Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25 – Kendi Berdarah di Balik Lumbung
Pagi di Kampuang Binuang dimulai dengan langkah-langkah kaki yang berat di tanah becek. Kabut belum juga hilang, padahal matahari sudah menggantung setinggi kepala. Suara ayam pun terdengar lesu, seolah ikut merasakan bahwa kampung ini belum benar-benar lepas dari bayang-bayang kegelapan.
Bahri berdiri di pelataran belakang rumahnya, menatap lumbung padi tua yang sudah lama tak dipakai. Ia mengernyit saat melihat pintu lumbung sedikit terbuka, padahal semalam ia sendiri yang menguncinya.
“Ri!” panggil Reno sambil melangkah cepat mendekat. “Kau lihat kabut pagi ini? Aku lewat jalan bawah, dan ada semacam jejak kaki anak-anak... tapi jalannya cuma satu arah. Nggak ada jejak kembali.”
Bahri menatap Reno dengan serius, lalu menoleh kembali ke lumbung. “Aku juga curiga. Semalam aku dengar suara tangisan, tapi aku kira cuma suara angin dari arah sawah.”
Ucup tiba-tiba muncul dari balik pagar sambil mengunyah pisang goreng. “Tangisan apaan? Jangan-jangan itu suara lambungku karena belum sarapan?”
Ajo menyusul di belakang dengan bungkusan daun pisang. “Udah lah, kita periksa saja. Lumbung itu kayaknya udah waktunya dibersihin juga. Siapa tahu kita bisa nyimpen jagung lagi di sana.”
Bahri mengangguk. “Ayo. Tapi hati-hati. Kita bawa air rendaman sirih dan senter. Aku nggak mau kejadian di kuburan terulang.”
Pintu lumbung tua itu berderit saat dibuka. Di dalam, bau apek menyambut mereka, bercampur bau anyir yang sangat kuat.
“Eh, kok kayak bau darah ya?” gumam Ucup sambil menutup hidung.
Di sudut ruangan, terdapat kendi tua yang biasanya dipakai untuk menyimpan air. Tapi kendi itu sekarang penuh cairan merah gelap, mengental seperti darah. Di sekelilingnya, ada bercak-bercak merah yang mengarah ke dinding lumbung.
Reno berjongkok, mencoba mengamati lebih dekat. “Ini bukan darah biasa. Warnanya terlalu gelap... dan kental.”
Ajo menendang kerikil ke dalam kendi. Seketika itu juga, dari dalam kendi muncul gelembung dan suara seperti nafas panjang.
“Woi! Itu kendi napas!” Ucup melompat mundur.
Bahri menyiramkan sedikit air rendaman sirih ke sekitar kendi. Uap putih tipis muncul dari tanah, dan sebuah bayangan perlahan keluar dari tembok lumbung. Bentuknya seperti perempuan tua, rambutnya panjang sampai lantai, wajahnya tak tampak karena tertutup selendang lusuh.
Ia berdiri diam, lalu mengangkat tangannya menunjuk kendi.
“Ini... tempat dia dikurung,” bisik Bahri. “Tapi siapa ‘dia’ itu?”
Bayangan itu tak menjawab. Ia hanya mendekati kendi perlahan, lalu duduk di sebelahnya sambil menangis lirih. Tangan kurusnya mencoba menggapai kendi, namun setiap kali menyentuhnya, ia seperti terbakar.
“Dia ingin melepas... atau ingin mengikat kembali?” tanya Reno pelan.
Mak Tundun yang datang belakangan, berdiri di pintu lumbung. Suaranya pelan, tapi tegas.
“Itu kendi Siti Juned. Dulu ia dikhianati dan dikutuk hidup-hidup oleh suaminya sendiri. Arwahnya dikurung dalam kendi agar tak gentayangan. Tapi jika kendinya rusak... dia bebas.”
Ucup mendongak. “Lah terus, yang napas dari dalam tadi siapa?”
Mak Tundun menatap tajam. “Itu bukan napas. Itu tangisannya. Dia belum tenang karena satu benda belum dikembalikan ke jasadnya.”
Bahri bertanya, “Benda apa?”
“Anting tembaga. Satu-satunya milik pribadi yang disimpan di rumah suaminya yang sekarang sudah jadi rumah tua kosong di pinggir kebun.”
Reno bersiap. “Kalau begitu kita ke sana sekarang. Sebelum ada yang mencoba ngambil kendi ini atau iseng minum airnya.”
Ucup langsung tersedak pisang goreng. “Siapa juga yang mau minum air kendi berdarah?!”
Perjalanan ke rumah tua pinggir kebun memakan waktu hampir sejam. Mereka melewati kebun singkong, sawah yang mulai mengering, dan jalan tanah yang mulai dipenuhi akar pohon. Rumah itu berdiri di bawah pohon beringin besar. Catnya sudah mengelupas, pintunya roboh separuh.
Ajo membuka jalan dengan parang. “Tempat ini... kayak belum dijamah manusia selama puluhan tahun.”
Mereka masuk ke dalam rumah. Lantainya berdebu tebal, tapi di tengah ruangan, ada lemari tua yang tampak bersih, seperti baru dibuka.
Bahri membuka lemari itu. Di dalamnya, hanya ada satu benda: sebuah anting tembaga berbentuk bulan sabit.
“Sini dia,” gumam Bahri. “Ayo kita bawa kembali ke lumbung.”
Tapi saat mereka berbalik, suara pintu rumah menutup dengan keras. Angin dari arah jendela mendorong semua daun pintu dan jendela hingga terkunci. Suara tawa perempuan menggema dari loteng.
“Dia... sudah tahu kita datang.”
Bayangan hitam merayap dari celah-celah dinding, membentuk sosok perempuan yang tubuhnya penuh luka bakar, matanya merah menyala, dan rambutnya menjuntai seperti akar pohon.
Ia melayang turun, wajahnya penuh luka.
“Apa kalian mau mengganggu tempatku lagi?”
Bahri berdiri tegak. “Kami hanya ingin mengembalikan apa yang milikmu. Setelah itu, biarkan kau pergi.”
Makhluk itu menjerit, suara jeritannya membuat genteng bergetar. Tapi anting tembaga di tangan Bahri mulai bersinar. Ia meletakkannya di lantai, dan sinar dari anting membentuk lingkaran di sekitarnya.
Makhluk itu menatap anting itu lama, lalu menangis. Tangisnya berubah jadi jeritan pelan, dan tubuhnya perlahan berubah menjadi kabut, menyatu dengan cahaya.
Setelah semuanya tenang, jendela terbuka kembali. Udara kembali segar.
Ucup duduk lemas di lantai. “Udah... udah cukup buat seminggu ini. Aku pulang, mau makan nasi sama tempe.”
Mereka semua tertawa pelan. Tapi hati mereka tahu, kampung ini masih menyimpan lebih banyak cerita yang belum bangkit dari tanah.
biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
semangat Thor... semoga sukse...