NovelToon NovelToon
Milikku Selamanya

Milikku Selamanya

Status: sedang berlangsung
Genre:Cerai / Percintaan Konglomerat / Diam-Diam Cinta / Crazy Rich/Konglomerat / Aliansi Pernikahan / CEO Amnesia
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: erma _roviko

Bukan pernikahan kontrak! Satu atap selama 3 tahun hidup bagai orang asing.

Ya, Aluna sepi dan hampa, mencoba melepaskan pernikahan itu. Tapi, ketika sidang cerai, tiba-tiba Erick kecelakaan dan mengalami amnesia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon erma _roviko, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Aku membutuhkan mu

Aluna melipat selimut quilt tebal yang baru dibelinya, meratakannya di atas ranjang king size mereka. Di luar jendela, matahari mulai condong ke barat, mewarnai langit dengan jingga samar, tepat waktu. Erick akan tiba sebentar lagi.

Ia menarik nafas panjang, menatap pantulan dirinya di cermin besar. Matanya tampak lelah, tetapi ia memaksakan sebuah senyum yang sudah ia latih sejak tadi pagi, hangat, menyambut, dan penuh kasih sayang. Sebuah senyum yang dirancang khusus untuk membuai Erick.

Kamar ini, kamar utama tempat mereka berbagi hidup, kini telah berubah drastis. 

Dulu, kamar ini adalah saksi bisu dinginnya hubungan mereka. 

Aluna telah menyingkirkan semua itu. Ia mengganti semua dekorasi demi pulihnya kesehatan Erick.

Ia memasang lampu baca baru dengan cahaya kuning yang lembut di nakas sisi Erick, menggantikan lampu spotlight putih yang tajam. 

"Sarang yang sempurna," bisik Aluna, seolah mengejek dirinya sendiri.

Ini bukan tentang renovasi. Ini tentang ilusi.

Aluna melihat jam tangannya. Sudah waktunya. Ia bergegas keluar, memastikan semua pelayan tahu peran mereka, bersikap natural, penuh perhatian, dan tidak ada yang boleh membocorkan rahasia bahwa renovasi ini hanya berlangsung dalam 24 jam terakhir.

Pintu depan terbuka. Suara roda kursi dorong yang bergesekan dengan lantai marmer terdengar mendekat. 

Erick masuk, dipapah oleh seorang perawat di satu sisi dan asisten pribadinya di sisi lain. 

Wajah Erick masih pucat, namun matanya memancarkan rasa lega yang mendalam karena akhirnya bisa meninggalkan bau antiseptik rumah sakit.

“Selamat datang kembali, Tuan Erick,” sapa para pelayan serempak.

Aluna segera maju, menggeser perawat dengan lembut. 

“Selamat datang di rumah, Sayang,” katanya dengan suara lembut, memeluk Erick sekilas, dan mencium keningnya. 

Ya, Aluna memainkan perannya sebagai seorang kekasih. Ia menikmati sampai Erick yang berusia 30 tahun kembali, baru ia pergi dengan damai tanpa rasa bersalah yang terjebak di hatinya. 

“Terima kasih, Aluna.” Erick membalas. Ia terlihat lemas.

“Ayo, ke kamar. Kau harus istirahat total,” ujar Aluna, membantu memegang pegangan kursi roda, mengarahkan Erick masuk ke kamar utama.

Begitu memasuki kamar, Erick seketika membeku. Ia menahan nafas. Pandangannya menjelajah, dari lantai hingga langit-langit.

“Ini... kamar siapa?” tanya Erick, suaranya tercekat. Ia mengangkat tangan, menggosok matanya sejenak, mengira ia masih dalam pengaruh obat bius ringan. 

“Aku... salah masuk?”

Aluna tersenyum, senyum yang ia harap terlihat tulus. Ia mendekat, memutar kursi roda Erick agar menghadap langsung ke ranjang.

“Selamat datang kembali, Sayang,” ulangnya, suaranya sedikit lebih keras. 

“Kita merenovasi. Bukankah sudah kukatakan sebelumnya? Aku bosan melihat kamarmu yang seperti suite hotel, dingin dan kaku. Jadi, aku memutuskan untuk membuatnya sedikit lebih seperti... rumah. Apa kamu suka?”

Erick masih terdiam, otaknya sibuk memproses. Ia mengenali tata letak, tetapi semua warnanya salah. Sprei, gorden, bahkan aroma ruangan yang kini dipenuhi wangi sederhana di sudut.

“Mer... renovasi?” Erick mengernyit. 

“Kapan? Aku tidak ingat kau pernah menyebutkannya.”

“Tentu saja kau tidak ingat, Sayang. Kau sedang sibuk melawan maut,” Aluna tertawa kecil yang terdengar dipaksakan. 

“Aku memulainya setelah kau melewati masa kritis. Aku tidak mau kau pulang ke kamar yang sama. Ini harus jadi awal yang baru, bukan?”

Erick perlahan mengangguk, matanya menunjukkan sedikit rasa bersalah karena tidak ingat. 

“Aku... suka. Hangat. Terlalu banyak kejutan darimu belakangan ini, Aluna.”

"Anggap saja hadiah ucapan syukur karena kau sudah pulih,” balas Aluna ringan, menghindari tatapan Erick yang mulai terasa menusuk.

“Sekarang, berbaringlah. Sudah saatnya minum obat.”

Setelah makan malam dan obat-obatan yang berhasil membuat Erick tenang, Aluna mengira tugasnya sudah selesai. 

Aluna membantu Erick berganti pakaian menjadi piyama katunnya yang lembut, memastikan ia nyaman, dan menyelimutinya hingga dada.

“Aku akan tidur di kamar tamu,” ujar Aluna sambil memungut sisa gelas. 

“Aku sudah menyiapkan semuanya di sebelah. Jika kau perlu bantuan, tinggal panggil aku saja, aku ada di kamar sebelah!” 

“Tunggu!” panggil Erick pelan.

Aluna menoleh. Erick terlihat seperti anak kecil yang baru saja ditinggal ibunya di kamar. Ia menyandar di kepala ranjang, bantal empuk menopang punggungnya.

”Aku tidak bisa tidur.”

Aluna meletakkan gelasnya kembali. 

“Kau butuh sesuatu? Atau mau aku bawakan teh chamomile hangat? Aku bisa memijat kakimu kalau mau.”

Erick menggeleng. Ekspresinya mendadak berubah serius. 

“Aku hanya membutuhkanmu.”

Aluna merasakan jantungnya mencelos. 

“Aku di sini, Erick. Aku hanya di kamar sebelah. Kalau butuh apa-apa, panggil saja, aku tidak akan mengunci pintunya.”

“Aku tidak butuh pelayan,” katanya, nadanya sedikit tajam. 

“Aku hanya ingin kau ada di sampingku. Setelah semua yang terjadi... aku tidak mau tidur sendirian lagi. Rumah sakit itu... dingin, Aluna. Aku benci kesendirian.”

Aluna terdiam. 

Kata-kata manja, rapuh, dan ketakutan bercampur aduk di udara. 

Ini bukan Erick yang ia kenal, Erick yang kaku, independen, dan selalu menjaga jarak. 

Ini adalah Erick yang baru keluar dari pengalaman mendekati kematian.

“Ranjang ini kecil untuk kita berdua, dan juga lukamu__” sanggah Aluna, mencoba memegang teguh batasan.

“Tidak. Ranjang ini cukup besar. Kita tidak harus berdekatan, cukup ada kau di sisi lain.” Erick memohon, matanya yang lelah menatap Aluna dengan tulus. 

“Jangan tolak aku, Aluna. Aku tidak meminta lebih.”

Melihat tatapan itu, Aluna tahu ia kalah. 

Aluna menghela nafas panjang dan berat. Ia berjalan ke lemari, mengambil piyama sutra miliknya, dan masuk ke kamar mandi tanpa bicara. Ketika ia keluar, ia mendapati Erick sudah mematikan lampu di sisinya, hanya menyisakan lampu baca kecil yang cahayanya kuning redup.

“Baiklah. Aku tidur di sini,” putus final Aluna, naik perlahan ke ranjang di sisi yang berlawanan. 

“Tapi kita harus sepakat. Ini murni tidur bersama, Erick. Tidak ada hal lain. Kau perlu pemulihan total!” 

Erick tersenyum kecil. “Tentu. Aku sudah senang kau mau berbaring di sebelahku.”

Aluna membalikkan badan, menghadap dinding, memunggungi Erick. Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa jarak satu meter antara mereka sudah cukup.

Lampu baca di sisi Erick mati. Kamar gelap, hanya ada cahaya bulan samar dari celah gorden.

Beberapa menit berlalu dalam keheningan yang menyesakkan. Aluna berusaha keras untuk terlelap.

Tiba-tiba, ia merasakan berat di pinggangnya. Tangan Erick, yang terasa hangat dan sedikit bergetar, memeluknya dari belakang. Tidak ada niat seksual, hanya sebuah pelukan erat, seperti seorang anak kecil yang memeluk boneka kesayangannya saat ketakutan.

“Erick,” panggil Aluna pelan, mencoba melepaskan diri.

“Sebentar saja, Aluna,” bisik Erick di belakang lehernya. Suaranya terdengar begitu lelah dan rentan, menembus semua pertahanan Aluna. 

“Aku hanya... butuh merasakan kau itu nyata. Aku tidak mau sendirian lagi!”

Aluna membeku. Tangannya yang semula ingin menyingkirkan tangan Erick kini luruh tak berdaya. Ia membiarkan suaminya memeluknya. 

Ia membiarkan kehangatan tubuh Erick menjalar ke punggungnya. 

Untuk sejenak, ia lupa bahwa pernikahan 3 tahun yang selalu dingin. Ia lupa bahwa ia sedang menjalankan peran.

Ia hanya merasakan suaminya ada di sana, dan ia merindukan sentuhan itu.

Air mata yang ia tahan sejak pulang dari rumah sakit akhirnya menetes, jatuh ke bantal baru yang beraroma bunga.

Di dalam hati, ia menjerit. ‘Ini semua palsu, Lun. Jangan sampai kau terlena. Ini hanya karena dia sedang hilang ingatan, dan akan membencimu setelah pulih.’

Erick yang mungkin sudah tertidur, mengeratkan pelukannya. Sedangkan Aluna merasakan jebakannya di sarang yang telah ia ciptakan sendiri. 

1
kalea rizuky
lanjut donk
erma _roviko: Siap👍
total 1 replies
kalea rizuky
Aluna pura2 bahagia g enak mending jujur trs cerai biar aja erik gila sebel q liat laki. gt
Soraya
hadiah pertama dari q lanjut thor
erma _roviko: siap😍😍
total 1 replies
Soraya
mampir thor
erma _roviko: Makasih kak😍
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!