NovelToon NovelToon
Kemarau Menggigil

Kemarau Menggigil

Status: tamat
Genre:Tamat / cintapertama / Berbaikan / Mengubah Takdir / Bullying dan Balas Dendam / Slice of Life
Popularitas:14.3k
Nilai: 5
Nama Author: Chira Amaive

Ayah, aku butuh selimut untuk tubuhku yang penuh keringat. Kipas angin tua milik bunda hanya mengirimkan flu rindu. Sebab sisa kehangatan karena pelukan raga gemuknya masih terasa. Tak termakan waktu. Aku tak menyalahkan siapa pun. Termasuk kau yang tidak dapat menampakkan secuil kasih sayang untukku. Setidaknya, aku hanya ingin melepuhkan rasa sakit. Di bawah terik. Menjelma gurun tanpa rintik gerimis.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Chira Amaive, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Episode 16

Senang dan sedih berjalan beriringan. Namun, ajari aku cara menemukan senang jika memang harus tanpa kasih sayangmu lagi.

...----------------...

Ayah berpenampilan rapi ketika ke luar dari kamarnya. Aroma parfum mirip milik Rasen tercium. Sejak kapan? Biasanya ayah hanya menggunakan parfum yang dibeli di toko depan gang yang harganya tidak sampai dua puluh ribu. Mungkin saja Rasen yang memberikannya kepada ayah. Entah bagaimana, ayah mau menerima pemberian itu. Lalu, entah sejak kapan mereka bertemu lagi. Setahuku, terakhir adalah ketika Rasen membawaku pulang setelah menghilang selama seminggu. Atau, mungkin saja ketika aku masih belum pulang. Rasen beberapa kali ke sini untuk mengunjungi ayah, sekaligus menanyakan kabarku. Padahal, yang mencariku adalah dia sendiri. Aku ditemukan pada hari yang sama ketika aku bertemu dengan mama Rasen. Bisa jadi ia mendapatkan petunjuk dari sana.

Berbicara tentang mengapa ayah memakai pakaian rapi lagi. Itu karena aku mendapatkan surat lagi dari guru BK. Bukan. Bukan karena kebanyakan bolos. Karena aku sudah mendapatkan itu, sehari setelah aku masuk sekolah selepas menghilang selama seminggu. Kali ini, surat lainnya lagi. Ayah pun selalu memenuhi panggilan surat tersebut. Padahal, sejak dulu ia tidak pernah mau untuk datang ke sekolahku.

Nasi dengan lauk telur hambarku telah tandas. Aku langsung ke luar menuju keran samping rumah untuk mencuci piring. Ya, di rumahku tidak ada wastafel. Kusaksikan pria itu sedang memanaskan motornya.

Setelah semua siap, aku ke lua lagi dan mendapati ayah masih di sana dalam keadaan menunggang sepeda motornya. Ia diam. Melayangkan pandang ke sembarang arah. Kenapa tidak langsung jalan saja seperti biasanya?

"Ayo, naik!" pinta ayah.

"Nggak." Aku menolak tawaran yang sebenarnya sangat aku inginkan itu. Memang jarang sekali ayah mengajakku ikut bersamanya. Kecuali ketika ia memenuhi panggilan guru BK seperti ini. Namun, aku tak pernah mengiyakan. Padahal, dalam hatiku sangat ingin mengulang kenangan dulu. Di mana ayah memboncengku di waktu kecil.

"Anak keras kepala. Sudah menyusahkan orang. Berbuat onar terus lagi. NAIK SEKARANG!" Tidak biasanya. Ayah memaksaku.

"NGGAK!" tegasku.

"Kamu pikir untuk apa aku menghadiri surat tidak berguna itu. Sudah berkali-kali. Kalau kamu dikeluarkan dari sekolah gimana?" ucap ayah dengan mata melotot.

"Tapi Ayah baru hadir dua kali. Tiga kali dengan hari ini. Bagus dong kalau aku ke luar. Jadi, nggak perlu nyusahin orang." Aku berseru ketus.

"Anak tak tahu diuntung."

"Untung? Nggak ada untungnya aku selama di sini. Udah hidup miskin, serba kekurangan, nggak ada yang peduli, setiap hari bertengkar. Nggak ada yang mau hidup kayak gini."

"Ya, sudah. Pergi saja kamu seperti kemarin. Hidup sebebas-bebasnya dengan yang kau inginkan." Ayah berkata.

"Baik, aku tidak butuh kasih sayang," ucapku pedas.

"Aku juga tidak menyayangimu." Ayah membalas.

Aku menelan ludah. Seraya mengepalkan tangan juga mengeraskan rahang. Tubuhku terasa mengeras, namun hatiku rapuh oleh ucapan itu.

"Siapa juga yang butuh kasih sayang dari orang tua gagal sepertimu. Pantas saja ibu mati cepat."

Ayah melompat dari sepeda motornya yang masih menyala. Lalu berdiri tepat di hadapanku dan langsung menamparku hingga menimbulkan suara yang keras. Perih. Tamparan berikutnya pada pipi yang satunya. Lengkap sudah. Kedua pipiku terasa membengkak.

"ANAK TIDAK TAHU DIRI!" ketus ayah kemudian langsung menaiki motornya yang telah jatuh itu. Meninggalkanku sendiri. Ia telah berlalu.

Deras sudah tangisanku. Membuatku terhuyung lemah. Suara langkah terdengar. Kudapati ibu Nala berdiri sambil menggendong cucunya yang masih bayi.

Sejak kejadian gaun putih yang digunting ayah itu, ibu Nala lebih sering mengunjungiku ketika mendengar keributan. Walaupun tidak selalu.

"Ayahmu baru mendengar cerita dari menantu saya. Kemarin, ada kejadian siswi yang dianiaya oleh beberapa preman di angkot," ujar bu Nala.

Untuk yang ke sekian kalinya. Aku menyesal lagi. Aku masih jauh dari kata anak yang baik. Bukan ayah yang gagal sebagai orang tua. Tapi akulah yang gagal sebagai seorang anak. Dasar anak durhaka.

...****************...

"Lalu, apa yang terjadi di ruang BK, Nak?"

Aku datang lagi ke warung kecil yang kemarin aku kunjungi. Entah mengapa, seperti ada magnet yang membuatku melangkahkan kaki ke tempat ini lagi. Untungnya, aku tak perlu menghindari Rasen hari ini karena ia ada jadwal ekskul paskibraka. Membuatku teringat dengan temannya yang tinggi itu. Si kurang ajar, Teguh.

"Aku dan ayah seperti orang asing. Ia hanya berbicara dengan guru BK. Aku hanya menyimak. Sesekali menjadi dengan gerakan kepala. Katanya, aku kemungkinan tertinggal kelas jika tidak bisa mengubah sikapku dan jika aku satu kali lagi bolos."

Pemilik warung kecil yang biasa dipanggil emak Fatin itu mengangguk-angguk sambil terus menatapku. Menampakkan ekspresi penasaran yang tak terbendung. Entah mengapa, bukannya hanya makan dan mendengarkan ocehan wanita ini, kini aku justru mencurahkan masalahku kepada seseorang yang baru dua kali aku temui. Mendengar banyak siswa yang menjadikan tempat ini untuk mengeluh dan bercerita, membuatku turut terpikirkan untuk melakukan hal yang sama. Sebenarnya, tadi ada beberapa siswa lain di sini yang jga bercerita kepada emak Fatin. Wajah mereka sama kusutnya denganku. Pantas saja emak Fatin sudah terbiasa dengan keluhan orang-orang. Setelah suasana sepi, barulah aku mulai mendekat ke tempat duduk emak Fatin.

"Aduh, sayang banget dong kalau harus tertinggal kelas. Tapi, bukannya kenaikan kelas masih semester selanjutnya, ya?"

"Iya, tapi tetap akan diakumulasikan dengan semester ini."

Emak Fatin mengangguk tanda mengerti.

"Emak, aku mau bertanya sesuatu."

"Tanyakan saja."

"Aku ingin menjauh dari ayah. Tapi aku tidak ingin jauh. Aku malas melihatnya. Tapi aku juga ingin melihatnya. Kerap kali aku berpikir untuk hidup sendiri saja. Tapi aku tidak mau jika hidup tanpa ayah juga. Aku sampai ragu apakah aku ini memang satu orang. Atau ada orang lainnya di dalam diriku. Sehingga, sehebat-hebatnya perdebatanku dengan ayah. Lebih hebat lagi perdebatanku dengan diri sendiri. Emak, bagaimana jika ayah berkeluarga lagi? Apakah aku dibuang? Atau jika dibuang, apakah seharusnya aku senang? Tapi, bukankah aku akan sebatang kara jika itu terjadi? Ayah bilang, dia tidak menyayangiku. Dia juga selalu bilang aku jelek dan tidak pantas dicintai siapa pun. Bahkan oleh seorang lelaki tulus sekali pun. Jadi, apakah dia memang menginginkan aku senantiasa sendirian? Ia tidak mampu memberikan kasih sayang untukku. Tapi dia juga tidak mau melihatku mendapatkan kasih sayang dari orang lain. Emak, apakah jika aku menyusul itu semua akan lebih indah?" tuturku panjang lebar. Aku tidak menangis. Sebab, pengutaraan ini terlalu rumit untuk dicerna kelopak sendu. Ini jauh lebih menyakitkan daripada air mata.

"Jika tugasmu di dunia sudah selesai, maka menyusul menuju alam tempat ibumu sekarang adalah hal yang indah. Tentu saja. Tapi, Tuhan yang mengaturnya. Kamu tidak bisa mendahului takdir Tuhan. Dia membiarkanmu hidup. Artinya, tugasmu memang masih di sini. Kita hanya seperti butiran debu dibandingkan semesta. Jangkauan kita masih terlalu sempit untuk menyaksikan keindahan semesta. Cari keindahan itu dengan pandangan luas. Hingga kau mengerti mengapa kau menjadi salah satu penghuni semesta."

Kalimat indah tanpa menghakimi. Sederhana, tapi tak pernah dikatakan oleh guru BK di sekolahku yang senantiasa menganggap dirinya pembimbing konseling. Nyatanya, hanya melihatku sebagai sosok siswi tak berotak.

Saat kusadari, aku memang sudah menemukan keindahan yang dimaksud sebelum melihat dunia dengan sedikit lebih luas. Yakni bertemu dengan emak Fatin.

1
Selfi Azna
pada kemana yang lain
Selfi Azna
MasyaAllah
_capt.sonyn°°
kak ini beneran tamat ??? lanjut dong kakkkk novelnya bagus bangetttttt
Selfi Azna
mungkin bapaknya cerai sama ibunya,, truss jd pelampiasan
Chira Amaive: Bukan cerai, tp meninggal ibunya 😭
total 1 replies
melting_harmony
Luar biasa
Zackee syah
bagus banget kak novel nyaaa...
Chira Amaive: Thank youuuu
total 1 replies
Zackee syah
lanjut kak
Ichinose
barter, aku like punya kamu, kamu like punya aku
Chira Amaive: okeyyyyy
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!