Pesona Cinta Kakak Sahabatku

Namanya saja ‘pernikahan’ sudah pasti banyak yang disiapkan, dan tentunya bukan hanya siap materi, tapi juga mental keberanian untuk memulai hidup yang baru.

Hanya dalam hitungan 2 minggu, pernikahan antara Tania dan Kahfi akan dilaksanakan di salah satu gedung pernikahan di kota.

Calon pengantin itu kini sibuk memilih cincin kawin yang akan menjadi tanda sebagai ikatan sekali seumur hidup.

“Yang ini kayaknya bagus, aku suka.” Menunjuk salah satu cincin yang diberikan sang pelayan toko.

Kahfi menimpali dengan anggukkan kepala, seakan ia setuju dengan pendapat gadis itu tentang cincin yang akan menjadi emas kawin.

“Yaudah, Mbak. Kami ambil yang ini, langsung payment ya.” Kahfi berujar, sembari tangannya memberikan sebuah kartu sebagai alat pembayaran.

“Baik, mohon ditunggu Pak.” Pelayan itu pergi, membawa cincin dan juga kartu yang diberikan Kahfi untuk menyelesaikan proses transaksi pembelian.

Sambil menunggu, Kahfi menarik tangan Tania untuk mengajaknya duduk di sofa yang ada disana.

“Abis ini makan dulu ya, kebetulan udah mau jam makan siang juga.” Kata Kahfi usai melirik jam di pergelangan tangannya.

“Oke, Mas!” Balas Tania dengan senyuman merekah.

Kahfi memperhatikan wajah Tania sejenak, dia tersenyum dan masih tidak menyangka jika gadis yang ia sukai akan segera menjadi pasangan hidupnya.

“Lukanya udah nggak sakit kan?” Tanya Kahfi, mengulurkan tangannya guna mengusap bekas luka di kening calon istrinya.

“Iya, udah nggak sakit kok. Tapi bekasnya nanti keliatan banget nggak ya, aku nggak mau jelek waktu nikah.” Ujar Tania, sedikit menekuk wajahnya.

Tania merasa kesal, lagi. Dia suka sekali kesal ketika melihat luka di wajahnya itu adalah penyebab sikap jahat Bobby, sang mantan.

“Memang kamu pernah jelek?” Tanya Kahfi, diselingi tawa kecil.

Kahfi menggenggam tangan Tania yang seputih susu itu, dia kemudian mengusapnya dengan gerakan lembut.

“Kamu selalu cantik, Kintan. Nggak ada yang bisa bilang kamu jelek. Kalo ada yang bilang kamu jelek, saya suruh periksa mata.” Tambah Kahfi.

Tania tersenyum malu, dia hendak menyahut namun pesanan mereka sudah selesai.

Akhirnya Tania dan Kahfi pergi meninggalkan toko emas untuk melanjutkan aktivitas persiapan pernikahan lainnya.

Masalah dekor, makanan sampai hiburan sudah mereka serahkan kepada WO, jadi mereka hanya terima beres.

Kahfi tampak menenteng beberapa belanjaan dengan tangan kiri, sementara tangan lainnya digandeng oleh Tania yang begitu manja.

“Gaun nikahnya kira-kira udah jadi belum ya besok, Mas?” Tanya Tania sambil memperhatikan wajah pria di sebelahnya.

Tania makin mengeratkan pelukan di tangan Kahfi. “Nggak sabar mau pake gaunnya, terus foto deh sambil bikin caption ‘yeay nggak jadi batal nikah, cuma ganti pasangan aja’ lucu kali ya.” Ujar Tania dengan begitu semangat.

Kahfi balas dengan senyuman.

Mereka berdua sampai di tempat percetakan undangan pernikahan, begitu cantik dan terkesan rasa bahagianya. Tentu undangan yang ini Tania memilih lagi bersama Kahfi.

Dulu dia sangat menginginkan satu undangan yang cantik untuk pernikahannya dengan Bobby, namun undangan yang ia pilih malah dipakai orang lain.

Sekarang dia tidak akan membiarkan undangan pilihannya dipakai orang lain lagi, apalagi sampai calonnya yang ganteng dan tajir ini direbut orang lain.

“Gimana, suka sama hasilnya?” Tanya Kahfi.

Tania mengangguk antusias. “Suka banget, lihat undangan online nya juga cantik banget Mas.” Jawab gadis itu dengan riang.

“Yaudah, minggu depan kita bagiin ya undangannya. Sekarang kita pergi, makan dulu yuk.” Ajak Kahfi.

Tania hanya bisa mengangguk, dia kembali menggandeng tangan Kahfi yang membawanya ke salah satu restoran yang ada disana.

Mereka memesan makanan, kemudian mengobrol sambil menunggu pesanan mereka diantarkan.

“Aku seneng banget, bisa ngerasain excited nyiapin pernikahan! Aku pikir aku malah nggak bakal ngerasain ini lagi abis diselingkuhin.” Ujar Tania dengan penuh semangat.

“Kamu ini memang suka sekali berpikir buruk ya, jangan berpikir macam-macam karena takdir udah tau kemana jalannya.” Balas Kahfi, menarik pelan hidup Tania.

“Lagian sayang amat cewek cakep kayak kamu nggak dinikahin.” Tambah Kahfi.

“Mas itu banyak utang cerita lho sama aku.” Ujar Tania tiba-tiba, membuat alis Kahfi terangkat bingung.

Tania berdecak. “Awas aja pura-pura lupa! kita kan bentar lagi nikah, jadi siapin jawaban dari semua pertanyaanku Mas.” Jelas Tania.

“Gampang, semua udah saya siapin.” Balas Kahfi.

“Kamu kenapa sih milih aku buat jadi istri?” Tanya Tania, kali ini wajahnya serius.

“Karena kamu Kintania.” Jawab Kahfi, menatap Tania tak kalah serius.

“Hm, maksudnya?” Kening Tania mengkerut bingung, menuntut penjelasan.

“Ya karena kamu Kintania yang cantik dan ramah, jadinya saya memilih kamu buat jadi istri.” Balas pria itu dengan tenang.

“Alasan kamu ini aneh ih, tapi lucu.” Ujar Tania sembari tertawa pelan.

***

Setelah beres dengan beberapa urusan, Kahfi mengantar Tania pulang ke rumahnya, sedangkan dia harus kembali ke kantor.

“Kamu hati-hati ya, Fi. Jangan ngebut.” Tutur Ayah sembari memberikan tangannya untuk di salam Kahfi.

“Siap, Yah.” Balas Kahfi sopan.

Kahfi kemudian menatap Tania yang masih berdiri di sana sambil memegang belanjaannya.

“Saya berangkat dulu ya, Kintan.” Pamit Kahfi, tangannya mengusap punggung tangan sang calon istri.

“Hati-hati ya, Mas. Nanti kabarin aku kalo udah sampe, biar aku juga tenang.” Tutur Tania, memberikan pesan.

Kahfi mendekat. “Oke, Sayang.” Bisik pria itu di telinga Tania.

Tubuh Tania menegang. Dia menatap Kahfi agak melotot, ingin mengamuk tidak bisa karena ada ayah disana.

“Aku bilangin ayah nanti lho, berani kamu godain anak perawannya!” Bisik Tania mengancam.

“Gih, paling saya didukung.” Balas Kahfi dengan santai.

Fyi, panggilan Tania yang awalnya ‘saya’ menjadi ‘aku’ dan itu adalah keinginan Tania sendiri. Dia hanya berusaha membiasakan diri sebelum menikah.

“Saya pergi ya, bye Kintan!” Ucap Kahfi, kemudian masuk ke dalam mobilnya.

Kahfi yang ada di dalam mobil langsung tancap gas meninggalkan rumah Tania.

Hp Kahfi bergetar dan melihat pesan yang Tania kirimkan, pesan itu hanya ucapan hati-hati, tapi Kahfi sangat senang.

Atensi Kahfi teralihkan pada notif pesan yang muncul saat ia mengetik balas kepada Tania.

“Lo mau nikah, Fi? sumpah lo ninggalin gue kayak gini?”

Kahfi menghela nafas, kemudian memilih untuk mengabaikannya.

WADUUUUUU

Bersambung .....................................................