NovelToon NovelToon
Unexpected Love

Unexpected Love

Status: sedang berlangsung
Genre:Kisah cinta masa kecil / Diam-Diam Cinta
Popularitas:353
Nilai: 5
Nama Author: Mutia Oktadila

Letizia Izora Emilia tidak pernah merasa benar-benar memiliki rumah. Dibesarkan oleh sepasang suami istri yang menyebut dirinya keluarga, hidup Zia dipenuhi perintah, tekanan, dan ketidakadilan.

Satu keputusan untuk melawan membuat dunianya berubah.

Satu kejadian kecil mempertemukannya dengan seseorang yang tak ia sangka akan membuka banyak pintu—termasuk pintu masa lalu, dan... pintu hatinya sendiri.

Zia tak pernah menyangka bahwa pekerjaan sederhana akan mempertemukannya dengan dua pria dari keluarga yang sama. Dua sifat yang bertolak belakang. Dua tatapan berbeda. Dan satu rasa yang tak bisa ia hindari.

Di tengah permainan takdir, rasa cinta, pengkhianatan, dan rahasia yang terpendam, Zia harus memilih: tetap bertahan dalam gelap, atau melangkah berani meski diselimuti luka.

Karena tidak semua cinta datang dengan suara.
Ada cinta… yang tumbuh dalam diam.
Dan tetap tinggal... bahkan ketika tak lagi dipandang.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mutia Oktadila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

chapter 31

Zia menutup pintu kamar Azka dengan pelan, khawatir kalau suara keras akan mengganggu cowok itu yang terlihat pucat. Di tangannya, ada satu gelas air hangat yang tadi ia siapkan di dapur. Langkahnya pelan.

“Nih, minum dulu,” ucap Zia sambil menyodorkan gelas itu ke Azka, yang tengah berbaring di ranjang sambil menatap langit-langit.

Azka menoleh, matanya sedikit sayu, tapi masih ada sorot datarnya yang biasanya ia miliki. “Makasih,” jawabnya pelan, menerima gelas itu dan meminumnya sedikit-sedikit.

Zia hendak berbalik keluar, namun tangan Azka tiba-tiba menahan pergelangannya.

“Apa lagi?” tanya Zia dengan nada lelah.

“Gue marah sama lo,” ucap Azka tanpa ekspresi.

“marah? aku nggak ngelakuin kesalahan kok,” Zia menatapnya dengan bingung.

“Lo habis ngelonin Aksa, kan?” suara Azka datar, tapi tatapannya seperti menuduh.

Zia spontan menaikkan alis, lalu tersenyum nakal. “Emang kenapa?”

“Gak adil,” gumam Azka, tapi cukup jelas terdengar.

“Gak adil gimana?” Zia masih heran, walau sudut bibirnya mulai tertarik membentuk senyum jahil.

“Harusnya gue juga dikelonin,” rengek Azka seperti anak kecil.

“Hah?” Zia melongo, tak percaya cowok itu bisa secemburu pada adiknya sendiri.

Azka mengulurkan tangan, lalu menarik Zia hingga gadis itu terduduk di pinggir ranjang, nyaris jatuh ke tubuhnya. “Sini.”

“Eh,” Zia refleks ingin menarik diri, tapi genggaman Azka terlalu kuat.

“Peluk,” pinta Azka, suaranya rendah namun terdengar seperti perintah.

“Gak mau,” Zia mencoba bangkit, tapi tangannya masih terkunci di genggaman Azka.

“Peluk, gue bilang,” ulang Azka, kali ini nadanya agak kesal.

“Gak mau,” jawab Zia lagi, kali ini menatapnya menantang.

“AAAAAAAA!” rengek Azka, seperti bocah lima tahun yang mainannya direbut.

Zia terdiam, melongo menatap tingkah cowok di depannya itu. Tatapan matanya seakan mencoba menelaah isi kepala Azka yang entah kenapa hari ini terasa… aneh.

“Kayanya kamu emang harus diperiksa deh,” ucap Zia akhirnya, nada suaranya campuran antara heran dan gemas.

“Kok diperiksa sih?” Azka mengerutkan kening, sedikit memiringkan kepala seperti anak kecil yang tidak mengerti letak salahnya.

“Soalnya sikap kamu beda jauh banget sama hari biasanya” jawab Zia sambil memutar bola matanya. Dia tahu, Azka memang sering bersikap aneh, tapi kali ini terasa lebih ekstrem.

“Udahlah, nggak perlu dibahas,” sahut Azka, suaranya terdengar datar tapi jelas ada nada menghindar di sana.

“Idih… ngambek,” sindir Zia sambil melipat tangan di dada, pura-pura tidak peduli.

“Cepet peluk,” ucap Azka tiba-tiba, suaranya tegas dan… tak terbantahkan.

Zia menatapnya lama, menimbang apakah harus menurut atau tidak. “Sini,” jawabnya akhirnya dengan nada malas, sambil bersandar pada kepala ranjang.

Dengan semangat yang tak bisa disembunyikan, Azka langsung mendekat. Langkahnya pelan tapi mantap, lalu ia duduk di atas dada Zia—ya, bukan di samping, tapi benar-benar di atasnya—dan tanpa aba-aba langsung terlelap.

Zia hanya bisa menghela napas panjang sambil memandangi Azka yang kini malah sudah memposisikan dirinya senyaman mungkin di atas dada Zia, seperti anak kucing yang baru menemukan bantal empuk.

“Ya ampun, berat tau,” gumam Zia pelan sambil berusaha menyesuaikan posisi duduknya di kepala ranjang.

Azka yang setengah memejamkan mata hanya menggerakkan tangan untuk memeluk pinggang Zia, seolah takut kalau Zia bakal kabur.

“Jangan banyak protes, ini momen penting,” ucap Azka dengan suara serak, matanya setengah tertutup.

Zia meliriknya sinis. “Momen penting apaan? Kita bukan di drama Korea yang romantis gitu, tau.”

“Buat gue, ini romantis,” jawab Azka santai.

Zia mencibir. “Romantis apanya? kamu udah kayak anak kecil minta dielus-elus.”

“Kalau sama lo, gue emang maunya jadi anak kecil,” balas Azka sambil tersenyum tipis, lalu memejamkan mata lagi.

Zia memutar bola mata, tapi entah kenapa bibirnya ikut melengkung tipis. “Dasar kak Azka aneh” gumamnya.

Beberapa menit berlalu dalam diam, hanya terdengar napas teratur Azka. Zia sebenarnya masih bingung kenapa cowok itu tiba-tiba berubah sikap. Tadi marah-marah, sekarang malah nemplok kayak gini.

“Eh, kak  Azka… kamu beneran nggak apa-apa kan?” tanya Zia pelan sambil melirik ke arah wajah cowok itu.

Azka membuka sedikit matanya, menatap Zia dari jarak yang terlalu dekat. Nafasnya hangat, menyapu pipi Zia yang otomatis sedikit mundur karena jarak mereka nyaris tak ada.

“Alergi gue udah mendingan,” ucap Azka pelan, suaranya serak khas orang yang baru bangun. “Tapi… gue iri.”

Zia mengerutkan kening. “Iri kenapa?” tanyanya dengan heran.

Azka menarik sudut bibirnya sedikit, setengah senyum, setengah kesal. “Pasti waktu lo di kamar Aksa, dia dimanja-manjain kan sama Lo?”

Zia langsung menepuk dahinya pelan. “Ya ampun, kak…” Nada suaranya campuran antara gemas dan lelah menanggapi pikiran aneh Azka.

“Kamu masih mikirin kesana? Tadi aku sama Aksa cuma akting doang kok, nggak beneran. Masa iya dia aku kelonin?” ucap Zia, menatap Azka seolah ingin meyakinkan.

Azka menghela napas lega. “Syukurlah,” gumamnya, lalu tanpa basa-basi memeluk pinggang Zia. Gerakannya natural, seperti sudah terbiasa, padahal ini jelas bukan kebiasaan mereka.

Zia terdiam. Kamu mangkin aneh tau gak? batinnya, sambil melirik sekilas wajah Azka yang kini tenang dalam pelukannya.

Apa kak Azka suka sama Zia? pikirnya lagi, tanpa sadar tatapannya jadi lebih lama dari yang seharusnya.

Ahhh, masa kak Azka suka sama gadis kampung kayak Zia gini sih? pikirnya sambil terkekeh kecil di dalam hati. Ia bahkan sempat membayangkan betapa lucunya kalau memang benar begitu—seorang cowok seperti Azka, yang biasanya dingin dan cuek, jatuh hati pada dirinya yang menurutnya biasa-biasa saja.

Di sisi lain, Azka memejamkan mata kembali, tapi senyum tipis tetap terukir di bibirnya. Pelukan ini membuatnya merasa nyaman, seolah semua rasa gelisah yang tadi mengganggunya hilang begitu saja. Nyaman, batinnya singkat, tapi sarat makna.

Zia sedikit bergeser, mencoba mencari posisi yang tidak terlalu membuatnya pegal, tapi Azka justru mengeratkan pelukan. “Jangan gerak,” bisiknya pelan, setengah sadar.

“Kak, aku nggak bisa napas,” protes Zia sambil mengangkat alis.

Azka membuka sebelah matanya, menatapnya sebentar, lalu kembali menutupnya. “Biarin.”

Zia mendengus. “Dasar tukang paksa” Tapi diam-diam, ada rasa hangat yang menjalar di dadanya. Mungkin karena ini pertama kalinya Azka menunjukkan sisi manja seperti ini padanya.

Hening menyelimuti kamar. Hanya ada suara detak jam dinding dan napas mereka yang berpadu. Sesekali, Zia bisa merasakan detak jantung Azka yang stabil menekan dadanya. Ia mencoba mengalihkan pikiran, tapi aroma sabun dan parfum tipis dari tubuh Azka membuatnya sulit fokus.

_____

Sudah satu jam Azka tertidur di atas dada Zia. Posisi itu membuat Zia meringis kesakitan. Punggungnya terasa kaku, dadanya pegal, dan napasnya sedikit sesak. Ini orang kalau tidur kayak batu, nggak gerak sama sekali, batinnya kesal.

Pelan-pelan, Zia menggeser tangannya dan menyentuh kepala Azka. Dengan sangat hati-hati, ia memindahkan kepala cowok itu ke bantal di sebelahnya. Gerakannya lambat dan terukur, seolah sedang memindahkan bayi yang baru saja tertidur. Ia menahan napas setiap kali Azka bergerak sedikit, takut cowok itu bangun dan kembali memeluknya.

Begitu kepala Azka sudah berada di bantal, Zia langsung bangkit dari ranjang. Tubuhnya menegang, dan ia refleks meregangkan otot punggung serta leher. “Aduh… rasanya kayak habis jadi bantal manusia seharian,” gumamnya sambil mengusap dadanya yang masih terasa berat.

Ia melirik ke arah jam dinding—jarum pendek sudah menunjuk angka delapan, jarum panjang di angka dua belas. Pantes aja lapar, udah jam segini.

Zia pun segera melangkah keluar kamar dan menuruni tangga menuju dapur. Bau harum masakan yang samar-samar tercium membuatnya semakin bersemangat. Ia tahu malam ini harus menyiapkan sesuatu yang enak, apalagi setelah seharian aktivitas di pantai.

Sesampainya di dapur, ia mulai memeriksa bahan-bahan yang ada. Tak lama kemudian, pembantu rumah ikut membantunya. Mereka bergerak cepat dan teratur—Zia bertugas mengupas dan membersihkan udang, sementara pembantu lain menyiapkan bumbu asam manis. Di sisi lain, ada yang sedang menggoreng ayam hingga kulitnya berwarna cokelat keemasan dan terdengar bunyi “kriuk” saat diangkat dari minyak panas.

Aroma tumisan bawang putih dan cabai memenuhi ruangan ketika mereka mulai menumis kangkung. Zia juga sempat mencicipi kuah asam manis untuk memastikan rasanya pas—manisnya seimbang dengan asam segar dari jeruk nipis.

“Ini salad buahnya udah jadi, Neng Zia,” ucap salah satu pembantu sambil menunjukkan mangkuk besar berisi potongan melon, apel, anggur, dan kiwi yang segar, dilumuri saus yoghurt manis.

Zia tersenyum. “Oke, taruh di kulkas dulu biar dingin pas disajikan nanti.”

Setelah beberapa menit, semua hidangan sudah siap: udang asam manis yang menggiurkan, sayur kangkung tumis yang masih mengepulkan uap panas, ayam goreng renyah, dan salad buah sebagai penutup. Zia dan para pembantu mulai menata makanan di meja makan. Piring-piring keramik putih disusun rapi, sendok dan garpu mengilap sudah terpasang di sampingnya.

Tak lama, suara langkah kaki terdengar dari arah tangga. Zia menoleh dan melihat Aksa turun dengan rambut berantakan, matanya masih setengah terpejam—wajah bantal yang khas orang baru bangun tidur.

“Kamu udah bangun? Pas banget makan malam udah siap,” sapa Zia sambil tersenyum.

Aksa hanya mengangguk pelan, berjalan menuju meja makan sambil menguap lebar. “Laper…” gumamnya.

Dari belakang, terdengar langkah kaki lain. Azka menyusul, penampilannya tak jauh beda dari Aksa—rambut acak-acakan, kaus sedikit kusut, dan wajah yang jelas menunjukkan baru saja bangun tidur.

Zia sempat melirik sekilas ke arah Azka. Mungkin mereka berdua kelelahan banget setelah dari pantai tadi, pikirnya.

Azka menatap meja makan sebentar, lalu menoleh ke arah Zia. “Kamu yang masak?” tanyanya sambil menarik kursi.

“Ya, dibantu sama yang lain juga. Udah duduk aja,” jawab Zia sambil menaruh sendok nasi di dekatnya.

Aksa langsung mengambil piring dan mulai mengambil ayam goreng. “wahh kayanya enak nih” ucapnya sambil tersenyum kecil.

Azka tidak banyak bicara. Ia hanya duduk di kursi sebelah Aksa, tapi matanya sempat menangkap gerakan Zia yang sedang menuangkan kuah udang asam manis ke piring saji. Ada sesuatu di matanya—entah itu kekaguman atau sekadar perasaan hangat—tapi ia cepat-cepat menunduk agar tidak ketahuan.

Begitu semua sudah duduk, mereka mulai makan bersama. Suara sendok dan garpu beradu dengan piring terdengar ritmis, diselingi percakapan ringan tentang kejadian di pantai tadi.

Zia memperhatikan dua bersaudara itu diam-diam. Meski wajah mereka masih terlihat lelah, ada raut puas di sana saat menyantap masakan yang ia siapkan. Dan entah kenapa, melihat mereka makan lahap seperti itu membuat Zia merasa lega—seakan semua pegal dan lelah tadi terbayar.

Sementara itu, Azka sempat meliriknya sekali lagi di sela-sela makan.  bahkan cuma lihat dia masak aja rasanya tenang, batinnya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!