NovelToon NovelToon
ALTAIR: The Guardian Eagles

ALTAIR: The Guardian Eagles

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Fantasi Timur
Popularitas:15.4k
Nilai: 5
Nama Author: Altairael

[MOHON DUKUNGAN UNTUK CERITA INI. NGGAK BAKAL NYESEL SIH NGIKUTIN PERJALANAN ARKA DAN DIYAN ✌️👍]

Karena keserakahan sang pemilik, cahaya mulia itu pun terbagi menjadi dua. Seharusnya cahaya tersebut kelak akan menjadi inti dari kemuliaan diri si empunya, tetapi yang terjadi justru sebaliknya---menjadi titik balik kejatuhannya.

Kemuliaan cahaya itu pun ternoda dan untuk memurnikannya kembali, cahaya yang telah menjadi bayi harus tinggal di bumi seperti makhluk buangan untuk menggenapi takdir.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Altairael, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

RESONANSI-2

Tempat bekas kuku Mamat tadi menancap masih mengeluarkan darah.  Namun, bukan itu yang membuat Diyan tidak mampu bergerak seperti saat ini, melainkan ada sensasi aneh yang masih tertinggal di dalam tubuhnya. Barusan, Diyan merasakan tubuhnya seperti dialiri arus listrik yang maha dahsyat. Saking dahsyatnya sampai-sampai sekarang pun tubuhnya masih gemetaran.

Dia mengamati punggung tangannya. Hanya ada luka bekas kuku, sangat kecil pun, tetapi terus mengeluarkan darah. Ini tidak benar karena biasanya luka parah pun tidak bertahan lama di tubuhnya, tetapi kenapa goresan kecil itu malah seperti sumber air.

Karena tidak memiliki benda lain untuk membersihkan darah, akhirnya Diyan menggunakan kausnya. Darah berhenti mengalir, tetapi sesaat kemudian akan mengalir lagi. Terus begitu berulang-ulang membuat Diyan terpaku keheranan sampai-sampai lupa bergerak.

Sementara itu di rumah, Bu Harnum sedang marah-marah di telepon karena si bungsu menghilang. "Pulang sekarang juga, Diyan ilang!" Dia berteriak panik di ponsel seperti gila.

Sepasang suami-istri yang bertanggung jawab merawat rumah, merasa heran dengan kepanikan Bu Harnum yang menurut mereka terlalu berlebihan. Mereka berfikir, bila masih ada di desa, Diyan pasti mudah ditemukan. Lagi pula, Diyan bukan anak kecil lagi, kan? Kenapa harus begitu dikhawatirkan?

Bu Salamah, si istri berbadan subur, berkulit gelap, selalu mengenakan bandana untuk menambah kerapian rambutnya yang selalu disanggul cepol, masuk ke rumah dan tidak lama kemudian kembali membawa segelas air.

"Minum dulu biar hati lebih tenang," ujarnya sambil memberikan segelas air itu pada Bu Harnum.

Begitu menerima, Bu Harnum pun langsung meminumnya sampai habis, lalu mengembalikan gelas sambil berkata, "Aku mau cari Diyan."

"Biar aku saja yang pergi," ujar Pak Fikri, suami Bu salamah.

"Aku pergi sama kamu." Bu Harnum berkeras.

"Nggak usah, Bu. Sampean mending tetap di sini." Bu Salamah dengan gaya bicaranya yang cerewet menekan bahu Bu Harnum supaya tidak bangun dari kursi teras yang didudukinya.

Tadinya Bu Harnum menurut, tetapi ketika deru suara mesin mobil terdengar, dia langsung bangkit dan berlari ke luar halaman menyongsong. Pak Fikri dan Bu Salamah mengejar karena takut terjadi apa-apa padanya. Misalnya saja tersandung terus terguling-guling di jalan menurun depan rumah.

"Kalian itu mikir apa, sih?!" Bu Harnum berteriak sambil berdiri berkacak pinggang, mengadang mobil yang tinggal sedikit lagi sampai di permukaan datar.

Akan tetapi, karena jalan dihalangi oleh perempuan yang saat ini lebih mirip nenek sihir daripada altair, Arka terpaksa menghentikan mobil dan memarkirnya di tempat yang kurang nyaman. Seperti adu cepat dengan sang ayah, Arka tergesa-gesa keluar dari mobil.

"Sebenarnya ada apa, toh?!"

"Kenapa masih tanya, Ndoro Satrio?! Kenapa nggak langsung cari Diyan?! Kan aku sudah bilang Diyan ilang! Seharusnya kalian langsung pergi cari dia!"

Alih-alih jawaban, justru amarah bertubi-tubi yang didapat Pak Satria. Jika situasi tidak begini serius, Pak Fikri dan Bu Salamah pasti sudah menyembur tertawa melihat sang kepala keluarga yang tinggi besar itu terlihat mengkerut di hadapan istrinya yang sedang mengamuk.

"Bu, tenang, sabar." Arka segera membawa Bu Harnum ke dalam pelukan, lalu berbisik, "Kalau An dalam bahaya, aku pasti juga bisa ngerasa."

"Nggak. Di kejadian terakhir, Altair Agung Cariyasukma yang menolongnya. Ingat itu." Bu Harnum berbisik tegas, bahkan ada nada mengecam dalam suaranya.

Arka terkesiap, untuk sesaat dia lupa pada peristiwa itu. Dia segera melepas pelukan dan mata sayunya menatap nanar. "Aku mau cari An sekarang," tegasnya.

"Aku temani," ujar Pak Fikri.

"Kita pergi bersama." Pak Satria menimpali. "Dan, Bu Salamah tolong ...." Dia segera masuk ke mobil menyusul Arka dan Pak Fikri tanpa menyelesaikan ucapannya.

Setelah memutar arah, Arka justru menghentikan mobil dan mematikan mesin. Hampir saja Bu Harnum kembali meledak kalau tidak dicegah oleh Pak Satria. Kedua penjaga rumah kembali dibuat saling bertukar pandang heran atas apa yang terjadi.

Arka terdiam dengan mata kosong terpaku menatap ke depan.

"Sekarang kamu ada di mana?"

"Di dekat jembatan danau."

"Oke. Tetap di sana."

"Aku nggak akan bisa ke mana-mana. Tenang saja." Setelahnya Diyan terkekeh.

"Apa maksudnya?"

"Datang dan lihat saja sendiri."

Arka baru hendak membalas, tetapi adiknya sudah memutuskan koneksi.

"Bagaimana?" Pak Satria bertanya dan Arka hanya membalas dengan anggukan.

"Kalau begitu, ayo cepat. Jangan biarkan ibumu mengamuk lagi."

Arka pun segera menghidupkan mesin mobil, lalu melaju di jalan menurun dengan sembrono karena tidak mengurangi kecepatan.

Sekarang Diyan sedang duduk di salah satu bangku semen, yang berada di kanan-kiri mulut jembatan. Tadi dia masih sempat berjalan hingga ke mulut jembatan, tetapi kakinya mendadak lemas saat hendak menginjak permukaan jembatan.

Dia merasa aliran darah dalam tubuhnya begitu deras, berputar-putar di bawah kulit dan mendesak, seperti mencari jalan ke luar. Luka kecil di punggung tangannya sampai sekarang masih terus mengeluarkan darah.

Dia mencoba mengingat apa yang barusan terjadi. Mulai dari benturan yang menyebabkan mereka sama-sama terpental, disusul dengan saat dia berlari menyelamatkan Mamat. Dia merasa kecepatan larinya normal, tetapi menurut Mamat tidak.

Mamat yang tidak ingin disentuh dan selalu menunduk menyembunyikan wajah. Mamat yang gemetar hebat dan kembali terpental saat tangan mereka bersentuhan, sampai-sampai punggung tangan Diyan tergores kukunya, serta rasa seperti sengatan listrik. Sampai sekarang aktivitas di dalam tubuh Diyan bahkan belum mereda.

Suara deru mesin mobil mengalihkan perhatiannya. Pintu depan sebelah kanan sudah terbuka, bahkan sebelum mesin dimatikan. Pak Satria melompat keluar dan berlari menghampiri si bungsu yang kondisinya terlihat aneh.

"An, apa yang terjadi?"

Diyan segera menyembunyikan tangan yang luka di balik baju. "Nggak tau, kakiku tiba-tiba lemes pas mau napak di jembatan." Dia menjawab tanpa menatap ayahnya.

Arka yang sampai bersamaan dengan Pak Fikri, menatap curiga pada gundukan tangan di balik baju Diyan. Namun, sebelum dia sempat bersuara, Pak Fikri sudah mendahuluinya.

"Jembatan sama candi adalah satu kesatuan, bangunan keramat yang dianggap suci tempat para leluhur dulu bersemadi mencari keberkahan. Cuma orang-orang yang hatinya bersih bisa ke sana."

"Jadi, kamu pikir jiwa anakku kotor, begitu?!" Pak Satria langsung meradang.

"Bu-bukan begitu ...." Pak Fikri ingin menjelaskan, tetapi malah kehilangan kata-kata dan hanya bisa garuk-garuk kepala. Dia merasa terintimidasi oleh tatapan Pak Satria yang tidak biasanya seperti itu.

Lagi pula, dia juga merasa aneh, kenapa mulutnya tiba-tiba lancang membahas tentang hal itu. Padahal belum tentu ada kaitannya dengan kondisi Diyan yang tampak ganjil.

Arka menghampiri sang adik dan duduk di sampingnya. "Kenapa bajumu penuh darah?" Dia bertanya lirih dengan mata menyipit.

Sambil menatap intens sebagai kode supaya Arka tidak bersikap berlebihan, Diyan berkata lirih, "Aku tidak bisa cerita sekarang."

"Baik---"

Pak Satria yang merasa curiga langsung menyela, "Jangan coba-coba main rahasia-rahasiaan dari kami."

Mengabaikan ayahnya, Diyan bertanya pada Pak Fikri, "Apa maksudnya dengan jiwa yang bersih? Aku melihat ada orang lalu-lalang di sana. Tidak mungkin mereka orang suci, kan? Tidak ada manusia yang benar-benar suci."

Diyan sedikit emosional. Dia sadar memang bukan orang suci, tetapi bukan berarti jiwanya kotor. Perkataan Pak Fikri membuatnya berasumsi tentang sesuatu. Sesuatu yang bisa dia rasakan, tetapi sulit untuk dijelaskan dan itu berkaitan dengan suara berbisik serta sosok bermata api.

"A-ku tidak bermaksud---"

"Katakan saja apa yang kamu pikirkan." Cara Diyan berbicara yang cenderung tidak sopan membuat ayah dan kakaknya mengernyit.

Sementara itu, Pak Fikri sangat kebingungan, tidak tahu harus menjelaskan bagaimana. Karena sebenarnya, kata-kata tadi itu seperti meluncur begitu saja.

"Emh, itu, itu. Orang kerasukan roh jahat juga termasuk. Ya, ya, orang kerasukan." Akhirnya dia pun mengatakan hal konyol yang sama sekali tidak terpikirkan sebelumnya.

"Maksudnya?" Pak Satria bertanya sambil menatap tajam.

"Keluarga Srintil itu seperti apa?" Diyan menginterupsi ayahnya dan ketiga pasang mata langsung menatapnya penuh tanya.

"Sri-Srintil? Kamu mengenal gadis itu?" Wajah Pak Fikri mendadak aneh. Dari nada bicaranya, mereka berpikir kalao mengenal Srintil bukanlah hal yang baik. Gara-gara ucapannya barusan, sekarang gantian Pak Fikri yang menjadi pusat perhatian ketiga pasang mata.

"Apa ada masalah?" Arka bertanya dengan tenang meski hatinya tidak setenang yang terlihat.

Pak Fikri hampir tidak mampu berkata-kata di bawah tatapan mereka. Namun, akhirnya berbicara juga saat melihat Pak Satria menyipitkan mata dengan gestur mengancam.

"Katanya mereka itu adalah keluarga dukun sesat. Orang tua mereka mati dalam kondisi mengenaskan. Setelah itu, anak-anaknya sangat jarang terlihat karena setiap kali mereka muncul, warga desa mengusirnya. Mereka baru menampakkan diri lagi sekitar satu tahun yang lalu. Kasihan sekali, si bungsu Srintil, gila. Sering jadi bahan olokan anak-anak."

"Dukun sesat?" Pak Satria bergumam. "Bagaimana warga desa bisa tau kalau mereka dukun sesat? Apakah mereka mempraktekkannya?"

"Sebenarnya ... emh, saya juga nggak tau persisnya gimana. Yang saya dengar, si sulung Ambar sering mencelakai teman-temannya dengan cara mengutuk."

"Lalu---"

Diyan mendahului ayahnya yang sudah hendak kembali bicara. "Lalu kenapa sekarang warga desa nggak ngusir mereka lagi?"

"Awalnya kami semua ya waswas, tapi setelah sekian waktu nggak ada peristiwa aneh. Akhirnya kami pun nggak mau mengusik mereka."

"Di mana rumah mereka?" tanya Arka.

"Di bawah tanah rumah kosong di atas bukit itu."

Pak Satria dan kedua putranya tersentak. Jika Srintil dan saudaranya tinggal di sana, kenapa dia memperingatkan mereka supaya tidak ke sana? Katanya berbahaya.

Masih banyak yang ingin mereka tanyakan, tetapi karena Diyan tiba-tiba saja mengeluh sambil memegangi dada kiri, mereka pun buru-buru beranjak meninggalkan tempat itu.

Entah kenapa? Diyan merasa jiwanya sangat gelisah berada di tempat itu. Rasa gelisah yang membuatnya merasa dicekam kengerian akan suatu ancaman. Namun, ancaman apa dan dari siapa, masih merupakan misteri.

Sementara itu, di waktu yang sama, di dalam ruangan berpenerangan temaram, Mamat jatuh tersungkur di lantai dan muntah darah.

"Lancang! Kamu seharusnya tau diri manusia dungu! Bawa dia padaku, sialan!"

"Maafkan saya, Ndoro. Saya ceroboh. Badan saya lemah setelah berbenturan dengannya."

"Kamu pikir darahnya akan memberimu kekuatan?! Darahnya nggak akan bekerja di dalam tubuhmu kalau aku nggak sedang merasukimu. Tubuhmu bisa meledak!"

"Ampun---" Mamat kembali muntah darah.

Pria itu menyesali kebodohannya, yang nekat menyentuh Diyan dan mencuri sedikit darah lewat kuku. Dia pikir dengan mengisap setetes darah pemuda itu, dia akan lebih kuat. Luka dalam akibat serangan Altair Agung Cariyasukma waktu itu juga bisa lekas sembuh. Dengan begitu, dia bisa membawa Diyan ke hadapan sang junjungan.

Akan tetapi, ternyata dia salah. Setelah darah Diyan yang hanya sedikit itu masuk ke dalam tubuh, kekuatannya memang kembali, tetapi di samping itu, Mamat justru merasakan pergolakan yang sangat dahsyat dalam tubuhnya.

Oleh karena itulah, tadi dia buru-buru menghadap untuk meminta pertolongan. Pertolongan dari sang junjungan yang sedang bersenang-senang bersama anak-anaknya. Anak-anak yang bahkan belum lahir.

[Bersambung]

1
bang sleepy
Akhirnya sampai di chap terakhir update/Whimper/ aku bagi secangkir kopi biar authornya semangat nulis 🤭💗
bang sleepy
pengen kuguyur dengan saos kacang rasanya/Panic/
bang sleepy
brisik kamu kutu anjing! /Panic/
bang sleepy
bisa bisanya ngebucin di moment begini /Drowsy/
bang sleepy
mank eak?
diyan selalu berada di sisi mas arka/Chuckle/
bang sleepy
shock is an understatement....... /Scare/
bang sleepy
sabar ya bang arka wkwwk
bang sleepy
tetanggaku namanya cecilia trs penyakitan, sakit sakitan trs. akhirnya namanya diubah. bru sembuh
bang sleepy
mau heran tp mrk kan iblis /Drowsy/
bang sleepy
dun dun dun dunnnn~♪
bang sleepy
astaga suaranya kedengeran di telingaku /Gosh/
bang sleepy
Hah... jd raga palsu itu ya cuma buat nguji arka ama diyan
Alta [Fantasi Nusantara]: Kenyataan emang pahit ya🤣🤣🤣🤣🤣🤣
total 1 replies
bang sleepy
bener uga ciii /Facepalm//Facepalm//Facepalm/
bang sleepy
idih idihhh
bang sleepy
nyembur wkwkwkwk
bang sleepy
Tiba-tiba cinta datang kepadaku~♪ #woi
bang sleepy
kan bener. kelakuannye kek bokem. tp dia altair
bang sleepy
agak ngeri ngeri sedap emg si diyan ini wkwkw
Alta [Fantasi Nusantara]: /Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm//Facepalm/
total 1 replies
bang sleepy
anaknya anu kah
bang sleepy
buseeeeddd
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!