Satu tubuh, dua jiwa. Satu manusia biasa… dan satu roh dewa yang terkurung selama ribuan tahun.
Saat Yanzhi hanya menjalankan tugas dari tetua klannya untuk mencari tanaman langka, ia tak sengaja memicu takdir yang tak pernah ia bayangkan.
Sebuah segel kuno yang seharusnya tak pernah disentuh, terbuka di hadapannya. Dalam sekejap, roh seorang dewa yang telah tertidur selama berabad-abad memasuki tubuhnya. Hidupnya pun tak lagi sama.
Suara asing mulai bergema di pikirannya. Kekuatan yang bukan miliknya perlahan bangkit. Dan batas antara dirinya dan sang dewa mulai mengabur.
Di tengah konflik antar sekte, rahasia masa lalu, dan perasaan yang tumbuh antara manusia dan dewa… mampukah Yanzhi mempertahankan jiwanya sendiri?
Atau justru… ia akan menjadi bagian dari sang dewa selamanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cencenz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10: Duel yang Menggetarkan Arena
Langit mulai memudar ke warna perak pucat saat nama-nama peserta berikutnya dipanggil satu per satu. Suasana arena tak lagi seramai tadi, bukan karena antusiasme mereda, melainkan karena setiap pertarungan mulai terasa lebih penting, lebih berat, dan lebih menentukan.
Sorak sorai berubah menjadi gumaman, tepuk tangan berganti dengan bisikan strategi dan spekulasi.
Di antara suara-suara itu, pengawas pertarungan memanggil nama berikutnya dengan lantang:
"Yanzhi dari Sekte Tianhan… melawan Bai Sheng dari Sekte Baiyuan."
Sejenak, kerumunan murid mendadak hening.
Kemudian terdengar bisik-bisik:
"Itu dia. Muridnya Senior Lu Ming."
"Yang katanya punya kekuatan aneh tapi belum stabil?"
"Dia bakal kalah, sepertinya. Bai Sheng termasuk petarung teknikal di Baiyuan. Jarang kelihatan, tapi tajam."
Yanzhi berdiri perlahan. Pundaknya kaku, tapi langkahnya mantap. Ketika ia melangkah ke tengah arena, mata semua orang seolah mengikuti setiap gerakannya, bukan karena kehebatan yang sudah terbukti, melainkan karena rasa penasaran.
Bai Sheng, pemuda bermata sempit dengan gerakan ringan, sudah menunggu. Ia menggenggam sebuah kipas besi yang terlipat di tangannya, senjata khasnya yang dikenal bisa mengendalikan riak energi dalam serangan halus tapi mematikan.
"Aku dengar kau anak emasnya Senior Lu Ming sekarang," kata Bai Sheng sambil menebar senyum tenang. "Sayang sekali, aku tidak tertarik memelihara reputasi orang lain."
Yanzhi tidak menjawab. Ia hanya berdiri tegak, menatap lawannya tanpa emosi. Tapi dalam kepalanya, suara itu sudah terdengar.
"Ah, akhirnya. Kau naik panggung, Kepala Batu."
"Ini bukan panggung. Ini arena," balas Yanzhi dalam hati, menarik napas dalam.
"Dan tetap saja, kalau kau tersandung, semua akan menertawaimu. Tapi jangan khawatir… aku akan membantu, asal kau tidak membuatku malu."
Suara pengawas pertarungan terdengar lantang:
"Mulai!"
Bai Sheng bergerak cepat, kipas besinya terbuka dan menciptakan riak energi berlapis. Angin tajam berdesir ke arah Yanzhi, seperti bilah-bilah tak kasat mata.
Yanzhi menjejak tanah, menghindar ke kiri dengan loncatan pendek, lalu menggenggam udara di depannya. Api mulai berkumpul di telapak tangannya, bergolak liar, tapi kini lebih terkendali dari sebelumnya.
"Kau belajar," gumam si roh dalam benaknya. "Coba jangan mati sebelum duel yang sebenarnya."
Yanzhi melemparkan api ke arah Bai Sheng dalam dua gelombang berurutan. Serangan itu cepat, tapi Bai Sheng memutar kipasnya, menciptakan tameng tipis berbentuk pusaran yang menepis serangan api sebelum mencapai tubuhnya.
"Bagus," gumam Bai Sheng. "Tapi belum cukup."
Ia melesat ke depan, dan untuk sesaat, udara di sekeliling mereka seperti terbelah.
Yanzhi melindungi tubuhnya dengan aura api, menahan serangan lawan sambil mundur beberapa langkah. Kaki kirinya menyeret tanah, dan panas dari tubuhnya membentuk bekas terbakar samar di tanah.
"Jangan mundur. Hadapi," suara dalam benaknya terdengar seperti perintah.
Dan Yanzhi, kali ini, menurutinya.
Api menyala lagi, kali ini dalam bentuk spiral kecil yang ia lontarkan seperti tombak ke arah Bai Sheng, serangan improvisasi, belum sempurna, tapi cukup untuk memaksa lawan mundur sejenak.
Pertarungan terus berlangsung, dan meski tak ada jurus besar seperti Tebasan Seribu Li, tiap gerakan mereka membuat arena bergemuruh oleh sorakan dan tepuk tangan.
Ketika waktu duel hampir habis, pengawas pertarungan mengangkat tangan:
"Cukup!"
Bai Sheng berhenti melangkah. Kipasnya sudah terlipat kembali. Yanzhi berdiri dengan nafas terengah, pakaiannya robek sedikit di bagian lengan, tapi matanya masih menyala.
"Hasil duel: Seri."
Beberapa penonton tampak kecewa, sebagian justru bersorak. Tapi Yanzhi hanya menunduk sebentar, lalu berjalan turun dari arena.
"Kau tidak mati," komentar roh di dalam dirinya datar.
"Tentu saja tidak."
"Hanya terengah seperti kuda tua. Tapi... aku akui, itu lebih baik dari yang kukira."
Yanzhi tersenyum tipis, lebih karena kelegaan daripada kemenangan.
......................
Sorak-sorai belum sepenuhnya reda ketika suara lantang kembali menggema dari panggung pengawas.
"Pertarungan berikutnya, rangkaian terakhir dari adu tanding hari ini. Rou Han dari Sekte Baiyuan, melawan Yanzhi dari Sekte Tianhan."
Suasana seketika berubah. Riuh rendah para murid berubah jadi bisik-bisik. Beberapa menoleh satu sama lain, tak percaya dengan nama yang barusan disebut.
"Dia… dipasangkan dengan Rou Han?"
"Yanzhi baru saja selesai tanding…"
"Ini gila. Rou Han itu—"
Namun di tengah kegaduhan itu, Yanzhi melangkah maju tanpa sepatah kata pun. Napasnya masih belum sepenuhnya pulih, tapi matanya… tenang. Tegas.
Di sisi lain, Rou Han berdiri dengan tangan di belakang punggung, langkahnya santai saat menaiki arena. Angin seolah menyambutnya, membuat jubah putihnya berkibar lembut.
"Aku penasaran," ucap Rou Han datar, namun terdengar hingga ke sisi lapangan, "seberapa jauh kekuatan yang bisa kau tunjukkan… sebelum nyalamu padam."
Yanzhi tidak menjawab. Ia hanya mengangkat dagunya sedikit, lalu mengambil posisi. Api samar mulai bergetar di udara di sekelilingnya.
Roh di dalam dirinya mendecak pelan.
"Sekarang atau tidak sama sekali, kepala batu. Buktikan kau layak berdiri di bawah langit yang sama denganku."
Yanzhi mengangkat kepalanya, menatap lurus ke arah Rou Han.
Api menyala di sekelilingnya, kecil tapi tak padam.
Tanpa kata, ia melangkah maju.
Pertarungan pun dimulai.
......................
Angin mendadak terasa lebih dingin saat dua sosok itu berdiri berhadapan di tengah arena batu yang luas. Langkah Rou Han ringan, seolah angin membimbingnya. Di sisi lain, Yanzhi tampak kokoh dalam diam, api samar berkilau di sekeliling kakinya.
Dari bangku para tetua, mata para senior tertuju penuh pada pertarungan ini. Para murid pun menahan napas. Ini bukan sekadar pertarungan biasa, ini adalah penentuan gengsi antara dua sekte besar.
Pengawas pertarungan berdiri di sisi arena. Ia mengangkat tangan, lalu berkata lantang,
"Duel dimulai!"
Dan dalam sekejap, Rou Han sudah bergerak.
Tubuhnya melesat ke depan, langkahnya secepat bayangan. Aura pedang menggulung di belakangnya, membentuk jalur energi panjang seperti retakan udara.
"Tebasan Seribu Li—Pembuka!"
Udara seolah terbelah. Serangan awalnya tidak bertujuan melukai, tapi mengukur dan menekan. Yanzhi segera melompat ke samping, api di tangannya meletup untuk mendorong tubuhnya menghindar.
Satu percikan api jatuh ke tanah, langsung meledak kecil.
"Kau mau bertahan terus?" celetuk roh di benaknya. "Atau sudah siap membuatnya tercengang?"
"Aku belum gila," balas Yanzhi dalam hati. "Satu langkah salah, aku bisa hangus di tempat."
"Tepatnya: kita berdua. Jadi jangan bodoh."
Rou Han menyerang lagi, kali ini lebih cepat. Aura pedangnya kini menyebar membentuk garis-garis silang, menutup ruang gerak Yanzhi. Tapi saat salah satu tebasan nyaris menyentuh bahunya, Yanzhi mengayunkan lengannya.
"Api Pemecah Jalur!"
Ledakan api keluar dari telapak tangannya, menabrak serangan Rou Han dan memecah formasi angin sejenak. Debu beterbangan.
Rou Han berhenti satu langkah. Tatapannya menyipit.
"Api-mu mulai bisa bicara. Menarik."
Yanzhi berdiri kembali. Nafasnya berat. Tapi matanya kini menyala.
"Kalau kau mau tahu sampai sejauh mana aku bisa melawan—" ia mengepalkan tinjunya, dan aura api mulai naik dari bahunya ke langit, "—aku akan tunjukkan sekarang."
Roh itu bersuara lirih, namun bergetar.
"Begitu. Akhirnya nyalimu menyala juga."
......................
Arena kembali dipenuhi denting aura yang beradu. Api dan angin saling bertabrakan, membentuk pusaran panas dan tekanan yang menggema hingga ke pinggir arena.
Di bangku penonton, para murid dari Sekte Tianhan mulai berdiri dari duduk mereka, tak menyangka bahwa Yanzhi bisa bertahan sejauh ini.
"Dia benar-benar menahan jurus Rou Han!" seru salah satu murid.
"Itu bukan sekadar bertahan. Lihat nyalanya… kekuatan apinya mulai berubah," timpal yang lain dengan mata berbinar.
Sebagian murid Sekte Baiyuan mulai gelisah. Mereka tahu jurus Rou Han tidak main-main, banyak dari mereka sendiri yang kalah telak olehnya. Tapi sekarang, bocah dari Tianhan itu masih berdiri, bahkan mulai menekan balik.
Di tribun para tetua, wajah para pemimpin sekte mulai menunjukkan ketertarikan yang lebih dari sebelumnya.
Tetua Qian dari Sekte Tianhan bersandar ke depan, tatapannya tajam.
"Aura itu... meningkat secara tidak wajar. Tapi anak itu mengendalikan api dengan tubuh biasa. Mustahil jika tidak ada bantuan eksternal."
"Tubuhnya seakan menampung sesuatu," gumam Tetua Mei dengan nada serius. "Tapi jelas belum sepenuhnya dia kuasai. Jika meledak…"
"Arena ini bisa hancur," potong Tetua Luo. "Tapi lihat—dia menahannya."
Di sisi lain, dari tribun Sekte Baiyuan, Tetua Xu mengangkat alis.
"Anak Tianhan itu... menyimpan napas api seakan napas ketiga. Bukan teknik murid biasa."
Tetua Qin berdehem pelan. "Dia belum menang. Tapi jika Rou Han tidak hati-hati, hasilnya tak akan mudah ditebak."
Sementara itu, Senior Lu Ming belum bergeming dari tempat duduknya. Tubuhnya tenang, tapi jemarinya menggenggam gagang pedang di pangkuannya.
"Jangan buru-buru… kendalikan hatimu, Yanzhi," bisiknya, seolah ingin kekuatan itu menjangkau muridnya.
......................
Kembali ke arena
Rou Han mengangkat pedangnya tinggi, angin di sekelilingnya berubah tajam dan dingin. Serbuk batu beterbangan dari pijakan kakinya.
"Kalau kau bisa bertahan dari ini," katanya, "maka aku akan mengakuimu."
Yanzhi tak gentar. Api yang membungkus tubuhnya semakin padat. Matanya bersinar, bukan karena percaya diri, tapi karena ia tak punya pilihan lain selain maju.
"Ayo, tunjukkan tebasan itu. Aku akan bertahan."
Roh dalam dirinya berbisik pelan, nada sarkas yang kali ini lebih dingin dari biasa,
"Akhirnya. Kau mulai bertarung seperti seseorang yang tak ingin mati sia-sia."
Serangan pamungkas Rou Han datang seperti badai. Energi Tebasan Seribu Li kembali memekik, menyapu udara dengan tekanan tajam dan daya rusak yang sulit dibendung. Debu naik ke udara, dan semua orang di arena seakan menahan napas.
Yanzhi berdiri dengan lutut sedikit goyah. Nafasnya berat. Tubuhnya sudah penuh luka memar dan baju latihan sobek di beberapa bagian. Ia tahu, kalau ia menerima serangan ini langsung, dia bisa jatuh tak sadarkan diri. Atau lebih buruk.
Roh dalam dirinya muncul, suaranya tajam namun tegas:
"Biarkan aku mengambil alih. Sekarang."
Yanzhi menggeleng dalam hati, wajahnya tetap menatap ke depan.
"Tidak. Jangan."
"Kau akan mati kalau tetap keras kepala!"
"Kalau aku jatuh, biar sebagai diriku sendiri. Aku tidak akan memperlihatkan kekuatanmu pada semua orang."
"Tapi ini bukan waktunya menyembunyikan harga diri! Lihat lawanmu—!"
"Aku bukan kau. Dan aku tidak mau menjadi kau."
Tubuh Yanzhi mulai bergetar. Matanya nyaris berubah, percikan api tua menyala samar di bola matanya, tanda roh itu hampir mengambil alih.
Aura di sekelilingnya mulai berubah, lebih padat, lebih panas, seperti gunung berapi yang hampir meletus.
Tapi tiba-tiba—
Yanzhi berteriak dalam hati.
"Berhenti!! Jangan muncul!!"
Serangan itu mendekat. Cahaya putih menyapu, dan—
BRUGGH!
Serangan menghantam sisi tubuh Yanzhi. Ia terpental, darah menyembur dari mulutnya.
Penonton terdiam.
Debu membumbung.
Tetapi... Yanzhi tidak jatuh diam.
Tubuhnya gemetar, darah masih menetes dari mulutnya, tapi tatapannya teguh.
Roh itu bicara lagi, suaranya lebih pelan dari biasanya.
"Kau bodoh. Sangat bodoh."
...****************...