NovelToon NovelToon
Suami Masa Depan

Suami Masa Depan

Status: sedang berlangsung
Genre:Tunangan Sejak Bayi / Aliansi Pernikahan / Percintaan Konglomerat / Cinta Seiring Waktu / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Romansa
Popularitas:1k
Nilai: 5
Nama Author: Tsantika

Aruna murid SMA yang sudah dijodohkan oleh ayahnya dengan Raden Bagaskara.

Di sekolah Aruna dan Bagas bertemu sebagai murid dan guru.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tsantika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Hadir di Masa Lalu

Atta berdiri dari bangkunya sambil menatap Aletta.

"Aku nggak nyangka kamu akhirnya sekolah di sini juga."

Aletta tersenyum tipis, menyendok nasinya. "Aku juga nggak nyangka. Tapi katanya ini ‘demi masa depan’. Versi ayahku, sih."

Aruna menyadari suasana agak canggung. Ia menyodorkan tempat duduk ke sampingnya.

"Kalau gitu, ayo bareng makan di sini aja. Biar makin kenal sama semua."

Aletta ragu sejenak, tapi akhirnya duduk di sebelah Aruna. Ia melirik singkat ke Atta, lalu kembali pada makanannya.

Atta tertawa kecil. "Kamu pasti nggak inget ya, Na. Dulu sebelum kamu pindah ke Singapura, kalian pernah ketemu. Aletta ini anaknya Pak Raffi yang sekarang menjabat di kota kita."

Aruna menoleh ke Aletta, mengernyitkan dahi. "Pernah? Kapan tuh?"

"Waktu acara tahun sekolah ini," jawab Atta.

Aletta mengangguk pelan. "Aku juga ingat. Kamu malu-malu dan sembunyi di belakang tubuh Om Agam."

Aruna tertawa malu. "Ya ampun... bener juga. Tapi aku beneran lupa."

Atta mengangguk. "Wajar sih, itu udah lama banget."

Nadia—salah satu teman Windi—yang baru bergabung di meja itu, ikut menyahut.

Nadia mencibir setengah bercanda. "Wah, berarti kamu anak orang penting juga dong, Let? Duduk semeja sama orang-orang berpengaruh nih. Anak donatur sekolah semua."

(Lirik ke Aruna, Aletta, dan Atta bergantian.)

Aletta mengangkat alis tanpa ekspresi berlebihan. "Yah, kalau itu sih ayahku yang penting. Aku sih biasa aja."

Atta melirik ke Aletta, lalu menyenggol bahunya ringan. "Kamu udah ketemu Kak Bagas belum? Sekarang dia ngajar di sini."

Aletta mengangguk perlahan. Tatapannya melirik ke arah Aruna, yang saat itu sedang mengaduk jusnya.

"Udah. Dia ngajar di kelasku juga."

Windi yang sedari tadi diam, langsung memalingkan wajah.

Aruna tersenyum datar. "Kak Bagas itu Pak Raden Bagaskara, bukan?"

"Iya, Na. Siapa lagi kalau bukan cal... dia orangnya," sahut Atta hampir keceplosan.

"Oh ya? Kelihatannya biasa saja tadi."

Aletta menjawab sambil menatap Aruna balik.

"Mungkin karena kami sudah kenal lebih dulu."

Bel masuk berdentang.

Siswa mulai kembali ke kelas, termasuk Aruna dan teman-temannya. Namun kepala Aruna masih sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Kamu ngelamun apa sih?" bisik Windi pelan saat duduk di sebelah Aruna.

Aruna menoleh cepat, "Aku cuma kepikiran aja… kalau Aletta kenal Bagas dan keluarganya penting juga di sekolah ini… ya bisa jadi dia tahu juga soal aku dan Bagas."

Windi mengangkat alisnya. "Tapi dari sikapnya sih biasa aja, Arun. Nggak kelihatan kayak orang yang tahu rahasia besar."

Aruna diam. Ia tahu Windi ada benarnya, tapi rasa curiga tetap mengendap.

Tiba-tiba, Nadia mendekat ke meja mereka dengan semangat.

"Na, latihan teater jadi sore ini kan? Aku mau ikut nonton! Kayaknya seru."

Aruna mengangguk. "Iya, jadi kok. Aku juga udah bilang ke Pak Danu buat siapin aula."

Aletta, yang duduk satu baris di belakang mereka, mencondongkan badan.

"Latihan teater?" tanyanya pelan, membuat Nadia dan Windi menoleh.

"Iya," jawab Nadia. "Itu ekstrakurikuler teater. Aruna sama Atta anak aktif di situ. Kadang seru banget latihannya, kayak nonton drama langsung."

Aletta tersenyum kecil. "Kalian pentas juga?"

"Pernah, semester kemarin," sahut Aruna. "Tahun ini katanya mau buat pentas musikal kecil. Tapi masih rencana."

Aletta mengangguk-angguk, lalu tiba-tiba bertanya, "Atta juga sering ikut?"

Windi melirik Aruna cepat, sebelum menjawab, "Iya, dia salah satu pemeran utama. Aruna juga."

"Pemeran utama… berdua?" tanya Aletta, seolah-olah iseng.

"Kadang, tergantung naskahnya," jawab Aruna hati-hati.

Suasana jadi sedikit canggung, sampai Nadia tertawa, "Pokoknya kamu harus lihat sendiri deh. Mau ikut nanti, Al?"

Aletta tersenyum. "Mungkin."

Sore menjelang. Ruang seni mulai ramai.

Aruna datang bersama Windi, keduanya membawa naskah. Atta sudah lebih dulu datang dan sedang memeriksa properti bersama Nadia.

"Latihan hari ini kita mulai dari adegan dua ya!" seru Kak Saka, ketua ekskul teater. "Yang jadi pemeran utama, siap-siap. Aku mau lihat chemistry kalian!"

Aruna menaruh tasnya dan berjalan ke tengah ruangan. Atta menyapanya dengan senyum lebar.

"Hari ini kamu jangan kabur ya, aku udah latihan dialog dua kali semalam."

"Siapa juga yang kabur," jawab Aruna, meski matanya melirik ke pintu. Ia cemas Aletta akan datang.

Dan benar saja… pintu aula terbuka. Aletta melangkah masuk.

Ia mengenakan seragam lengkap, rambut dikuncir rendah, dan menenteng botol minum. Kak Saka menyambut ramah,

"Kamu murid baru ya? Mau ikut nonton?"

"Boleh?"

"Silakan duduk. Tapi jangan terlalu deket, nanti kena lemparan naskah kalau yang latihan lupa dialog."

Semua tertawa ringan.

Aletta duduk di kursi paling pinggir. Namun matanya tidak lepas dari dua sosok di tengah aula: Aruna dan Atta. Keduanya berdiri berhadapan, mulai membaca naskah.

Aruna (berperan sebagai gadis desa):

"Kenapa kau datang kemari, padahal kau tahu aku tak boleh menemuimu?"

Atta (sebagai pemuda kota):

"Karena aku tak tahan… tak bisa berpura-pura bahwa aku tidak merindukanmu setiap malam."

Satu dua anak bersorak menggoda. Aruna menahan tawa sambil melempar pandang pada Windi yang mengangkat dua jempol di belakang. Tapi yang paling tajam menatap adalah Aletta.

Dari balik jendela ruang seni… Bagas berdiri memperhatikan diam-diam. Ia baru saja selesai rapat guru dan memutuskan lewat, tapi tidak masuk.

Atta melanjutkan dialog, kali ini sambil sedikit mendekat ke Aruna.

"Kalau kau tak percaya, lihat sendiri. Ini semua untukmu…"

Atta mengeluarkan bunga kertas dari balik sakunya—improvisasi kecil yang membuat seluruh penonton bertepuk tangan.

Aletta mengepalkan tangan kecilnya.

"Drama sekolah…" gumamnya, tapi sorot matanya tak seceria biasanya.

Sementara itu, Bagas menghela napas panjang, lalu berjalan pergi. Dalam benaknya cuma satu hal.

"Aruna memang terlalu cocok dengan anak-anak seumurannya."

Selesai latihan, ruang seni mulai sepi. Beberapa murid sudah membereskan properti. Aruna menggulung naskahnya sambil duduk di tepi. Aletta menghampiri, membawa botol minum dan ekspresi santai.

"Kamu bagus banget tadi, Aruna," puji Aletta sambil duduk di sampingnya.

Aruna tersenyum singkat. "Ah, biasa aja. Dialognya juga belum hafal semua."

"Tapi ekspresimu dapet. Kamu dan Atta kelihatan… serasi. Apa kalian pacaran?"

Nada Aletta terdengar ringan tapi matanya mengamati tajam.

Aruna tertawa kecil, canggung. "Aku dan Atta cuma teman. Udah lama kenal, itu aja."

Aletta miringkan kepala. "Kenapa cuma teman? Kamu nggak suka dia? Atau... kamu udah punya pacar?"

Aruna sempat terdiam, memperhatikan Aletta, lalu menjawab, "Kupikir kamu sudah tahu."

Aletta mengangkat alis. "Tahu apa?"

Aruna menahan napas. "Nggak apa-apa."

Aletta tetap menatapnya, penasaran. Tapi Aruna berdiri, mengambil tasnya.

"Mungkin justru Atta yang udah punya pacar. Siapa tahu..." Aruna menyunggingkan senyum sebelum melangkah pergi, meninggalkan Aletta yang terdiam dan mulai curiga bahwa ada sesuatu yang disembunyikan.

Dari kejauhan, Windi melambaikan tangan ke arah Aruna, siap pulang bersama.

Halaman sekolah mulai lengang. Aletta berjalan keluar dengan wajah datar, tapi matanya mengamati suasana. Beberapa siswa melambaikan tangan ke arah Aruna yang tertawa bersama Windi dan Atta. Senyum Aruna seolah jadi pusat perhatian.

Aletta mengepalkan tangan ringan. "Idola sekolah rupanya..." gumamnya lirih.

Sebuah suara menyapanya.

"Non Aletta."

Aletta menoleh. Pak Agi, sopir keluarga Raffi, berdiri sopan sambil membuka pintu mobil.

"Bapak minta Non langsung pulang. Sudah menunggu di rumah."

"Tentu saja," gumam Aletta pelan, lalu masuk ke mobil dengan langkah berat.

Di rumah, Aletta membuka pintu dengan langkah cepat. Di ruang tamu, Pak Raffi duduk di sofa dengan seseorang di sampingnya: seorang perempuan muda, elegan, duduk tenang dengan senyum datar.

"Aletta, kamu sudah pulang," ucap Pak Raffi, berdiri.

"Ini siapa?" tanya Aletta langsung, nadanya dingin.

"Namanya Kenanga. Mulai hari ini, dia tinggal bersama kita."

Aletta menoleh tajam ke arah ayahnya.

"Mama belum menandatangani surat cerai. Perempuan ini belum punya hak di rumah ini."

Perempuan itu hanya menatap Aletta, tersenyum samar.

"Aletta, kamu berhak membenciku tapi aku ibu dari adikmu. Aku hanya ingin kita bisa saling menghormati."

Aletta mendesis, menahan emosi. "Saling menghormati itu baru bisa kalau kamu tidak tidur di rumahku. Sebaiknya Papa tanya apa benar bayi itu anak kandung atau palsu."

"Aletta, cukup. Kamu sudah besar. Belajarlah menerima keadaan!" seru Pak Raffi.

Aletta menatap ayahnya lama, lalu pergi ke kamarnya tanpa berkata-kata. Suara langkahnya naik tangga terdengar berat

1
sweet_ice_cream
love your story, thor! Keep it up ❤️
🔍conan
Baca ceritamu bikin nagih thor, update aja terus dong!
Beerus
Buku ini benar-benar menghibur, aku sangat menantikan bab selanjutnya, tetap semangat ya author! ❤️
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!