Alana, gadis SMA yang 'ditakuti' karena sikapnya yang galak, judes dan keras kepala. "Jangan deket-deket Alana, dia itu singa betina di kelas kita," ucap seorang siswa pada teman barunya.
Namun, di sisi lain, Alana juga menyimpan luka yang masih terkunci rapat dari siapa pun. Dia juga harus berjuang untuk dirinya sendiri juga satu orang yang sangat dia sayang.
Mampukah Alana menapaki lika-liku hidupnya hingga akhir?
Salahkah ketika dia menginginkan 'kasih sayang' yang lebih dari orang-orang di sekitarnya?
Yuk, ikuti kisah Alana di sini.
Selamat membaca. ^_^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bulan.bintang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 | Pertemuan pertama
Setibanya di rumah, Alana langsung menuju kamar Hanna dan mendapati sang ibu sudah rapi dengan rambut tergerai sebahu.
"Lho, Mama mau ke mana?" Dia mencium tangan ibunya lalu memeluk erat.
"Wangi bener, ini sebotol dipake semua?" Alana mengerucutkan bibirnya mendapati hal yang tak biasa dalam diri ibunya.
"Mama mau pergi sebentar sama Tante ke kafe. Suntuk di rumah terus, boleh ya?" Hanna mengedipkan sebelah mata lalu tersenyum kegirangan seperti anak kecil mendapat balon, saat Alana mengangguk dan kembali memeluknya.
Lidia masuk sambil menenteng sebuah paper bag, dia menarik Alana untuk mendekat saat Hanna kembali masuk kamar.
"Ini apa-apaan ngajak Mama tanpa aku?" Alana langsung memasang wajah masam, membuat Lidia mencubit pinggangnya.
"Aduuh ... sakit, Tant."
Lidia berbisik pelan, "semalem, Tante denger Papamu ngajak seseorang makan malam di sini, abis itu dia pergi lagi, kalau nggak salah tengah malam dia keluar, Na. Tante nggak tahu siapa tamunya. Cuma buat jaga-jaga aja, Tante bawa Mama kamu pergi dari pada muncul hal-hal yang nggak kita harapkan. Nanti kamu kabarin ya, kami pergi dulu, jangan lupa mandi sama makan. Kecut banget tu ketek." Lidia tertawa lalu beriringan dengan kakaknya menuju mobil yang sudah dia siapkan.
Alana melepas mereka di ambang pintu, lalu menutupnya dan berlari menuju kamar di lantai atas.
Dia melemparkan tas ke atas tempat tidur kemudian masuk kamar mandi untuk bebersih.
Saat dia menatap wajahnya di cermin, tiba-tiba teringat akan amplop biru yang dia dapat. Alana berlari keluar dengan hanya memakai baju handuk, lalu membuka tas mencari benda yang dimaksud.
Na, besok istirahat pertama gue tunggu lo di aula.
Hanya satu kalimat dan pikiran Alana langsung tertuju pada sosok Galih yang belum pernah dia lihat wajahnya sampai saat ini.
"Mungkin ini kesempatan gue buat ketemu dia face to face dan tentu bisa ngobatin rasa penasaran sama dia."
Alana meraih ponselnya dan terkejut saat Sisi melakukan video call.
"Ni anak ngapain pake Vc segala?"
Meski sedikit enggan, dia tetap menekan tombol terima lalu wajah Sisi dan Vio sudah memenuhi layar.
"Haii ketuaaa. Kami sudah siap otw ke rumah nih. Ada sesuatu yang perlu lo liat sendiri. Oke, dandan yang cantik ya."
Belum sempat menjawab, Alana memaki karena panggilan diputus sepihak.
Dengan tangan gemetar karena kedinginan, dia kembali menekan nomor Sisi.
"Nggak usah ke sini, gue ada acara."
Sementara di tempat lain, Sisi dan Vio merasa kesal karena rencana mereka gagal. Keduanya saling lirik, lalu mengangguk.
Mereka menghubungi seseorang yang ingin bertemu dengan Alana, memberikan alasan yang masuk akal lalu kembali menutup panggilan.
"Duh, besok kena marah nggak ya? Gue takut, Vi." Sisi menatap Vio yang segera menjawabnya dengan santai.
"Nggak bakal, kan dia cowok baik-baik."
Mendengar itu, Sisi melotot dan berteriak tepat di telinga sahabatnya.
"Bukan tu cowok yang gue maksud, tapi Alana. A-LA-NA!"
Keduanya terdiam membayangkan hal buruk akan terjadi keesokan hari.
Di waktu yang sama, tepatnya di rumah. Alana tengah menajamkan telinga saat suara orang mengobrol terdengar dari lantai bawah. Dia berdiri dan mengambil ponsel lalu mengetik pesan pada satpam di depan.
Sambil menunggu balasan, Alana meraih novel dan mulai hanyut dalam alur cerita di sana.
Ponsel berdering, suara satpam terdengar dari ujung sana. Dia memberitahukan jika Bastian atau ayah Alana sudah datang bersama seorang laki-laki dan seorang perempuan.
Hari yang dinantikan akhirnya datang, entah karena rasa penasaran yang tinggi atau memang ada hal lain. Alana berangkat sekolah 30 menit lebih pagi dari biasanya. Sampai pak Joko si sopir, merasa heran sekaligus penasaran.
"Non, tumben pagi bener? Biasanya baru bangun." Dia segera mempercepat tangannya yang memegang lap di kaca spion.
"Ada tugas, ayo, Pak. Keburu siang nih." Alana melihat jam tangannya lalu masuk dan duduk manis di kursi penumpang.
Sambil menyimpan barang-barangnya, pak Joko menggerutu membuat tukang kebun turut menimpali,
"Kenapa, pir, sopir? Pagi-pagi udah nyanyi aja."
"Tuh, Non Alana minta dianter sekarang, padahal masih jam segini. Kopiku aja masih utuh belom sempet diminum."
Tiba-tiba keduanya terlonjak kaget karena Alana menekan klakson berkali-kali. Membuat Hanna dan Lidia keluar dengan kening berkerut.
Pak Joko segera berlari dan menyalakan mobil. Tak butuh waktu lama, mereka sudah berada di jalanan kota yang belum begitu ramai.
Sepanjang jalan, Alana terdiam memandang ke luar jendela sembari bibirnya terus tersenyum. Pak Joko hanya menggeleng menatapnya dari spion.
Sampai di sekolah, Alana di sambut satpam di gerbang dengan pertanyaan sama yang tadi dia dengar.
"Mbak Alana, tumben pagi bener?"
Mendengar itu, si gadis buru-buru masuk setelah menjawab. Satpam lain mendekati temannya lalu menatap siswi yang melenggang ke arah kelas.
"Tumben tu bocah, biasanya balapan sama kita di gerbang." Keduanya tergelak, lalu kembali masuk pos karena suasana sekolah memang masih lengang.
Alana duduk di kelas seorang diri, mata tajamnya mengamati bangku-bangku kosong yang siap menemani penghuninya menimba ilmu. Suasana yang masih sejuk dan hening membuat otak Alana sedikit rileks.
Sambil menunggu kelas terisi, dia kembali berkutat dengan novel hingga satu per satu temannya datang dengan wajah keheranan. Menatapnya yang sudah duduk manis dan menjadi orang pertama yang datang di kelas.
Sampailah pada dua orang yang Alana tunggu-tunggu, siapa lagi kalau bukan Sisi dan Vio. Keduanya juga terkejut melihat Alana yang lebih dulu datang dan langsung melambai agar mereka segera mendekat.
Alana tak sabar menantikan bel istirahat berbunyi, berulang kali matanya menatap ke arah pintu hingga tiba saatnya istirahat, dia bergegas pergi tanpa menghiraukan panggilan kedua sahabatnya.
Langkah demi langkah dia lalui perlahan dengan perasaan tak karuan. Berbagai pikiran menari di pelupuk mata membuat Alana mendengus kesal.
Cuma karena cowok? Plis deh, Alana. Lo jangan ngrendahin harga diri kayak gini!
Tepat di depan pintu aula, gadis itu terdiam. Tiba-tiba dia ragu karena perang batinnya sendiri.
Namun di satu sisi, suara lain membuatnya nekat membuka pintu dan melayangkan pandang di ruangan yang kosong itu. Tak ada satu orang pun di sana, tak ada tanda-tanda hembusan napas yang mendekat.
Tuh kan, udah gue bilangin. NGAAK USAH, NA. NGGAK USAH!Batu banget jadi cewek!
Alana menghela napas dan berbalik untuk pergi dari sana. Perasaan dibohongi berbaur dengan rasa rendah diri karena tak mendengarkan kata hati, membuatnya kesal setengah mati.
Namun, baru saja dia hendak membuka pintu, dari luar pintu itu didorong dan ... masuklah seorang cowok yang belum pernah Alana temui selama ini.
"Alana? Akhirnya lo ke sini lagi. Gue nungguin lo, Na." Cowok itu melangkah masuk, membuat tubuh Alana terhipnotis untuk mengekor dan duduk di dekatnya.
"Lo?" Alana kembali terdiam, suaranya seakan berhenti di tenggorokan.
"Oh ya, kita belom kenalan. Gue Galih, Na. Gue udah lama tahu tentang lo, tapi gue yakin kalo lo baru tahu gue. Ya kan?"
Mendengar itu, Alana hanya mengangguk. Dia menatap cowok di sampingnya dengan kening berkerut.
"Lo tahu gue dari mana? Dan lagi, lo ngapain ngikutin gue ke sini?"
Meski dia ingin sekali pergi, namun rasa penasaran membuatnya tetap bertahan untuk memuaskan jiwa kepo-nya.
Galih mulai bercerita tentang dirinya juga tentang Alana yang dia tahu saat tahun ajaran baru. Galih sudah biasa duduk menyendiri di aula yang sunyi itu sejak dia masuk Dirgantara, tepatnya satu tahun lebih awal dari Alana. Keduanya saling mengobrol tanpa menyadari sepasang mata tengah menatap mereka dengan perasaan tak menentu di celah pintu.
Kampret, kenapa ada dia?
*