“Jika mencintaimu adalah dosa, biarkan aku berdosa selamanya.”
Sejak ayahnya menikah lagi, hidup Davina terikat aturan. Ia hanya boleh ke mana pun ditemani Kevin, abang tiri yang dingin, keras, dan nyaris tak tersentuh.
Delapan belas tahun bersama seharusnya membuat mereka terbiasa. Namun siapa sangka, diam-diam Davina justru jatuh pada cinta yang terlarang … cinta pada lelaki yang seharusnya ia panggil 'abang'.
Cinta itu ditolak keluarganya, dianggap aib, dan bahkan disangkal Kevin sendiri. Hingga satu demi satu rahasia terbongkar, memperlihatkan sisi Kevin yang selama ini tersembunyi.
Berani jatuh cinta meski semua orang menentang? Atau menyerah demi keluarga yang bisa menghancurkan mereka?
Sebuah kisah terlarang, penuh luka, godaan, dan cinta yang tak bisa dipadamkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mama reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab Dua Belas
Setelah makan malam, para orang tua berkumpul di ruang keluarga sedangkan Davina, Shaka dan Kevin lebih memilih di taman belakang.
"Kamu setuju dengan pertunangan ini?" tanya Kevin saat Shaka masuk untuk mengambil minum.
"Aku rasa ini yang terbaik, Bang. Bukankah Abang juga akan menikah dengan Kak Tia!" seru Davina.
"Kalau aku membatalkan pertunangan dengan Tia, apa kamu mau menolak perjodohan ini?" tanya Kevin.
Davina terkejut mendengar pertanyaan abang tirinya itu. Dia lalu memandangi wajah Kevin dengan intens. Belum sempat dia menjawab, Shaka datang membawa dua gelas jus jeruk.
"Ini untukmu, Davi!" Shaka lalu menyerahkan gelas tersebut. Dia lalu tersenyum dengan Kevin.
"Aku dengar selama ini Bang Kevin yang selalu menemani kemanapun Davina pergi. Mulai hari ini biar tugas itu aku yang ambil," ucap Shaka.
Mendengar ucapan Shaka, Kevin menatap dengan tajam ke arah pria itu. Seperti tak suka dengan ucapannya.
"Kenapa jadi kau yang mengambil alih semua itu?" tanya Kevin dengan nada datar.
Shaka tersenyum mendengar pertanyaan abang tiri Davina itu. Dia lalu menjawab dengan suara pelan, "Sebagai calon tunangannya, aku juga ingin menjadi pelindung dan menemani hari-harinya Davina!"
"Kau baru calon tunangannya. Bisa saja itu batal. Kau tak ada hubungan apa pun dengan Davina. Jangan sok mau menguasai'nya!" seru Kevin dengan nada penuh penekanan.
Shaka kembali tersenyum. Namun, kali ini senyumnya tampak penuh arti. "Kalau begitu, kita tanya Davina saja, siapa yang dia inginkan untuk menemaninya kemana dia pergi!"
Kevin lalu memandang ke arah adik tirinya itu. Dia berharap Davina memilihnya. Dia juga yakin adiknya itu pasti lebih nyaman dengannya. Davina tak mudah akrab dengan pria, dalam hidupnya hanya dia dan sang papa, laki-laki yang kenal dan dekat dengannya.
"Bagaimana Davi, kamu mau aku yang temani atau Abang Kevin?" tanya Shaka.
Davina yang tadi menunduk, mengangkat wajahnya. Dia memandangi Shaka dan Kevin secara bergantian. Lalu menjawab dengan suara pelan, "Mulai besok aku mau Shaka saja yang menemani. Abang bisa fokus bekerja. Bukankah perusahaan sekarang Abang yang pimpin."
Jawaban yang Davina berikan cukup mengejutkan bagi Kevin. Sedangkan Shaka tampak tersenyum mendengarnya. Senyuman yang penuh makna.
Kevin terdiam cukup lama setelah mendengar jawaban Davina. Matanya menatap gadis itu lekat-lekat, seolah ingin memastikan apa yang baru saja dia dengar benar adanya. Ada rasa aneh yang menyeruak di dadanya, semacam kecewa, tapi juga tidak bisa dia jelaskan.
“Oh, jadi sekarang kamu lebih nyaman sama dia daripada sama Abang, ya!” ucap Kevin dengan nada setengah bercanda, tapi jelas terdengar getir.
Davina tersenyum canggung, menunduk. “Bukan begitu, Bang. Aku cuma nggak mau terus ngerepotin Abang. Lagipula, Shaka juga sekarang calon tunanganku. Aku harus mulai terbiasa, kan?”
Shaka tersenyum kecil, menatap Davina dengan lembut, tapi jelas sorot matanya penuh kemenangan. “Aku janji bakal jagain Davi baik-baik, Bang Kevin. Jadi nggak usah khawatir.”
Kevin tertawa kecil, tapi tawanya terdengar kering. “Jagain, ya? Hati-hati aja kalau sampai dia kenapa-kenapa. Aku nggak segan datang sendiri buat ngingetin kamu.”
Shaka menegakkan tubuhnya. “Tentu. Aku tahu batasnya.”
Suasana mendadak jadi canggung. Hanya suara jangkrik dan gemericik air dari kolam kecil di taman yang terdengar. Angin malam berhembus pelan, membawa aroma bunga melati yang baru mekar.
Davina lalu berdiri. “Udah malam. Aku masuk dulu, ya. Besok masih harus ke butik sama Mama.”
Shaka cepat-cepat ikut berdiri. “Aku antar ke dalam.”
Kevin menatap keduanya berjalan menjauh. Punggung Davina yang dulu terasa begitu akrab kini terasa semakin jauh. Ada perasaan kehilangan yang tiba-tiba menyesakkan dada.
Saat pintu geser tertutup, Kevin mendesah panjang. Ia menatap langit malam yang penuh bintang, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut.
“Kalau memang ini pilihanmu, Davi,” gumamnya pelan, “Semoga kamu nggak nyesel.”
Namun di balik kata-kata itu, terselip rasa sakit yang tak bisa ia sembunyikan, perasaan yang selama ini berusaha ia kubur dalam-dalam, tapi malam itu mulai bangkit lagi, perlahan namun pasti.
**
Pagi itu suasana meja makan terasa berbeda. Biasanya selalu ramai oleh canda ringan atau obrolan kecil, tapi kali ini yang terdengar hanya bunyi sendok dan garpu beradu dengan piring.
Davina duduk di seberang Kevin, menunduk sambil sesekali mengaduk jus jeruknya yang sudah hampir habis. Kevin di sisi lain tampak sibuk dengan roti dan gawainya.
Ema memperhatikan keduanya dari ujung meja. “Kalian kenapa diam aja? Biasanya pagi-pagi udah ribut soal apa saja."
Davina hanya tersenyum tipis. “Nggak apa-apa, Ma. Cuma masih ngantuk.”
Kevin menatap sekilas ke arah Davina, lalu kembali ke gawai tanpa berkata apa pun. Tatapan itu cepat, tapi cukup untuk membuat Davina menunduk lagi.
Tak lama kemudian, Papa Robby muncul dari arah ruang kerja sambil membawa map berisi beberapa berkas. “Oh iya, Davi,” katanya sambil duduk di kursi utama. “Mulai besok kamu kerja di perusahaan, ya. Bantu Kak Kevin di bagian desain dan promosi. Sekalian belajar sistem perusahaan.”
Davina mengangkat wajahnya, agak terkejut. “Kerja di perusahaan? Tapi Pa ....”
“Sudah, nggak usah tapi-tapian,” potong Robby sambil tersenyum. “Kamu kan lulusan desain komunikasi visual, pas banget. Biar bisa bantu Kakakmu juga.”
Ema menimpali lembut, “Bagus itu, Nak. Daripada di rumah terus, kamu bisa belajar hal baru.”
Semua mata kemudian tertuju pada Kevin yang sejak tadi diam. “Kev, kamu nggak keberatan kan?” tanya Papa Robby.
Kevin meletakan gawainya di atas meja. Tatapannya datar, suaranya tenang tapi terasa dingin. “Enggak, Pa. Silakan aja kalau Davina mau kerja di sana.”
Setelah itu, dia bangkit dari kursinya, mengambil jasnya yang tergantung di kursi, lalu berkata singkat, “Aku berangkat dulu.”
“Loh, sarapannya belum habis, Nak,” ujar Ema.
“Sudah cukup, Ma." Kevin lalu berjalan pergi tanpa sedikit pun menoleh ke arah Davina.
Begitu suara mobilnya menjauh, ruang makan kembali sunyi. Ema dan Robby saling pandang, sama-sama heran.
“Ada apa sih sama Kevin?” tanya Mama Ema pelan. Robby menatap Davina yang masih diam menunduk, jari-jarinya memainkan sendok tanpa arah.
“Davi …,” panggil Robby dengan suara pelan namun penuh makna, “Papa tanya, sebenarnya ada apa di antara kalian berdua?”
tega niat ibunya Kevin, Davina suruh nanggung sendiri akibatnya
semangatttt kev dg penuh tggjawab, abaikan sementara mamamu itu, yg egois🤭 aslinya ibu tiri sdh Nampak