NovelToon NovelToon
Melting The Pilots Heart

Melting The Pilots Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Pernikahan Kilat / Diam-Diam Cinta / Cinta Seiring Waktu / Kaya Raya / Romansa
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

“Bagaimana jika cinta bukan dimulai dari perasaan, melainkan dari janji terakhir seorang yang sekarat?”

Risa tidak pernah membayangkan dirinya akan menikah dengan kekasih sahabatnya sendiri—terlebih, di kamar rumah sakit, dalam suasana perpisahan yang sunyi dan menyakitkan. Tapi demi Kirana, satu-satunya sosok yang ia anggap kakak sekaligus rumah, Risa menerima takdir yang tak pernah ia rencanakan.

Aditya, pilot yang selalu teguh dan rasional, juga tak bisa menolak permintaan terakhir perempuan yang pernah ia cintai. Maka pernikahan itu terjadi, dibungkus air mata dan janji yang menggantung di antara duka dan masa depan yang tak pasti.

Kini, setelah Kirana pergi, Risa dan Aditya tinggal dalam satu atap. Namun, bukan cinta yang menghangatkan mereka—melainkan luka dan keraguan. Risa berusaha membuka hati, sementara Aditya justru membeku di balik bayang-bayang masa lalunya.

Mampukah dua hati yang dipaksa bersatu karena janji, menemukan makna cinta yang sebenarnya? Atau justr

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16

Aditya mendengar jelas suara Risa dari balik pintu kamar.

Meski tubuhnya masih lemah, telinganya menangkap setiap kata penuh emosi yang dilontarkan istrinya.

"Dia belum siap! Kalian tidak tahu trauma yang dia alami..."

Nada Risa penuh amarah dan luka.

Aditya menatap langit-langit kamar rumah sakit dengan mata yang mulai berkaca-kaca.

Suara Risa yang biasanya lembut kini terdengar lantang, tajam namun bukan karena benci, tapi karena ia sedang melindunginya.

Begitu pintu tertutup kembali dan keheningan menyelimuti ruangan, Risa masuk perlahan. Tatapan mereka bertemu.

“Aku… dengar semuanya,” ucap Aditya pelan.

Risa terdiam, bibirnya bergetar menahan emosi.

“Aku tidak pernah tahu kamu bisa semarah itu,” lanjut Aditya, senyum tipis menghiasi wajahnya yang belum sepenuhnya pulih.

“Karena aku tidak pernah semarah ini sebelumnya,” jawab Risa, menahan air matanya.

“Mereka tak tahu apa yang kamu alami. Mereka hanya datang untuk menutup aib, bukan peduli.”

Aditya menatap tangan Risa yang ia genggam erat.

“Maaf... sudah membuatmu berjuang sendirian.”

Risa menggeleng sambil menyentuh wajah suaminya dengan lembut.

“Aku akan berjuang terus... selama kamu masih di sini.”

Risa terdiam sejenak. Matanya menatap lurus ke arah Stefanus, seolah mencoba memproses kenyataan yang baru saja ia dengar.

Suaminya yang baru saja melewati maut, yang bahkan belum pulih sepenuhnya akan dituntut? Oleh maskapai tempat ia mengabdikan hidup?

"Bagaimana bisa... mereka begitu kejam..." gumamnya.

Stefanus mengangguk pelan. "Mereka butuh seseorang untuk disalahkan. Dan satu-satunya yang selamat... adalah Aditya."

Risa mengepalkan tangan. Napasnya berat. Lalu Stefanus menatapnya tajam dan berkata, “Tapi kamu pernah jadi pengacara hebat. Kamu bisa membelanya, Ris. Kamu tahu cara mainnya.”

Sejenak Risa terdiam. Wajahnya menunjukkan keraguan... lalu perlahan berubah menjadi ketegasan.

“Aku akan urus semuanya. Mereka tidak akan menjatuhkan Aditya semudah itu.”

Stefanus mengangguk. “Kalau begitu, aku bantu kumpulkan semua dokumen penerbangan dan data penyelidikan dari pihak Inggris. Kita lawan bersama.”

Risa menarik napas panjang. “Kalau ini harus membawa aku kembali ke ruang sidang... demi Aditya, aku siap.”

Aditya menoleh pelan ke arah Risa. Matanya masih redup, penuh luka yang belum sempat mengering, bukan hanya karena fisik tapi juga tekanan yang terus menghimpitnya. “Ris… aku satu-satunya yang selamat. Mereka pasti butuh kambing hitam,” suaranya lirih.

Risa duduk di samping ranjang, menggenggam tangan suaminya erat.

“Kamu bukan kambing hitam, Mas. Kamu korban. Dan kamu penyintas. Mereka tidak bisa begitu saja menjatuhkan tuduhan padamu tanpa bukti.”

“Tapi mereka punya kuasa, Ris. Nama baikku, karierku... semuanya bisa hilang,” lirih Aditya, hampir seperti bisikan.

Risa menggeleng, matanya tegas. “Kita akan buktikan bahwa kamu tidak bersalah. Aku akan kembali jadi pengacara, Mas. Dan kamu adalah alasan terkuat ku.”

Aditya menatap istrinya dalam-dalam. Untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, mata mereka bertaut bukan hanya dalam kesedihan, tapi juga harapan.

Risa membelai pelan rambut Aditya yang masih diperban.

“Kamu istirahat. Mulai besok, aku akan mulai bekerja. Aku tidak akan biarkan siapa pun menyakitimu lagi.”

Risa menatap mata Aditya, lalu mengangkat tangannya untuk menyentuh pipi suaminya dengan lembut.

“Mas… kamu mungkin merasa berbeda sekarang. Tapi bagiku, kamu tetap Aditya. Suami yang kucintai, yang kutunggu berbulan-bulan, yang kucari tanpa lelah.”

Aditya menunduk, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku nggak bisa berdiri seperti dulu, Ris. Aku nggak tahu apa aku bisa terbang lagi. Wajahku… aku bahkan takut melihat bayanganku sendiri.”

Risa mengeratkan genggaman tangannya. “Kamu tetap pria yang aku nikahi. Luka fisik itu bukan siapa kamu. Kamu bukan hanya wajah atau pekerjaanmu, Mas. Kamu adalah orang yang selalu berusaha, yang penuh tanggung jawab, dan yang... meski hancur, tetap bertahan.”

Aditya menghela napas berat, lalu memejamkan mata.

“Terima kasih, Ris. Karena tetap di sini. Karena nggak menyerah waktu aku bahkan udah merasa hilang.”

Risa tersenyum kecil. “Kita akan mulai lagi. Bersama. Dari nol pun aku nggak keberatan, asal kamu ada.”

Risa mulai mengumpulkan semua dokumen penerbangan, rekaman komunikasi terakhir antara pilot dan menara pengawas, serta laporan cuaca pada hari kejadian.

Di ruang tamu kecil penginapan dekat rumah sakit, ia dan Stefanus duduk berdampingan menelaah setiap data.

“Pihak maskapai mengatakan Aditya lalai karena membawa pesawat melewati jalur badai,” kata Stefanus sembari menyodorkan selembar laporan cuaca.

“Tapi menurut radar ini, jalur badai bergeser mendadak. Itu bukan kesalahan pilot.”

Risa mengangguk serius, wajahnya fokus. “Aku butuh data dari black box. Dan juga daftar teknisi yang memeriksa pesawat sebelum lepas landas. Kalau ada kelalaian dari tim darat, bisa jadi itu kuncinya.”

Stefanus mengangguk. “Aku bisa bantu desak kepolisian Inggris untuk mengajukan permintaan data dari otoritas penerbangan sipil. Tapi kamu harus siap, Ris. Pihak maskapai akan main kotor.”

Risa menatap Stefanus mantap. “Aku pernah berhenti jadi pengacara karena trauma... Tapi sekarang aku kembali, untuk suamiku. Aku tidak akan diam saat dia dijadikan kambing hitam.”

Mereka pun mulai menyusun strategi hukum, sementara dari kejauhan, Aditya yang duduk di kursi roda memperhatikan istrinya yang kembali menjadi sosok kuat seperti dulu.

Risa berdiri di ambang pintu kamar rawat Aditya, menatap suaminya dengan penuh kasih. Ia lalu berbalik, menghampiri mama dan papa Aditya yang tengah duduk di ruang tunggu.

"Mama, Papa... tolong temani Mas Aditya sebentar. Aku harus pergi mengurus sesuatu yang penting," ucap Risa dengan nada tenang, tapi sorot matanya menunjukkan tekad kuat.

Mama Aditya berdiri dan langsung memeluk Risa dengan erat.

"Hati-hati, ya, Nak. Kamu adalah kekuatan Mas Aditya sekarang. Apa pun yang kamu lakukan, Mama tahu, kamu pasti bisa."

Risa mengangguk dengan mata berkaca-kaca, lalu menatap papa yang juga memberi anggukan tenang.

Ia pun melangkah keluar rumah sakit, dengan laptop dan berkas-berkas di dalam tas, siap berjuang demi keadilan bagi suaminya.

Di sebuah ruangan rapat yang dingin dan penuh ketegangan, Risa duduk tegak berhadapan dengan tiga orang dimana dua dari pihak otoritas penerbangan dan satu pengacara dari maskapai. Mereka meletakkan setumpuk berkas di atas meja.

"Sesuai hasil investigasi awal, kami menilai Kapten Aditya Wardhana telah melakukan kelalaian yang menyebabkan kecelakaan. Pihak maskapai dan keluarga korban menginginkan kompensasi, atau... penahanan sesuai prosedur hukum internasional," ujar sang pengacara dengan suara datar namun penuh tekanan.

Risa tersenyum kecil. Tatapannya tajam namun tetap tenang.

"Menarik. Tapi sayangnya kalian lupa satu hal penting," ucapnya sambil membuka berkas miliknya.

"Saya bukan hanya istri dari Kapten Aditya. Saya juga seorang pengacara spesialis hukum penerbangan yang... kebetulan kembali dari istirahat panjang."

Semua mata memandangnya dengan ragu.

"Dan saya sangat tahu cara membuktikan bahwa suami saya dijadikan kambing hitam dalam kegagalan sistem kalian."

Wajah pengacara maskapai menegang. Risa menyandarkan punggung dan menatap mereka penuh percaya diri.

"Ayo kita lihat, siapa yang seharusnya benar-benar bertanggung jawab."

Risa berdiri dari kursinya dan melemparkan dokumen bukti ke atas meja. Wajahnya tidak lagi sekadar dingin kini penuh keberanian dan ketegasan.

“Ini adalah hasil investigasi teknis independen dari ahli penerbangan. Mesin kanan pesawat mengalami kerusakan kritis yang seharusnya tidak pernah diizinkan untuk terbang. Namun, pihak maskapai tetap memberi izin. Dengan bukti ini, saya pastikan kecelakaan itu bukan akibat kelalaian suami saya, melainkan sabotase dan kelalaian manajemen penerbangan Anda."

Para pejabat maskapai tampak saling pandang, panik. Sang pengacara mencoba menyela, tapi Risa mengangkat tangan, menghentikannya.

“Kita bertemu di pengadilan. Atau... kalian bisa memilih jalur damai.”

Ia mengambil napas, lalu menatap mereka satu per satu.

“Saya minta kompensasi 10 juta dolar untuk suami saya yang menjadi korban fitnah dan trauma seumur hidup. Dan 100 juta dolar dibagikan kepada seluruh keluarga korban, karena mereka layak mendapat keadilan.”

Langkah Risa keluar dari ruangan disambut sorot mata hormat dari Stefanus yang menunggu di luar.

"Kamu luar biasa, Ris," ucapnya lirih.

"Aku hanya melakukan yang benar," jawabnya.

Stefanus segera menghubungi beberapa perwakilan keluarga korban dan mengatur pertemuan di sebuah ruang komunitas yang netral.

Saat semuanya hadir, Risa berdiri di depan mereka dengan mata yang sedikit berkaca-kaca namun penuh ketegasan.

“Saya tahu kalian kehilangan orang-orang yang kalian cintai,” ucapnya pelan, “dan saya juga hampir kehilangan suami saya. Tapi Aditya tidak bersalah. Ia dipaksa menerbangkan pesawat yang mesinnya sudah rusak.”

Ia membagikan salinan bukti investigasi independen kepada tiap keluarga yang hadir.

“Saya tidak meminta kalian untuk memaafkan. Tapi saya meminta kalian untuk memperjuangkan keadilan yang sebenarnya. Jangan biarkan maskapai menutup-nutupi kebenaran.”

Beberapa keluarga mulai mengangguk. Tangis tertahan terdengar. Salah satu dari mereka berkata,

“Kalau itu benar... kami akan berdiri bersama kalian.”

Sementara itu, di sisi lain, pihak maskapai mengadakan rapat darurat.

Mereka panik, namun tetap berniat menekan Aditya. Seorang petinggi berkata dingin, “Kalau kita kalah, reputasi maskapai hancur. Cari rekam medis Aditya. Cari laporan kinerja. Kita harus menjatuhkannya dengan cara apapun.”

Ketegangan pun semakin meninggi, antara perjuangan Risa dan upaya licik maskapai.

1
kalea rizuky
lanjut
kalea rizuky
lanjut donkkk
kalea rizuky
keren bgt lo ini novel
kalea rizuky
belom bahagia di tinggal mati
kalea rizuky
ris jangan menyia nyiakan masa muda mu dengan orang yg lom selesai dengan masa lalunya apalagi saingan mu orang yg uda almarhum
kalea rizuky
suami dayuz
kalea rizuky
uda gugat aja ris banyak laki lain yg menerima qm lagian masih perawan ini
kalea rizuky
suka bahasanya rapi
kalea rizuky
cerai aja lah ris hidup masih panjang
gojam Mariput
jahatnya aditya
gojam Mariput
suka....
tata bahasanya bagus, enak dibaca
my name is pho: terima kasih kak
total 1 replies
gojam Mariput
awal yang sedih ...
moga happy ending
my name is pho: selamat membaca kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!