Benjamin ditugaskan kakaknya, menjadi pengawal pribadi Hayaning Bstari Dewi Adhijokso, putri bungsu ketua Jaksa Agung yang kehidupannya selama ini tersembunyi dari dunia luar.
Sejak pertama bertemu, Haya tak bisa menepis pesona Ben. Ia juga dibantu nya diperkenalkan pada dunia baru yang asing untuknya. Perasaannya pun tumbuh pesat pada bodyguard-nya sendiri. Namun, ia sadar diri, bahwa ia sudah dijodohkan dengan putra sahabat ayahnya, dan tidak mungkin bagi dirinya dapat memilih pilihan hatinya sendiri.
Tetapi, segalanya berubah ketika calon suaminya menjebaknya dengan obat perangs*ng. Dalam keputusasaan Haya, akhirnya Ben datang menyelamatkan nya. Namun Haya yang tak mampu menahan gejolak aneh dalam tubuhnya meminta bantuan Ben untuk meredakan penderitaannya, sehingga malam penuh gairah pun terjadi diantara mereka, menghilangkan batas-batas yang seharusnya tidak pernah terjadi di malam itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16. Bodyguard Sialan mu Itu Tidak Ada Nona
...•••...
Katakanlah Benjamin benar-benar kehilangan akal sehatnya saat ini, saat akhirnya ia bisa menatap kembali wajah perempuan yang selama ini terus menguasai pikirannya, menghantui setiap waktu istirahatnya. Tatapan matanya membara, seperti pria yang telah melewati batas kesabarannya.
"Lalu kamu mau apa?" Hayaning berusaha menjaga nadanya tetap tenang, meski gemetar halus pada suaranya tak bisa disembunyikan.
Ben tersenyum, tapi itu bukan senyuman ramah atau lembut. Itu senyuman penuh intensitas, hampir seperti peringatan. "Apa yang saya mau?" gumamnya rendah, suaranya begitu dalam dengan rahang mengetat.
Jemarinya bergerak perlahan, nyaris menyentuh pipi Hayaning, tetapi berhenti sebelum benar-benar menyentuhnya. Gerakan itu cukup untuk membuat Hayaning mundur sedikit, hanya untuk menyadari bahwa tembok di belakangnya tak memberinya ruang untuk lari. Ia benar-benar terjebak, baik secara fisik maupun emosional, oleh aura mendominasi pria itu.
"Anggap saja bodyguard sialanmu itu tidak ada, Hayaning. Yang ada di depanmu sekarang adalah Raden Benjamin Zachary Soedjono, seorang pria yang baru kamu kenal empat hari lalu." Suara Ben semakin dalam nan tegas, nadanya seperti bara api yang menyulut ketegangan di udara.
"Saya mau kamu berhenti mengacaukan pikiran saya. Saya mau kamu berhenti menjauh, berhenti membuat saya merasa seperti orang bodoh yang terus-menerus bertanya-tanya apa yang salah." Jemarinya turun ke dagu Hayaning, tetapi lagi-lagi tidak menyentuhnya, hanya berhenti beberapa inci dari kulitnya—cukup dekat untuk menimbulkan ketegangan yang menggantung di antara mereka.
"Tapi di sisi lain..." Ben mencondongkan tubuhnya sedikit lebih dekat, hingga napasnya menyapu kulit wajah Hayaning. "Saya juga ingin kamu tahu bahwa tidak peduli seberapa keras kamu mencoba menjauh, saya tidak akan membiarkanmu melarikan diri begitu saja, seperti selama empat hari ini."
"Kamu bicara apa sih, Benji—" suara Hayaning terdengar goyah, berusaha merespons dengan nada yang dibuat setenang mungkin, meski jantungnya berdebar kencang.
"Tuan Benjamin," Ben menyela cepat, matanya menyipit tajam, penuh dominasi. "Panggil saya begitu, karena yang ada di hadapan kamu saat ini adalah putra kedua keluarga Soedjono, bukan bodyguard sialan nan pengecut mu itu yang biasa kamu sebut 'Benji'."
"Ben..." Hayaning berusaha menenangkan suaranya meski getarannya tak dapat disembunyikan. "Cepat pergilah, nanti ada yang dengar."
Namun, Ben hanya menggeleng pelan, napasnya terdengar berat dan penuh intensi. Tatapannya mengunci pada Hayaning, sekali lagi seolah membuatnya seperti rusa kecil yang tak berdaya di hadapan singa yang kelaparan.
"Ben, kumohon..." suara Hayaning semakin lemah, tapi Ben tak menggubris. Tangannya yang kokoh bergerak dengan percaya diri, meraih selimut yang sejak tadi Hayaning pegang erat untuk menutupi tubuhnya yang hanya terbalut gaun malam tipis. Gerakannya lambat tapi pasti, memberi Hayaning waktu untuk menyadari bahwa tak ada jalan keluar.
Ketika selimut itu akhirnya terlepas dan jatuh ke lantai, tatapan Ben turun, matanya bergerak menyusuri keindahan perempuan itu dengan cara yang membuat atmosfer ruangan semakin mencekam. Rahangnya semakin mengencang dengan urat-urat yang menonjol-nonjol, dibalik sorot matanya yang penuh dambaan.
"Hayaning..." Ucapnya serak, rendah, seperti pria yang benar-benar kehilangan kendali. "Kamu selalu membuat pikiran saya bekerja lebih sulit."
TOK...
TOk...
TOk...
Hayaning tercekat, ia hendak mendorong dada bidang itu tetapi Ben tak membiarkannya, ia raih kedua tangan Haya lalu meletakannya diatas kepalanya, menahannya diantara tembok dengan satu tangannya.
"Hayaning, jangan bergerak," suara Ben terdengar lebih berat.
Hayaning berusaha memberontak, tetapi cengkeraman pria itu terlalu kuat. "Ben... ada yang mengetuk," bisiknya, napasnya sedikit memburu. Namun, Ben tak peduli. Ia justru menundukkan wajahnya lebih dekat, menyisakan hanya sedikit jarak di antara mereka.
"Saya tahu," balasnya santai, seolah suara ketukan itu bukanlah sesuatu yang harus ia khawatirkan.
"Nona, nona tidak apa-apa? Saya dengar ada ribut-ribut dari dalam." Ucap salah satu pelayan yang hendak mengantarkan makan malam.
Hayaning menahan napas, panik merambat dalam dirinya. Ia mencoba menarik tangannya dari genggaman Ben, tapi sia-sia. Pria itu bahkan tidak bergerak sedikit pun, tetap menahannya dalam kungkungan tubuhnya yang kokoh.
Ben menatap lurus ke dalam mata Hayaning, bibirnya melengkung dengan seringai kecil yang membuat jantung Haya makin berdebar lebih cepat—bukan hanya karena gugup, tetapi juga karena sesuatu yang lain, sesuatu yang tak ingin ia akui bahwa ia menyukai kedekatan ini.
"Nona?" Suara pelayan di luar terdengar semakin cemas. "Nona benar-benar tidak apa-apa? Anu, saya ditanyai oleh pak Brata."
Hayaning membuka mulut, tetapi Ben lebih dulu bergerak. Dalam sekejap, ia meraih selimut yang tadi terjatuh dan menyampirkannya kembali ke pundak Hayaning. Lalu, tanpa terburu-buru, ia menurunkan tangannya yang tadi menahan kedua tangan perempuan itu, seolah semuanya baru saja terjadi dalam imajinasinya saja.
"Jawab, atau saya yang akan melakukannya." Suara Ben rendah, nyaris terdengar seperti ancaman.
Hayaning menelan saliva, mengumpulkan suaranya yang sempat menghilang. "A-aku baik-baik saja," sahutnya dengan nada yang dibuat setenang mungkin. "Aku hanya menjatuhkan sesuatu tadi."
Sesaat tak ada jawaban dari luar.
"Baik, Nona. Makan malamnya saya letakkan di depan pintu," akhirnya pelayan itu berkata, sebelum suara langkah kaki menjauh.
Hayaning baru saja hendak menarik napas lega ketika Ben kembali mencondongkan tubuhnya.
"Kalau begitu, makanlah," Ben melepaskan cengkeramannya sepenuhnya, tetapi bukannya menjauh, ia justru tetap berdiri di sana, mengamati Hayaning dengan tatapan tajam.
"Kenapa kamu masih di sini?" suaranya terdengar lebih lemah dari yang ia harapkan.
Ben menatapnya sejenak sebelum tersenyum tipis. "Saya ingin memastikan kamu benar-benar makan, bukan sekadar mengatakan iya untuk mengusir saya."
Hayaning mendengus kecil, matanya berkilat tajam. "Jadi kamu mau berdiri di situ sambil mengawasi aku makan?"
Ben mengangkat bahu. "Mungkin. Saya bisa diam di sini sepanjang malam kalau perlu."
Hayaning mengepalkan jemarinya, geram karena pria ini benar-benar sulit dihadapi. Namun, ia juga tahu bahwa jika terus berdebat, Ben tidak akan menyerah begitu saja. Jadi dengan langkah cepat, ia berjalan menuju pintu, membuka sedikit celah, lalu menarik nampan makanannya ke dalam.
"Silakan duduk kalau memang mau mengawasi," ucap Hayaning, berniat menyindir. Namun Ben justru menurut. Ia berjalan ke sofa dan duduk dengan santai.
Hayaning menghela napas panjang. Ternyata pria itu punya sisi yang menjengkelkan juga. "Kamu ini benar-benar menyebalkan, tahu?"
Ben hanya mengangkat alis. "Ya, saya memang menyebalkan."
Hayaning mendelik. Ia mengambil sendok dengan gerakan sedikit lebih kasar, lalu memasukkan suapan pertama ke mulutnya. Ia menatap Ben kembali dengan penuh tantangan. "Lihat? Aku makan. Puas?"
Ben menyeringai kecil. "Belum. Teruskan."
Hayaning menghela napas, lalu kembali makan dengan kesal. Ia tahu Ben cukup keras kepala untuk tetap duduk di sana sampai ia benar-benar menghabiskan makanannya.
Ben, di sisi lain, tidak menunjukkan tanda-tanda bosan. Ia menikmati momen ini—bukan hanya karena berhasil membuat Hayaning menurut, tetapi karena ini pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir ia bisa benar-benar memperhatikannya dari dekat.
Ketika akhirnya piring di hadapan Hayaning kosong, ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, lalu menatap Ben dengan ekspresi menantang. "Sudah selesai. Sekarang pergi."
Ben tidak langsung bereaksi. Ia hanya menatapnya beberapa detik sebelum akhirnya bangkit dari sofa dan berjalan mendekat.
Hayaning menegang, refleks mundur sedikit.
Ben tersenyum tipis, lalu mencondongkan tubuhnya sedikit. "Bagus. Setelah ini istirahatlah dan esok, saya ingin melihat kamu menyapa dunia luar," bisiknya, menggelitik telinga Haya.
Lalu, tanpa mengatakan apa pun lagi, ia berbalik dan berjalan menuju jendela. Dalam sekejap, ia sudah melompat keluar dengan gesit, menghilang dalam kegelapan malam.
Hayaning menatap jendela yang kini kosong, masih merasakan sisa kehadiran pria itu di sekelilingnya. Ia meremas selimutnya dengan gelisah.
Demi apapun. Pria itu benar-benar sulit ditebak.
•••
Keesokan paginya, Hayaning terbangun dengan perasaan aneh yang masih menggelayuti pikirannya. Udara pagi terasa sejuk, tetapi ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman—bukan karena hawa dingin, melainkan karena bayangan Benjamin yang terus berputar di kepalanya.
Ia mengusap wajah, berusaha menepis kenangan semalam. Namun, saat matanya menangkap selimut yang masih melingkupinya erat, perasaan itu kembali datang.
"Apa sih maunya pria itu?" gumamnya pelan.
Seakan merespon pertanyaannya sendiri, ponselnya yang tergeletak di nakas berbunyi. Dengan malas, Hayaning meraihnya dan melihat satu pesan yang masuk.
Tuan Benjamin
Saya harap kamu tidak melewatkan sarapan seperti biasanya. Jangan buat saya datang lagi hanya untuk memastikan itu. Saya akan menunggu kamu diteras depan pukul delapan.
Hayaning mengereng pelan, menjatuhkan ponselnya ke kasur.
"Nyebelin," gerutunya, tapi di balik nada kesalnya, ada senyuman tipis yang terbit.
Saat hendak bangun dari tempat tidur, ponselnya kembali berdering—kali ini bukan notifikasi pesan, melainkan panggilan masuk.
Hayaning menghela napas, lalu melirik layar ponselnya. Begitu melihat nama yang tertera, ia langsung meraihnya dengan cepat.
"Hallo suster Lastri, ada apa? Ibu baik-baik saja kan?" Tanya Haya cemas.
"Hallo, Nona. Maaf mengganggu. Ibu Luna baik-baik saja, tapi beliau ingin sekali bertemu dengan Nona. Tolong datang, ya."
Mata Hayaning membesar, emosinya seketika meluap. Setelah sekian lama, akhirnya ibunya menginginkan kehadirannya.
"Benarkah, Sus? Aku akan datang. Tolong bilang pada Ibu untuk menunggu, ya."
"Iya, Nona. Saya akan sampaikan."
Begitu panggilan berakhir, Hayaning masih terpaku, meresapi kata-kata barusan. Dadanya menghangat, ada perasaan lega yang menyelubungi hatinya—perasaan yang sudah lama ia rindukan.
Ibunya ingin bertemu dengannya.
Tanpa membuang waktu, ia segera bangkit dari tempat tidur dan bergegas masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Setelah selesai mandi, Hayaning mengeringkan tubuhnya dengan cepat, mengenakan dress yang nyaman, dan berdiri sejenak di depan cermin. Tatapannya tertuju pada dirinya sendiri, diikuti dengan senyuman kecil yang terbit diwajahnya.
Ia melangkah cepat menuju lemari untuk memilih sepatu yang cocok, lalu segera keluar dari kamarnya.
Saat berjalan melintasi ruang tamu, ia tanpa sengaja berpapasan dengan kakak ketiganya, Farel.
Hayaning tak sanggup menatap wajah itu. Tanpa berkata apa-apa, ia langsung mempercepat langkahnya, berusaha melewatinya secepat mungkin. Namun, tatapan Farel tetap melekat padanya, matanya penuh sorot tajam yang sulit diartikan, sementara seringai tipis tersungging di sudut bibirnya.
Hayaning mengabaikannya. Senyum kembali merekah di wajahnya sepanjang jalan menuju pintu utama. Namun, langkahnya sedikit melambat ketika ia mendapati sepasang mata cokelat yang menunggunya di ambang pintu.
Tatapannya bertemu dengan Benjamin.
"Pagi, Nona," sapa Ben, senyumnya cerah tetapi sangat kaku.
"Pagi, Benji," sahutnya ringan.
Ben terdiam, matanya sedikit melebar saat menyadari bahwa Hayaning membalas sapaannya dengan senyum yang begitu cerah nan berseri-seri. Seperti kilau matahari pagi yang menyinari dan menghangatkan bumi.