Namaku Arian. Usia? Ya... paruh baya lah. Jangan tanya detail, nanti aku merasa tua. Yang jelas, aku hidup normal—bekerja, makan, tidur, dan menghabiskan waktu dengan nonton anime atau baca manga. Kekuatan super? Sihir? Dunia lain? Aku suka banget semua itu.
Dan jujur aja, mungkin aku terlalu tenggelam dalam semua itu. Sampai-sampai aku latihan bela diri diam-diam. Belajar teknik pedang dari video online. Latihan fisik tiap pagi.
Semua demi satu alasan sederhana: Kalau suatu hari dunia ini tiba-tiba berubah seperti di anime, aku mau siap.
Konyol, ya? Aku juga mikir gitu… sampai hari itu datang. Aku bereinkarnasi.
Ini kisahku. Dari seorang otaku paruh baya yang mati konyol, menjadi petarung sejati di dunia sihir.
Namaku Arian. Dan ini... awal dari legenda Raja Arlan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BigMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 2 - Tur Istana, Amnesia, dan Fakta-Fakta Meneybalkan
Pagi di istana ternyata... ribut juga. Kupikir istana kerajaan itu penuh keheningan, dengan para pelayan bergerak pelan-pelan sambil bisik-bisik. Ternyata aku salah besar.
“SELAMAT PAGI, TUAN MUDAAAAAA!!!”
Lyra membuka tirai jendela seperti mau membuka panggung drama.
Cahaya matahari menerobos masuk seperti laser surgawi, dan aku meringis seperti vampir yang baru kena lampu senter.
“Hyaaa... silau...”
“Oh, bagus! Masih bisa ngomel. Berarti masih hidup!”
Aku menarik selimut menutupi wajah. Tapi percuma. Detik berikutnya, Lyra duduk di sisi ranjang sambil menyodorkan segelas air jeruk herbal.
“Minum. Katanya bagus buat sistem kekebalan tubuh.”
“Katanya siapa?”
“Tabib. Dan tukang jamu langganan saya di pasar belakang. Pokoknya, minum.”
Aku meneguknya perlahan. Rasanya... kayak air jeruk yang pernah nyemplung ke kebun tanaman obat. Tapi anehnya, tubuhku jadi sedikit segar.
“Bagaimana perasaan Anda hari ini?” tanya Lyra sambil memiringkan kepala. “Masih pusing? Masih bingung? Masih amnesia setengah-setengah?”
Aku nyaris nyembur minuman.
“Eh, kau masih yakin aku kena amnesia?”
“Ya iyalah!” katanya cepat. “Tuan Muda nggak ingat saya, nggak tahu ulang tahun sendiri, bahkan sempat nanya ‘itu siapa’ waktu lihat cermin kemarin malam!”
Itu karena aku kaget wajah Arlan terlalu tampan, tapi ya sudahlah...
“Kalau memang begitu,” kataku sambil pura-pura polos, “boleh dong kau bantu aku... mengingat-ingat lagi. Hal-hal penting. Dunia ini. Orang-orangnya. Yang perlu aku tahu.”
Lyra menatapku curiga, tapi lalu matanya berbinar.
“OH, INI KESUKAAN SAYA!”
Aku langsung menyesal.
Beberapa menit kemudian, aku sudah diseret keluar kamar dengan jubah tebal melingkar di bahu dan sepatu beludru yang terlalu empuk buat dipakai jalan.
Tapi karena tubuh ini lemah, aku bahkan belum kuat berdiri lama. Untungnya, Lyra sudah siap dengan—aku tak percaya aku akan mengucapkan ini—kursi roda mewah berlapis emas ringan.
“Siap-siap ya, Tuan Muda. Kita akan keliling sayap timur istana. Edisi terbatas, tur pemulihan plus edukasi kilat untuk para pewaris tahta dengan ingatan samar-samar!”
“…Itu terlalu spesifik untuk nama paket tur.”
“Kami profesional.”
Dan begitulah, aku digiring menyusuri koridor istana.
Poin Pertama: Dapur Kerajaan.
“Astaga! Tuan Muda!!” seru kepala dapur, seorang pria besar dengan celemek penuh tepung. “Maafkan kami soal bubur kemarin!”
“Tenang, aku tidak dendam pada bubur.”
“Oh syukurlah! Kami sudah siap bawa tabib spiritual kalau Tuan Muda kesurupan makanan.”
Setelah beberapa obrolan ringan, dan Lyra menyelinap mengambil kue tar yang katanya "untuk camilan pemulihan", kami melanjutkan tur.
Poin Kedua: Halaman Pelatihan Para Ksatria.
“Kau tahu, Tuan Muda,” Lyra mulai berbisik, “dulu Anda selalu menghindar dari tempat ini. Katanya... terlalu berisik.”
Arlan yang lama lemah fisiknya. Itu cocok. Tapi bagiku? Aku justru tertarik.
Aku menatap ksatria-ksatria berlatih pedang dan sihir. Ada satu yang menarik—seorang perempuan muda dengan armor ringan dan rambut pendek. Gerakannya cepat, mantap. Seperti sedang menari dengan pedangnya.
Siapa dia? Seorang pengawal elit?
“Eh, siapa yang itu?” tanyaku.
“Dia? Itu Sir Kaela. Ksatria kerajaan. Top lima di generasinya! Dulu katanya Anda takut dia... karena dia pernah membuat pintu kamar Anda terbelah dua pakai sihir petir waktu Anda dikunci dari dalam.”
“…Kedengarannya... wajar aku takut.”
“Memang!”
Poin Ketiga: Ruang Penasehat dan Politik... yang Membosankan.
“Di balik pintu ini, semua rencana kerajaan dibuat,” bisik Lyra. “Dan juga... tempat para penasehat suka debat tiga jam soal warna taplak meja pesta musim gugur.”
“Menarik.”
“MENYEBALKAN.”
Kami tidak masuk. Syukurlah.
Poin Keempat: Galeri Keluarga Kerajaan.
Di ruangan panjang penuh lukisan dan patung, kami berhenti sejenak. Lyra menunjuk satu demi satu.
“Itu Raja Argus muda. Waktu dia masih petarung arena. Itu permaisuri... ibunda Anda. Dan ini—” Dia menunjuk patung kecil. “Anda. Waktu umur lima tahun. Lucu banget, kan? Pipi Anda kayak roti sobek.”
Aku memandangi patung itu lama.
Lucu, ya? Entah kenapa... aku tidak merasa apa-apa.
“Lyra,” kataku pelan. “Ibu... masih ada?”
Dia terdiam.
“Tidak,” jawabnya akhirnya. “Beliau wafat tujuh tahun lalu. Sejak itu... Raja berubah.”
Aku menunduk pelan. Bukan karena aku sedih... tapi karena aku mulai paham. Kenapa Arlan kecil mungkin tumbuh kesepian. Kenapa Lyra bisa sedekat ini dengannya. Dan kenapa aku... menggantikan dia di dunia ini.
Saat kami kembali ke kamar, langit sudah berubah oranye. Aku merasa seperti habis berpetualang seharian, padahal cuma keliling satu sisi istana.
Lyra membantuku turun dari kursi roda, lalu merapikan bantal-bantal dan menyodorkan teh hangat yang baunya... lumayan enak.
“Jadi,” katanya sambil duduk di kursi dekat jendela. “Sudah lebih... terbiasa?”
Aku menatap ke luar. Kota Argandia terbentang di kejauhan. Menara-menara, jalanan batu, dan cahaya lentera yang mulai menyala satu per satu.
“Sedikit,” jawabku jujur.
“Yah, jangan khawatir. Saya akan bantu Tuan Muda... sampai ingatan Anda benar-benar pulih.”
Aku tersenyum kecil. “Mungkin... aku tidak ingin semua ingatan itu kembali.”
Lyra mengerutkan alis. “Kenapa?”
Aku memandangnya.
“Karena mungkin... hidup baru lebih pantas dijalani kalau kita bisa memilih bagian mana yang mau kita simpan, dan mana yang bisa kita tinggalkan.”
Dia menatapku lama. Lalu tersenyum. “Kalau begitu... kita mulai dari yang baru. Saya akan jadi pelayan pertama yang bantu Anda membangun hidup baru. Deal?”
“Deal.”
Dan untuk pertama kalinya hari itu... bukan senyum karena basa-basi. Tapi karena aku benar-benar merasa sedikit... lega.
Dunia ini masih asing. Tubuh ini lemah. Dan masa depan? Penuh tanda tanya.
Tapi kurasa... dengan pemandu seperti Lyra, aku tidak akan tersesat.
Belum.
Tapi siapa tahu besok?
Aku memandangi cangkir teh yang sudah setengah dingin di tanganku.
“Lyra.”
“Hm?”
“Kalau aku ingin keluar istana... maksudku, benar-benar keluar. Ke kota. Bisa nggak?”
Dia menatapku dengan ekspresi kaget yang nyaris lucu.
“Ke kota? Sendiri?”
“Ya... atau nggak sendiri. Tapi... aku ingin lihat dunia ini. Dengan mataku sendiri.”
Lyra menggigit bibir, ragu. “Itu... agak sulit. Raja belum tentu mengizinkan. Dan tubuh Anda... belum tentu kuat.”
Aku tersenyum kecil. “Tapi bukan berarti mustahil, kan?”
Dia terdiam, lalu menghela napas panjang.
“Tuan Muda, Anda baru bangun dari koma enam hari. Jalan lima langkah aja ngos-ngosan. Dan sekarang mau petualangan ke luar istana? Kenapa nggak sekalian minta terbang ke bulan?”
“Aku cuma mau tahu... dunia macam apa yang sedang kutinggali sekarang.”
Dia menatapku lama, lalu berdiri dan mulai membereskan nampan.
“Kalau begitu...” katanya sambil menoleh, “mulailah dari mimpi kecil. Tapi siap-siap. Dunia di luar sana... tidak semanis teh jahe ini.”
Dia keluar dari kamar, dan pintu tertutup pelan.
Aku mendongak, menatap langit yang mulai menggelap.
Dan entah kenapa... firasatku bilang, petualangan kecil itu mungkin akan datang lebih cepat dari yang kupikirkan.
Atau lebih tepatnya... petualangan itu sedang menuju ke arahku.