Terlambat menyatakan cinta. Itulah yang terjadi pada Fiona.
ketika cinta mulai terpatri di hati, untuk laki-laki yang selalu ditolaknya. Namun, ia harus menerima kenyataan saat tak bisa lagi menggapainya, melainkan hanya bisa menatapnya dari kejauhan telah bersanding dengan wanita lain.
Ternyata, melupakan lebih sulit daripada menumbuhkan perasaan. Ia harus berusaha keras untuk mengubur rasa yang terlanjur tumbuh.
Ketika ia mencoba membuka hati untuk laki-laki lain. Sebuah insiden justru membawanya masuk dalam kehidupan laki-laki yang ingin ia lupakan. Ia harus menyandang gelar istri kedua, sebatas menjadi rahim pengganti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syitahfadilah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 16. MAAFKAN AKU
Suara ketukan di balik pintu kamar membuat Fiona tersentak. Mata yang sejak tadi terpejam sembari berzikir itu dengan cepat terbuka. Ia mengusap wajah diiringi helaan nafas panjang. Sudah cukup lama ia duduk di atas sajadah, sejak magrib bahkan ketika ia telah selesai menunaikan sholat isya.
"Non Fio, Bu Agnes memanggil Non turun untuk makan malam." Suara bi Ira terdengar.
"Iya, Bi, sebentar lagi saya turun," sahut Fiona dari dalam kamarnya yang masih tertutup rapat.
Tak ingin membuat sang pemilik rumah menunggu lama, Fiona bergegas merapikan sajadah dan mukenah nya.
Beberapa saat kemudian, baju rumahan dan jilbab instan sudah terbalut rapi di tubuhnya, lalu dengan langkah cepat ia keluar dari kamar dan menuruni satu persatu anak tangga menuju ruang makan.
Fiona berusaha untuk terlihat tenang meskipun dadanya berdebar tidak karuan saat ini. Padahal Teddy bahkan tidak menatapnya sama sekali, lelaki itu tetap fokus pada makanannya. Hanya Agnes yang terus memperhatikannya dengan tatapan datar.
"Maaf, aku agak lama," ujar Fiona saat memasuki ruang makan.
"Gak apa-apa, kami juga baru mulai makan, kok. Ayo duduk," ajak Agnes.
Fiona mengangguk, lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan Agnes. Memulai makan malam dengan suasana yang cukup menyesakkan, dimana ia harus menyaksikan keromantisan sepasang suami istri itu yang sesekali saling menyuapi dan seolah tidak ada dirinya di antara mereka.
"Fio, besok aku mau kamu dan Mas Teddy ke rumah sakit."
Fiona mengangkat pandangan menatap wanita dihadapannya itu dengan kening berkerut. Untuk apa memintanya ke rumah sakit bersama Teddy.
Sementara Teddy, mendadak wajahnya tampak tegang mendengar ucapan istrinya itu.
"Sesuai kesepakatan kita, kamu harus melahirkan anak untuk kami. Maka besok kamu dan Mas Teddy harus...."
"Sayang," selah Teddy sembari menyentuh punggung tangan istri pertamanya itu. "Bahas itunya nanti saja ya, sebaiknya kita makan dulu. Setelah ini kamu juga harus minum obat dan istirahat biar keadaan kamu bisa cepat pulih lagi."
"Tapi, Mas...."
"Kita bahas ini besok saja," ucap Teddy.
Agnes akhirnya mengangguk meski ada perasaan kecewa. Entah kenapa ia merasa suaminya sengaja mengulur waktu untuk melakukan inseminasi itu.
Fiona kembali melanjutkan makan sambil sesekali melirik Agnes, meski penasaran dengan apa yang ingin dikatakan wanita itu tapi ia memilih diam.
Makan malam itupun berakhir tanpa kesan berarti bagi Fiona. Teddy dan Agnes langsung meninggalkan ruang makan dan kembali ke kamar mereka, sementara Fiona memilih untuk membantu bi Ira membersihkan meja makan.
*****
Satu persatu anak tangga mulai Fiona tapaki menuju kamarnya. Namun dipertengahan tangga, kakinya tiba-tiba terdiam kaku saat melihat sosok suaminya. Ia pun menunduk sembari menggenggam erat pegangan tangga. Berusaha meredam detak jantung yang selalu saja berpacu dengan cepat setiap kali berhadap dengan lelaki itu.
Teddy sibuk melihat layar ponselnya, membaca pesan yang dikirim pasiennya untuk berkonsultasi. Langkahnya pun terhenti ketika tersadar telah berdiri di hadapan Fiona yang terlihat menunduk dalam.
Ia terdiam dengan tatapan terpaku pada wanita itu, hatinya seakan diremas-remas menatap wajah sendu Fiona ketika ia mengabaikan istri keduanya itu.
Keadaan ini begitu menyiksa, cinta yang ingin sekali ia musnahkan, justru semakin tumbuh setiap kali melihat wajah Fiona yang dulu begitu ia dambakan. Membuatnya bimbang, ingin adil seperti nasihat kedua orang tuanya tapi ia tidak mau menyakiti perasaan Agnes.
"Tunggu aku di kamar, ada hal yang ingin aku bicarakan sama kamu," ucap Teddy lalu dengan acuh kembali melanjutkan langkahnya menuju dapur hendak mengambil air minum untuk Agnes.
Fiona semakin menggenggam erat pegangan tangga yang terbuat dari besi itu. Dadanya terasa sesak melihat sikap acuh suaminya.
"Kamu berharap apa, Fio? Dia memang mencintaimu tapi itu dulu, sekarang dihatinya sudah tidak ada kamu lagi. Hanya Agnes yang dia cintai sekarang. Kamu hanyalah seseorang yang ditugaskan untuk melahirkan anak untuk mereka," gumamnya pada diri sendiri.
Dengan menahan perih di dada, ia pun kembali melanjutkan langkahnya menuju kamar. Duduk di tepi ranjang dan menunggu sang suami yang katanya ingin membicarakan sesuatu padanya.
Tak berselang lama pintu kamarnya pun terbuka dari luar, Teddy masuk tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu seperti sebelumnya.
Lelaki itu melangkah pelan memasuki kamar istri keduanya, meletakkan segelas air putih di atas nakas lalu duduk di samping Fiona. Mengeluarkan sebuah amplop berlogo rumah sakit dari saku piyama yang ia ambil di ruang kerjanya setelah ke dapur mengambil air putih, lalu memberikannya pada Fiona.
"Ini apa, Mas?" tanya Fiona.
Teddy tampak menarik nafas dalam-dalam sebelum berbicara. "Agnes meminta kita untuk melakukan inseminasi, dan itu adalah surat pernyataan bahwa kita telah melakukannya."
Fiona tersentak, ia mengalihkan pandangannya dari amplop itu pada suaminya. Namun, tak ada satu katapun yang mampu ia ucapkan, dan hanya menatap sang suami dengan tatapan menuntut.
"Aku minta maaf soal kejadian malam itu. Sepertinya aku sudah terburu-buru bertindak sebelum Agnes memutuskan," ucap Teddy dengan lirih.
Setetes carian bening jatuh membasahi pipi Fiona detik itu juga. Nafasnya seketika memburu mendengar penuturan suaminya itu. Amplop berlogo rumah sakit yang ada ditangannya jatuh begitu saja.
Ia memang hanyalah seorang rahim pengganti, tapi bukan berarti harga dirinya harus dipermainkan seperti ini. Bahkan dengan mudahnya Teddy meminta maaf setelah mengambil kesuciannya, sesuatu yang seharusnya ia persembahkan pada Damar selaku calon suaminya, tapi ia serahkan secara sukarela pada Teddy untuk menebus rasa bersalahnya pada Agnes.
"Keluar dari kamarku, Mas!" ucap Fiona dengan suara bergetar.
Teddy memalingkan wajahnya, tak sanggup melihat air mata istri keduanya itu. Ia pun lalu berdiri sembari membuang nafas berat.
"Besok kita tetap harus pergi untuk lebih meyakinkan Agnes bahwa kita telah melakukan inseminasi itu. Dan setelah pulang, berikan surat pernyataan itu padanya," ucapnya lalu mengambil segelas air putih yang ia letakkan di atas nakas dan gegas keluar dari kamar itu.
Ia bersandar di daun pintu yang baru saja ditutupnya. Isakan Fiona masih terdengar dan menciptakan sesak di dada.
"Maafkan aku, Fio," gumamnya lalu segera kembali ke kamar yang ia tempati bersama Agnes.
Istrinya pertamanya itu tersenyum saat melihatnya datang. "Kenapa lama, Mas?"
"Maaf, tadi aku ke ruang kerja dulu," jawab Teddy sembari memberikan segelas air putih itu pada Agnes.
Wanita itupun meneguk air putih itu hingga setengahnya lalu meletakkan gelasnya di atas nakas samping tempat tidurnya.
"Mas, please besok ajak Fiona ke rumah sakit ya? Aku mau inseminasi itu segera dilakukan!" Agnes menatap suaminya penuh harap.
Teddy pun mengangguk. "Iya, besok aku ajak Fiona ke rumah sakit."
Agnes pun tersenyum senang. "Aku udah gak sabar nunggu hasilnya, Mas. Setelah anak itu lahir nanti, kita bertiga akan hidup bahagia."
Teddy hanya menanggapinya dengan senyuman tipis. Entah bahagia itu akan ia rasakan atau tidak setelah anak itu lahir, mengingat Fiona harus pergi dari hidupnya setelah memberikannya keturunan.
*****
KELEAN YANG LAGI PADA SAKIT ULU HATI, SABAR YA, AKAN SEMBUH KOK PADA WAKTUNYA 🤭🤭🤭
untuk Agnes jgn jadi jahat, kena kamu yg mau fio menikah SM suamimu
tambah lagi up nya thor