Raisa, gadis malang yang menikah ke dalam keluarga patriarki. Dicintai suami, namun dibenci mertua dan ipar. Mampukah ia bertahan dalam badai rumah tangga yang tak pernah reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
16
Setelah kejadian itu, Raisa belum pernah kembali ke rumah mertuanya. Ia justru semakin sering berkunjung ke rumah iparnya, Risma. Meskipun suami iparnya itu pernah membuatnya sakit hati, Raisa mengesampingkan semuanya. Ia lebih merasa kasihan pada Risma.
"Mas, aku izin ke rumah orang tua Risma, ya?" ucap Raisa saat suaminya hendak berangkat kerja.
Iwan mengangguk pelan dengan senyum manisnya. Ia mengelus rambut istrinya dengan lembut, tak lupa mengecup keningnya.
Setelah suaminya pergi, Raisa bersiap-siap untuk pergi.
Ia turun dari motornya sambil menenteng buah-buahan segar yang sempat ia beli di supermarket. Sekarang keuangannya sudah membaik, bahkan ia sedang menabung untuk membangun rumah.
"Assalamualaikum..." ucapnya lembut sambil mengetuk pelan pintu rumah orang tua iparnya.
Ceklek...
Pintu terbuka lebar. terlihat lah wajah Risma yang awalnya lesu, berubah menjadi ceria.
"Raisa!" panggilnya dengan senyum berseri-seri.
"Apa kabar, Ris? Maaf aku baru sempat ke sini," jawab Raisa sambil memeluk Risma erat.
Mereka masuk ke dalam rumah, bergandengan tangan seperti kakak adik kandung.
Saat mereka sedang asyik bercanda dan tertawa, ponsel Risma tiba-tiba berdering pertanda ada seseorang yang menelepon. Risma tertegun saat melihat nama suaminya tertera di layar. Ia menatap Raisa, dan Raisa hanya mengangguk pelan sebagai isyarat.
Dengan berat hati, Risma mengusap tombol hijau. Ia juga menekan tombol speaker agar Raisa bisa mendengar apa yang akan dikatakan oleh suaminya.
"Halo, sayang..." suara Udin terdengar dari seberang sana, dengan nada yang begitu manis.
Raisa spontan menaikkan satu alis, menatap heran, bahkan sedikit jijik. Pasalnya, selama Risma sakit, baik Udin maupun mertuanya tak pernah datang menjenguk.
"Halo, Mas," jawab Risma singkat dengan wajah yang tampak masam.
"Apa kamu sudah sembuh? Mas rindu kamu, sayang. Ada yang ingin mas bicarakan. Apa boleh mas ke sana?" ucap Udin dengan sangat hati-hati dan lembut.
Raisa langsung siaga. Ia tak ingin bertemu dengan Udin, maka perlahan ia mulai bangkit dari duduknya. Namun Risma dengan cepat menahan tangan iparnya itu. Raisa menatapnya heran. Risma menggeleng pelan. Akhirnya Raisa kembali duduk, memberikan anggukan kecil sebagai tanda ia mengerti.
"Bicarakan saja di sini, Mas," jawab Risma tegas.
Raisa tersenyum tipis. Akhirnya, Risma berubah. Ia mulai berani bersikap tegas dan membela dirinya sendiri terhadap suaminya itu.
"Kamu ingat Bos Endro? Dia menyuruh kita untuk bekerja lagi di tempatnya. Kalau kamu mau, kita bisa berangkat bersama. Kita bisa menabung di sana dan kumpulkan uang sebanyak-banyaknya," ucap Udin dengan suara penuh semangat.
"Tapi, Mas... aku baru saja pulih," sela Risma cepat. Wajahnya tampak ragu dan bingung. Raisa, yang tidak begitu memahami maksud pembicaraan mereka, hanya bisa diam dan memperhatikan ekspresi wajah iparnya itu.
"Kita mulai bangkit lagi, Sayang. Mas janji akan bekerja lebih giat demi kamu. Ayo ikut mas ke tempat Bos Endro. Uangnya nanti kita tabung," bujuk Udin dengan nada yang sangat lembut.
"Nanti aku pikir-pikir dulu ya, Mas. Kalau aku sudah menemukan jawabannya, aku akan menelepon Mas," jawab Risma dengan suara ragu.
Tanpa menunggu balasan, Risma segera menutup telepon secara sepihak.
Risma terlihat sangat murung. Pikirannya berkecamuk, dan ia benar-benar bingung harus berbuat apa sekarang. Ponsel di tangannya digenggam erat. Di satu sisi, ia masih sangat mencintai suaminya. Namun di sisi lain, ia menyimpan luka yang begitu dalam akibat perlakuan sang suami dan keluarganya.
"Aku harus bagaimana, Sa?" tanyanya lirih, menatap lantai dengan tatapan kosong penuh kebingungan.
"Semua jawaban ada pada dirimu, Ris," jawab Raisa dengan lembut, sambil mengelus pelan pundak iparnya itu sebagai bentuk dukungan.
Malam hari...
Di dalam kamar, Raisa dan Iwan tengah asyik mengobrol, membicarakan tentang masa depan dan tabungan mereka. Tiba-tiba, Iwan mengubah posisinya, kini berhadapan langsung dengan sang istri. Wajahnya tampak ragu.
“Ada apa, Mas?” tanya Raisa heran, karena melihat ekspresi suaminya yang mendadak berubah menjadi kusut.
“Saat Mas pulang kerja tadi, Mas sempat mampir ke rumah Ibu,” ucapnya pelan, nadanya sangat hati-hati.
“Lalu?” tanya Raisa, keningnya berkerut bingung.
“Ibu minta kita datang ke sana besok. Tenang aja, bukan cuma kita berdua kok. Ada yang lain juga,” jawab Iwan agak tergesa, seolah takut kalau istrinya akan langsung menolak.
Raisa memalingkan pandangannya. Dalam hati, dia sangat malas jika harus pergi ke rumah mertuanya. Namun di sisi lain, ia juga merasa tak enak hati untuk menolak permintaan suaminya.
“Baiklah, Mas…” jawabnya singkat dan lesu.
“Terima kasih ya…” sela Iwan cepat, senyum mengembang di wajahnya.
Raisa hanya mengangguk pelan, tanpa senyum sedikit pun.
“Mas, aku ngantuk. Aku tidur duluan ya,” ucapnya, lalu membalikkan badan, membelakangi suaminya tanpa menunggu jawaban.
Sebenarnya, Raisa belum mengantuk. Masih banyak yang ingin ia ceritakan pada suaminya malam itu. Namun sejak mendengar ajakan Iwan untuk ke rumah mertuanya, suasana hatinya langsung berubah.
Esok paginya, Raisa dan Iwan sudah bersiap untuk berangkat. Sebelum pergi, Raisa sempat berpamitan terlebih dahulu pada ibunya.
Setelah menempuh perjalanan selama 30 menit menuju rumah mertuanya, akhirnya mereka tiba.
"Assalamualaikum," ucap Raisa dengan lembut. Ia memang selalu membiasakan diri untuk mengucap salam setiap kali memasuki rumah orang lain.
Semua yang ada di dalam rumah menoleh. Ternyata, seluruh anggota keluarga sudah berkumpul di sana.
Raisa segera duduk di samping Risma. Namun, Risma tidak menoleh sedikit pun. Ia hanya menggeser posisi duduknya, seolah ingin menjaga jarak.
Raisa menatapnya bingung, tak mengerti perubahan sikap iparnya itu.
"Sudah kumpul ya semuanya," ucap Atun, ibu mertua Raisa, mengalihkan pandangan dari arah Raisa.
Raisa hanya bisa menunduk, hatinya penuh tanda tanya. Ia benar-benar bingung, ada apa sebenarnya hingga seluruh keluarga dikumpulkan.
"Ada apa sih, Bu? Kenapa kami semua dikumpulkan di sini?" tanya Sari dengan nada bingung.
"Begini... Udin dan Risma akan pergi lagi ke Merak untuk bekerja dengan Bos Endro," jawab Atun dengan lantang dan tanpa basa-basi.
Semua orang saling pandang, termasuk Raisa. Ia menoleh ke arah Risma, berharap mendapat penjelasan. Tapi Risma hanya diam, tak berani menatap satu per satu orang yang ada di sana. Di sebelah Risma, Udin duduk santai tanpa rasa malu sedikit pun.
"Lalu... apa hubungannya dengan kami, Bu?" tanya Sari lagi, masih dengan wajah bingung. Dari semua anak, hanya Sari yang sejak tadi aktif merespon ucapan sang ibu.
"Ya, kalian ini kan kakak dan adik yang baik. Seharusnya ikut membantu, kasih ongkos buat Udin," ucap Atun enteng, seolah itu hal yang sangat wajar.
"Lho, kenapa harus kami, Bu?" akhirnya Dewi, menantu kesayangan Atun, ikut bersuara.
Atun hanya menoleh sekilas ke arah Dewi lalu berkata, "Ya iyalah, kalian kan keluarganya. Masa mau minta tolong ke orang lain?"
"Memangnya berapa, Bu?" tanya Iwan yang mulai merasa tak enak dengan suasana itu.
"Enggak banyak kok. Satu orang cukup kasih dua juta," jawab Atun begitu saja, seolah meminta uang segitu hal sepele.
Semua orang tampak terperangah, termasuk Raisa. Ia kembali menatap Risma, berharap iparnya akan bersuara, tapi Risma malah mengalihkan pandangan. Raisa benar-benar tidak percaya. Ia hanya bisa menggeleng pelan.
"Yang benar saja, Bu? Masa minta dua juta?" ucap Raisa akhirnya, mulai membuka suara.