Kania gadis remaja yang tergila-gila pada sosok Karel, sosok laki-laki dingin tak tersentuh yang ternyata membawa ke neraka dunia. Tetapi siapa sangka laki-laki itu berbalik sepenuhnya. Yang dulu tidak menginginkannya justru sekarang malah mengejar dan mengemis cintanya. Mungkinkah yang dilakukan Karel karena sadar jika laki-laki itu mencintainya? Ataukah itu hanya sekedar bentuk penyesalan dari apa yang terjadi malam itu?
"Harusnya gue sadar kalau mencintai Lo itu hanya akan menambah luka."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jaena19, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
enam belas
" Rel, ayo ih!"
" Gak!"
"Sekali-kali makan di resto fast food! Lo mabok Mulu emang gak bos-"
Fabian berdesis jengkel. Memang yang namanya Karel itu menyebalkan ya. Selalu bersikap semaunya seakan dirinya sebuah pemimpin kerajaan.
"Om Praja!"
Teriakan menggelegar yang bukan keluar dari kedua bibir laki-laki itu berhasil mengalihkan perhatian mereka. Sejujurnya tanpa menoleh pun mereka sudah tahu siapa pemilik suara itu. Tapi karena memang refleks akan teriakan yang mengganggu telinga itu, maka keduanya menoleh bersamaan pada satu titik.
"Berisik! Karel berdesis tidak suka.
Kelebihan ikut berdesis. Bukan untuk si pemilik suara yang barusan berteriak. Melainkan pada Karel yang kembali memulai peperangan.
Laras, gadis jangan pakaian minimnya yang baru saja melewati ruang tengah jangan santai itu akhirnya mendelik. Yang dipanggil Praja, kenapa uang menyaut laki-laki sok tampan itu.
"Nggak ada urusannya sama lo ya!" berang Laras sinis.
" Lo teriaknya di rumah gue, urusan gu-"
" Berisik!" Harus kembali menggaram tidak suka. Suasana hatinya sudah berantakan karena kakak kelas yang tidak ia kenal mempermalukannya di sekolah tadi, dan sekarang Karel kembali menguji kesabarannya.
Fabian tergelak, padahal yang awalnya berteriak adalah Laras, tapi gadis itu juga yang mencibir tidak suka.
"Bian, Om Praja mana?" Laras bertemu kemudian. Biarkan saja jika kenyataannya ia mengacuhkan Karel. Lagipula Karel sedang tidak ada gunanya saat ini.
Fabian menggelengkan kepalanya. " Belum pulang kalau," balasnya ragu. " Bukan gue anaknya," lanjutnya.
Jangan tanyakan mengapa ia tidak meminta kepada Jaya yang statusnya papanya sendiri. Karena kenyataannya, untuk meminta tambahan uang jajan saja Laras banyak mendapatkan cecaran juga nasihat. Bagaimana jika ia meminta tambahan uang untuk modifikasi? Bisa-bisa mobilnya ditarik dari tangannya.
"Lo mau kemana?" Fabian bertanya kemudian.
Seakan sadar tatapan penuh tanya Fabian. Laras melebarkan senyumnya. " Teb-"
"Balapan liar lagi?" Fabian mengomel di detik selanjutnya. " Lo cewek apa gi-"
"Ssstt!" Laras mendelik sebal. Kalau untuk yang namanya balapan liar, Praja tentu tidak akan tahu hal itu. Dan jika pria itu tahu, bisa-bisa biaya untuk asupan gizi mobilnya ikut menguap seperti permintaan tambahan uang jajannya.
"Sama Kania lagi?"
Laras menunjukkan deretan giginya, kemudian mengangguk.
"Jangan dekat-dekat, Kania. Lo jadi ikutan nggak bener nanti-"
"Ngomong apaan Lo?" Laras sewot." Meskipun dia bukan cewek yang baik, setidaknya dia masih punya hati ya!"
Fabian mendesah pelan, baiklah, perang dunia ke-3 akan kembali dimulai dalam beberapa detik.
Karel mengadikan bahunya acuh. "Paling sebentar lagi juga lo akan ikutan ngerokok -"
Suara nyaring benda saling bertubrukan terdengar, jangan salahkan Laras yang melempar tasnya tepat pada kepala laki-laki itu. Salahkan saja laki-laki menyebalkan yang bermulut pedas itu.
"He-"
"Lo ngomong jelek tentang Kania lagi, gue bakar mobil Lo!" Laras menyela tajam. Ia kemudian mengambil kasar tasnya dan menatap tajam Karel satu jarak yang dekat." Gue penasaran, Lo beneran anak om gue atau bukan!"
"Anjir!"
" Udah-udah!" Fabian mulai pusing sendiri. Ia menatap jengkel pada sepupunya yang sedang beradu tatap itu, sebelum mendesah pelan." Lo berdua temenan sehari aja bisa-"
"Enggak!" Ucap meteka bersamaan.
Baiklah, Fabian akan mengalah saja." Udah ya, Laras sayang. Ayok kita ke arena balapan," ia berucap gemas kemudian memilih untuk menempelkan kedua tangannya pada bahu Laras dan memilih memutar balik dulu gadis itu. Sudah, Fabian ingin tenang malam ini.
Selepas kepergian Laras juga Fabian, Karel kembali duduk di atas sofa empuk ruang tengah dan mengeluarkan ponselnya juga mengambil gelas es krimnya yang terabaikan karena acara ribut dengan Laras barusan.
Bang Dewa
Titip adek gue dong, Rel. Dia cabut mau balapan lagi kayaknya.
Karel kembali berdesis. Apa ia tidak bisa sehari saja di bebaskan dari Laras juga sejenisnya? Ia hanya ingin menghirup udara bebas dan tenang.
Anda
Ada Bian.
Bang Dewa
Gue gratisin tiga botol buat next visit, gimana?"
Anda
Mt-25, gue jalan sekarang.
Bang Dewa
Itu namanya pemerasan ganteng.
Anda
R15
Bang Dewa
Itu berlebih adikku sayang..
Lo minta yang tau diri sedikit bisa gak si, Rel?
Anda
Tujuh botol next visit. Deal or no?
Bang Dewa
Tai banget si Lo!
Udah buruan jalan!
------
" Tiga juta!"
"Naik lagi!"
" Enam juta!"
" Deal!"
Seruan yang seketika memenuhi tempat bernama arena balap itu berhasil membuat senyum Kania mengembang. Jika ditanyakan bagaimana ia bisa berada di tempat ini sekarang, tentu jawabannya satu, melarikan diri. Memangnya mau apa lagi?
Tepat setelah Raihan memarkirkan mobil hitam Farhan, ia langsung melesat masuk ke dalam kamarnya dan kembali bersiap untuk melarikan diri dengan bermodal bagi tidur juga ponsel dan tentu kotak rokoknya.
Jika kembali ditanyakan bagaimana ia bisa hadir di tempat ini dengan pakaian yang elegan, tentu kunci jawabannya adalah seorang Laras. Bahkan gadis itu juga membawakannya sepasang sepatu dengan merk ternama.
Pada intinya, Laras akan menyiapkan segala kebutuhannya asalkan ayah mau menemani gadis itu dengan kegilaan hidup malamnya.
"Gue menang, setengah buat lo-"
"Gak!" Kania menyahut tajam." Nggak usah bertaruh nyawa dengan embel-embel nama gue! Lo mau gue mati di tangan keluarga Pradipta?!"
Laras terkekeh. Ia memperhatikan sekilas jalanan yang sudah terpampang luas di hadapannya dan kembali menoleh pada Kania yang masih setia berdiri di sampingnya. Empat tahun menjadi teman Kania, ia sangat tahu jelas temannya yang satu itu sangat tidak menyukai aksi balapan yang biasa ia lakukan. Tapi selama itu juga kami selalu berusaha bersifat sportif untuk hobi gilanya itu.
"Jangan membahayakan diri sendiri! Duit 6 juta nggak sebanding sama biaya perawatan rumah sakit," nasihat kayak yang mulai pegel karena membungkukkan dirinya untuk melihat Laras di balik kemudi.
"Ikut aja yuk-"
"Gila lo!" Kania memaki.
Laras kembali terbahak."katanya nggak butuh jalanan nggak bakal buat jantung-"
"Gue nggak percaya sama katanya!"
Kania kembali menegakkan tubuhnya kemudian melempar tetapannya pada laki-laki di seberang sana yang juga ikut memperhatikan. Ia mami menjilat bibirnya sembari memicingkan matanya ke arah yang sama.
" Dengerin gue!" Ia kembali memerintah Laras." Jangan ngikutin dia kalau dia mancing ke tempat lain-"
"Lo tau gue, Kania! Nggak ada sejarahnya Laras bisa dikelabuhi."
Kania mendelik sebal."awas aja ya kalau hari ini jadi sejarah baru!" Ia berucap. " Lo tau apa yang harus dilakukan kalau kejadi-"
"Gue maju!" Laras seketika melambaikan tangannya ke udara kemudian menancap gasnya untuk bersiap.
Ini yang tidak Kania suka setiap melihat kegilaan Laras. Gadis itu yang balapan, tapi dirinya yang jantungan. Aku tidak ada anggota Pradipta yang memiliki pemikiran waras sedikit saja? Coba nasehati Laras supaya menjauh dari segala hal yang membahayakan seperti ini. Kania sudah lelah menasehati gadis itu.
"Lo kenapa-napa, tanggung jawab sendiri!"
Bukan, itu bukan suara Kania. Itu suara serak Karel- tunggu Karel? Apa Kania tidak salah dengar?
Ia mengedipkan matanya berulang kali dan kembali memperhatikan mobil Laras yang sudah berjarak dua meter di depannya itu. Bukan, bukan mobil Laras yang menjadi pusat perhatiannya. Melainkan Karel yang sedang mengangkat tangan kanannya pada pintu bagian atas mobil Laras dengan tubuh setengah membungkuk.
" Lo mati, gue nggak akan datang ke pemakaman Lo!"
Kania Jadi menyesal meminta salah satu anggota keluarga Pradipta menasehati gadis itu. Karena jika orang itu adalah Karel, sudah pasti Laras memilih untuk menutup rapat telinganya dan bersikap acuh.
"Gue tunggu di garis finish. Setengah jam gak ada, gue anggap Lo mati!"
Kejam, itu adalah kata sempurna yang paling pantas untuk mendefinisikan ucapan yang selalu keluar dari bibir Karel.
"Kania!"
Ia kembali tersadar akan teriakan Laras, ia terlalu terbuai dengan ketampanan karir sampai lupa tujuan awal berada di tempat ini.
" Bawa cowok lo cabut dari hadapan gue!!!!!"
"Najis!"
Astaga Karel, najis-najis begini, Kania masih menjadi salah satu ciptaan Tuhan. Jahat sekali mulutnya.