Semua berawal saat pertama kali berkenalan dan berjabat tangan. Aku selalu berharap bahwa waktu berhenti bergerak supaya aku bisa menikmati waktuku bersamamu. Dan senja, adalah saksi bisu dari cintaku saat aku mengadu rindu kepada semesta yang tak pernah lelah mendengarkan curhatan ku tentang dirimu. Sebuah Puisi untuk Dila adalah bagian pertama dari cerita ku dalam mendapatkan hati Dila, Wanita yang biasa saja tetapi segalanya dan istimewa dalam hidup ku. terima kasih Dila jika kamu sudah membaca novelku ini, aku ingin mengucapkan sesuatu yang belum pernah aku ucapkan sebelumnya. Bahwa aku mencintaimu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni A. Arafah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah tembok
Tiga Bulan berlalu aku mendengar kabar dari Bintang bahwa satu bulan lagi Pancak silat akan mengikuti turnamen di GOR Padjajaran dan Dila pun mengikuti turnamen tersebut, tepat saat itu setelah pulang sekolah hari jum’at ku lihat Dila yang sedang bersiap-siap untuk mengikuti ekskul Pancak silat, dan aku pun langsung mendekati Dila yang bersiap untuk pergi latihan.
“Semangat latihannya.” Ucapku ancak mengusap kepala Dila. “Aku akan datang di pertandingan kamu.”
Dila tersenyum. “Makasih”
“Kamu belum pulang? Padahal yang lainnya ini pada pulang juga?”
Aku membalas senyuman Dila. “Sengaja aku telat pulang, agar aku bisa menyemangati kamu latihan.”
“Makasih, aku latihan dulu ya.”
Dila melanjutkan langkahnya menuju lapangan untuk bergabung dengan ekstrakurikuler Pancak Silat. Dari kejauhan, aku melihat Dila begitu akrab dengan Ridwan, teman sebangkuku yang juga mengikuti latihan tersebut. Ridwan adalah orang yang sudah dekat dengan Dila sejak kelas 10, bahkan mereka pernah bergandengan tangan saat acara peringatan 17 Agustus tahun lalu.
Ridwan adalah siswa yang cerdas dan berprestasi, dan dia juga menjadi teman sebangkuku saat aku kelas 11. Pada awalnya, aku tidak terlalu memperhatikan kehadiran Ridwan ini karena Dila pernah mengatakan bahwa mereka hanya teman biasa. Namun, seiring berjalannya waktu, aku mulai melihat kedekatan yang terjalin antara Dila dan Ridwan. Bahkan, saat Dila selesai berlatih Pancak Silat, aku melihat Ridwan membawa Dila boncengan di motornya. Saat itu, sialnya, motorku sedang mogok dan aku terpaksa mendorongnya sendirian. Entah mengapa, saat melihat Dila dan Ridwan bersama-sama, rasa kepercayaanku mulai runtuh. Aku mulai menyalahkan diriku sendiri karena tak berani mengungkapkan perasaanku kepada Dila saat kita berdua di pantai dulu. Kini, dinding antara aku dan Dila mulai terlihat jelas, memisahkan hati-hati yang dulunya begitu dekat.
Setiap harinya, sebelum masuk ke dalam kelas, kami, aku dan teman-temanku, berkumpul di area parkiran motor. Sambil mengobrol dan menunggu teman-teman yang lain datang. Namun, saat itu, keadaan tak berjalan seperti biasanya.
Aku melihat Dila naik boncengan di motor Ridwan, melintas tepat di depan kami. Mereka berdua berangkat sekolah bersama-sama, dan saat Dila turun dari motor, dia langsung meninggalkan area parkiran. Sepertinya Dila tidak menyadari kehadiranku di sana.
Setelah semua teman-temanku berkumpul, kami meninggalkan parkiran dan berjalan menuju ke kelas. Tetapi, setelah melihat Dila pergi bersama Ridwan, aku mulai merasa tak berani lagi untuk menyapa Dila. Aku hanya masuk ke dalam kelas tanpa menatap atau menyapa Dila yang sedang berbincang di depan pintu. Saat aku melewati Dila, aku berjalan dengan kepala tertunduk, dan sepertinya Dila pun tidak melihatku.
Rasa harapanku terhadap Dila mulai memudar. Aku terlalu berharap bahwa dia akan menjadi milikku, meskipun aku tidak pernah mengungkapkan perasaanku. Aku sadar bahwa aku salah karena tidak pernah mengungkapkan perasaanku padanya. Mungkin, dia juga merasa lelah dengan sikapku yang tak berani mengungkapkan perasaan cintaku kepadanya.
Bel masuk pun berbunyi dan untuk kedua kalinya Dila pun melewati ku dan aku baru pertama kali mengacuhkannya setelah 1 tahun lebih, padahal aku selalu menyapanya dan berusaha mendekatinya, tetapi sekarang malah aku yang mengacuhkannya padahal ia memberi senyumnya kepada ku, senyum yang hangat dan lembut itu.
Setelah mata pelajaran pertama selesai Bel istirahat pun berbunyi Hendrik dan yang lainnya termasuk aku pergi ke kantin. Sesampai di kantin aku memesan makanan seperti biasa dan minuman favoritku.
Tak lama datang Lima orang yang biasa duduk dengan ku, ya mereka adalah Dila, Bintang, ian, Desi dan Windi mereka langsung memesan makanan di ibu kantin dan kemudian duduk denganku.
Ian langsung menghampiriku dan memukul pundakku yang sedang meminum teh tarik yang baru mau aku seruput. “Tumben lu udah duluan padahal biasanya juga lu paling ngaret, dan kalau lu duluan biasanya lu pasti sama Dila?”
Aku tak membalas perkataan Ian dan hanya terus me-nikmati makanan aku aja yang sepertinya sebentar lagi habis.
Dila yang berada di sampingku mengeluarkan sebuah buku yang dari tadi dia bawa. “Eh Den kamu udah selesain PR Kimia?”
“Belum si, paling nanti aku liat punya si Bintang.” Sambil menunjuk ke arah Bintang.
“Pala lu.” Ucap Bintang yang sedang duduk di sebelah Windi.
Aku tertawa. “Yakan masa Depan gua ada di tangan lu ege, dan nilai lu adalah tumpuan gua sekolah.”
“Bacot lu.”
Tak lama tiba-tiba Ridwan datang ke meja makanku sambil membawa makanannya dan ingin bergabung makan bersama kami atau mungkin lebih tepatnya dia ingin makan bersama Dila.
“Eh boleh gabung makan di sini nggak?” kata Ridwan bertanya kepada kita sambil membawa makanannya.
“Iya gabung aja silahkan.” Ucap Desi menimpali perkataan dari Ridwan.
Kemudian dia duduk di samping Dila dan di depanku, entah kenapa semuanya nampak canggung Ian dan Bintang yang pura-pura sibuk dengan ponselnya, Desi yang diam-diam memperhatikan Ridwan sambil mengobrol dengan Windi dan aku yang hanya makan makananku yang sebentar lagi habis.
Tetapi tiba-tiba Dila memulai obrolan dengan Ridwan. “Eh Wan. Kamu udah nyelesaiin PR Kimia?”
Ridwan tersenyum ke arah Dila sambil berhenti makan. “Udah kok, emangnya kenapa?”
“Aku kurang ngerti gimana nyari mol dari volume?” Ucap Dila sambil membuka bukunya yang tadi dia simpan di atas meja makan.
Ridwan pun mengajari Dila untuk mencari mol. “Itu gampang tau, kamu bisa nyari molnya dengan cara volume di bagi dengan 22,2 Liter dan itu hasilnya pasti mol.”
Aku yang melihat Dila yang terkagum kepada sosok Ridwan ini membuatku kesal saat itu, entah kenapa tokoh utama dalam cerita ini mulai diambil alih oleh Ridwan.
“Oi nge... Harusnya lu belajar sama si Ridwan biar otak lu berguna sedikit.” Ucap Bintang kepadaku sambil me-ledekku.
“Bacot lu.”
Dila dan Ridwan pun masih berbincang-bincang aku yang melihat mereka yang akrab membuat suasana hatiku makin buruk saat itu. Tetapi Bintang dan Ian mencoba men-cairkan suasana agar aku tak terlalu berfokus kepada Dila dan Ridwan yang ada di sebelahku.
“Tampang lu paspasan setidaknya otak lu plus-plus.”
“Bangsat lu.”
Dila yang mendengar aku berbicara kasar langsung menginjak kakiku dengan keras, aku yang tau kalau Dila masih memperhatikan setiap perkataanku meski dia sedang sibuk dengan urusannya cukup senang dengan perhatian Dila kepadaku.
“Balik kekelas yuk bentar lagi kayaknya Bel ni?” kata Windi mengajak kita semua untuk pergi kekelas.
Aku, Bintang, Ian, Windi dan Desi sudah berdiri dari tempat duduk tadi untuk berangkat kekelas tetapi Dila dan Ridwan masih duduk di bangku tempat makan itu sambil membereskan PR Kimianya yang memang belum selesai.
“Dila lu nggak ikut kekelas?” Tanya Bintang kepada Dila yang masih mengerjakan Pr Nya.
“Kalian duluan aja, aku mau beresin dulu PR nya tanggung juga ini sedikit lagi, paling nanti aku sama Ridwan nyusul ke kelasnya.” Jawab Dila sambil fokus mengerjakan Pr Nya.
Kami pun kembali kekelas kami masing-masing meski pun tanpa Dila, sesekali aku melihat kebelakang, berharap Dila mengejar ku dan merangkul tanganku sambil berkata. “Maaf ya, barusan aku membuat kamu cemburu tapi yang harus kamu ingat, kamu milikku dan cuma milikku nggak boleh ada yang lain, dan bahkan nggak akan ada yang bisa menggantikan kamu.”
Bintang yang melihat aku senyum-senyum sendiri setelah menengok kebelakang langsung menegurku. “Lu ngapain senyum-senyum ke psikopat gitu?”
“Berisik lu.” Ucapku sambil berjalan meninggalkan Bintang dan pergi terlebih dahulu ke kelas.
Sesampai dikelas aku langsung duduk seperti biasa di kursiku sambil melihat-lihat PR yang tadi Dila tanyakan kepadaku. Dan ya, mau seberapa kali aku membaca soal itu tetap saja aku tak mengerti sedikit pun dengan soal-soal itu, tak lama bel masuk pun berbunyi sebelum Guru pengajar masuk Dila dan Ridwan yang tadi di kantin sudah kembali dan memasuki kelas bersama-sama.
Aku yang melihat mereka berdua yang akrab mem-buatku sangat cemburu, walau pun pada dasarnya aku dan Dila tidak ada hubungan apa pun tetapi tetap saja, aku tak ingin ada orang lain yang dekat dengan Dila kecuali aku seorang.
Dan setelah kejadian itu entah kenapa dengan berlalu-nya hari, Dila dan Ridwan juga jadi sangat akrab, aku merasa kehadiran Ridwan disisi Dila menjadi tembok pemisah antara aku dan Dila. Dan tampaknya Desi, Windi dan Ian tampak sudah biasa dengan kehadiran Ridwan yang mulai bergabung dengan kami setiap kami berkumpul ter-kecuali Bintang. Bintang tidak berusaha akrab dengan Ridwan entah dia menghargai perasaanku atau memang mempunyai masalah pribadi dengan Ridwan.
Satu bulan berlalu tepat saat itu adalah hari minggu dan hari di mana lomba dari Pancak silat dimulai, sebenarnya aku ingin datang ke acara tersebut tetapi pesanku tak kunjung di bales oleh Dila yang menanyakan di mana lokasi lombanya. Kemudian tak lama ada Notifikasi di ponselku dan aku melihatnya ternyata Bintang mengirimkan Lokasi tempat di mana dia dan ekskul pancak silat bertanding dan tak lupa juga dia memberikan jadwal Dila kepadaku bahwa Dila akan bertanding jam dua siang dan dia pun menyelip-kan kata-kata.
“Jika lu sayang sama Dila, lu datang kesini walau hanya sebentar”
Aku pun yang membaca perkataan Bintang itu tanpa pikir panjang langsung bersiap-siap untuk pergi ketempat lokasi pertandingan itu, tetapi di pertengahan jalan aku tersesat karena aku menaiki angkutan umum yang salah yang membuat aku harus memutar lumayan jauh dari tempat pertandingan Silat dimulai, yang harusnya aku sampai jam satu siang tetapi karena memutar aku baru sampai di sana tepat jam dua siang. Setelah aku masuk ke dalam Gor tersebut aku melihat Dila yang sedang ber-tanding melawan lawannya, Dila nampak waspada pada serangan lawannya tetapi karena Dila telah mempunyai banyak poin atas serangan yang masuk Dila pun me-menangkan pertandingan tersebut dengan tiga bendera untuk Dila dan satu untuk lawannya.
Bintang yang melihat aku datang dan sedang me-nonton pertandingan Dila langsung menghampiriku. “Dateng juga lu?”
“Gua nyasar ege, abis duit gua buat bulak-balik naik angkot tadi.” Ucapku sambil berusaha untuk meminjam uang kepada Bintang.
Bintang yang sudah tau modus ku langsung mengeluarkan uang dari dalam dompetnya. “Ah bangsat lu, bilang aja lu pengen pinjem duit kan?”
Aku tertawa sambil mengambil uang yang Bintang keluarkan dari dalam dompetnya. “Hahaha... Makasih.”
“Lu udah sadarkan kalau belakangan ini Dila akrab sama si Ridwan?”
“Iya gua juga sadar, tapi sejak kapan Dila deket sama si Ridwan?”
“Setau gua, Dila deket sama si Ridwan pas masuk ekskul.” Ucap Bintang sambil memberikan sebuah minuman kaleng kepadaku. “Gua juga kaget awalnya pas latihan Silat, Dila sama Ridwan beneran deket dan bahkan setiap selesai latihan Silat gua selalu liat Dila di bonceng oleh Ridwan buat di antar pulang.”
Sambil meneguk minuman yang tadi Bintang berikan kepadaku dan melirik Dila yang pergi meninggalkan area pertandingan untuk kembali ke bangku penonton. “Gua balik ya.”
“Oi... Setidaknya ucapin selamat dulu untuk Dila baru lu boleh pergi!” Ucap Bintang sambil melemparkan kaleng minuman bekas dia minum ke kepalaku.
“Iya-iya gua samperin.” Kataku sambil memegang kepalaku dan berjalan menuju tangga tempat masuknya arena yang di mana Dila akan melewati tangga itu.
Dila yang melihat sosok diriku pun kaget karena aku sudah menunggunya di atas anak tangga yang ia tuju dan Dila pun langsung menghampiriku.
“Deni!” Ucapnya dengan nada kaget sambil menaiki anak tangga dan mendekatiku. “Aku nggak nyangka kamu bakal datang kesini?”
Aku tersenyum sambil menjulurkan tanganku untuk berjabat tangan dengan Dila yang telat di hadapanku. “Selamat ya atas kemenangannya dan juga untuk juara pertamanya.”
Dila tersenyum. “Makasih yaudah dateng.”
Aku langsung mengusap kepalanya dan kembali ter-senyum. “Kan kemarin aku udah janji sama kamu, kalau aku bakal datang di hari pertandingan kamu.”
Dila tertawa kecil sambil memegang tanganku yang sedang mengusap kepalanya. “Hehehe... Kamu sama siapa kesini nya?”
“Aku sendiri kesini, tadinya aku nggak akan kesini soalnya aku ngechat kamu buat nanya di mana lokasi perlombaannya tapi nggak kamu bales. Tapi untungnya tadi pagi Bintang ngirimin lokasi perlombaannya yaudah aku datang aja”
“Maaf ya hp Dila abis baterai dan juga Dila nggak sempat buka hpnya dari kemarin.” Kata Dila merasa bersalah karena tidak membalas pesanku.
“Udah nggak papa.”
“Yaudah Dila kesana dulu ya.”
Sambil berjalan meninggalkanku dan pergi menuju grup silatnya dan tentu juga ada Ridwan yang langsung menyambutnya dengan hangat. Setelah aku memberikan selamat kepada Dila, aku pun langsung pergi meninggalkan tempat tersebut tanpa memberitahukannya kepada Bintang.
Ini adalah sebuah rasa yang terpendam, dari aku buat kamu, orang yang kucintai dan ku kagumi.
Semoga kamu peka. Aku mencintaimu, aku suka padamu. Tapi, aku tak berani mengungkapkannya. Saat aku di dekatmu saja, aku selalu berusaha untuk tidak terlihat mencintaimu. Karena aku takut.
Jika kamu mengetahuinya, kamu pasti akan menjauh dariku. Oleh karena itu, aku mencintaimu dalam diam. Dan aku, aku lebih memilih sakit karena memendam rasa. Dan menjadi pengagum rahasiamu saja. Perihal rasa sakit, aku sudah biasa. Bahkan aku pernah melewati dan mengalami hal yang paling menyakitkan. Yaitu pura-pura bahagia. Jika melihat kamu yang kusuka.
...****************...
Mencintai orang lain.