas yang hampir memenuhi langit-langit, Bai He melayang anggun, Ruan Tian berdiri elegan dengan sembilan ekor berkilau, Luo Yun dengan cangkang pelindung
Para bangsawan menjerit ketakutan, tapi juga kagum. Mereka melihat dengan mata sendiri: makhluk ilahi bukan sekadar legenda. Mereka hadir… menjaga satu putri manusia.
Dan malam itu, tepat di jantung istana Xiang, segel terakhir bergetar, menandai awal dari pertempuran terbesar dalam sejarah dunia.
Bersambung
btw kbr pangeran kedua dan permaisuri gmn ya? gk dibahas lg ending nya
mana misterius pulak lagi
ngambil kesempatan dalam kesempitan ini namanya, gak mau buang tenaga tapi cuma mau untung nya aja.