Di sebuah pulau kecil di Jeju, Lee Seo Han menjalani kehidupannya yang sunyi. Ditinggal kedua orang tuanya sejak remaja, ia terbiasa bergulat dengan kesendirian dan kerasnya kehidupan. Bekerja serabutan sejak SMA, ia berjuang menyelesaikan pendidikannya sendirian, dengan hanya ditemani Jae Hyun, sahabatnya yang cerewet namun setia.
Namun musim panas itu membawa kejutan: Kim Sae Ryeon, cahaya yang menyinari kegelapan hidupnya. Perlahan tapi pasti, Seo Han membuka hatinya untuk merasakan kebahagiaan yang selama ini ia hindari. Bersama Sae Ryeon, ia belajar bahwa hidup bukan hanya tentang bertahan, tapi juga tentang mencintai dan dicintai.
Tapi takdir berkata lain. Di puncak kebahagiaannya, Seo Han didiagnosis mengidap ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis), penyakit langka yang secara perlahan akan melumpuhkan tubuhnya. Di hadapan masa depan yang tak menentu dan ketakutan menjadi beban, Seo Han membuat keputusan paling menyakitkan: mengorbankan cintanya untuk melindungi orang tersayang
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon rahmad faujan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
AYAH SANG PENYELAMAT
Sementara itu, di sebuah vila mewah dekat tepi pantai, ayah Seo Han duduk sendirian. Ia tidak bisa pulang ke rumahnya yang sebenarnya.
Dia duduk di balkon, memandangi hamparan laut luas yang hitam dan tak bertepi di bawah cahaya bulan redup. Suara ombak seharusnya menenangkan, tapi malam ini, ia terdengar seperti raungan kemarahan Seo Han yang bergema.
Ia memegang gelas kristal mahal berisi whiskey seperti biasanya. Ia sudah menangis, dan rasa sakitnya nyata.
"Dia tidak akan pernah memaafkanku. Dia benar. Ini semua salah aku, kenapa aku lari demi uang dan kebodohanku sendiri."
Ia teringat Varida.
...----------------...
💔 Kilas Balik: Pengkhianatan Ganda
Ruang tamu rumah yang berantakan. Lampu redup membiaskan bayangan kasar di wajah mereka. Sebelum Seo Han mengganti namanya, ayahnya dan Varida sedang bertengkar. Suara mereka berbisik namun penuh tekanan, seperti gelembung yang siap pecah.
"Mas, aku mau pisah. Dan aku tidak sudi mengurus Rey lagi. Aku akan pulang, kembali ke Indonesia," desah Varida, nadanya datar, tanpa emosi, sebuah pukulan telak.
"Apa kamu waras?! Rey masih kecil, dia butuh kamu!" raung Ayah, tangannya mencengkeram tepi meja.
"Aku capek hidup begini, Mas! Aku capek dihina teman-teman karena punya suami yang tiba-tiba jatuh miskin! Aku capek berpura-pura!"
"Aku jatuh miskin karena siapa?! Di Indonesia, aku menuruti apa kemauan kamu! Aku mempertaruhkan segalanya! Tapi apa? Kita malah ditipu! Uangku kerja selama itu habis buat bayar utang kamu!" Suara Ayah pecah, perpaduan marah dan frustrasi.
"Jadi kamu menyalahkanku?! Kamu sendiri yang bodoh, kenapa jadi orang yang mudah ditipu dan tidak pintar berbisnis!" balas Varida sinis.
Suaminya yang marah besar, tangannya terangkat hendak menampar.
"Apa? Ayo tampar aku! Lakukan! Tapi ketahuilah, mulai detik ini aku mau pisah!" Varida menantang, matanya dingin dan kosong.
"Baik! Aku terima! Dan mulai hari ini, kamu aku talak!"
Tepat pada saat itu, Rey (Seo Han kecil), yang ketakutan di balik pintu kamarnya, berlari keluar. Ia melihat ibunya menarik koper besar menuju pintu keluar.
"Ibu! Aku mohon, jangan pergi!" Rey kecil berteriak, suaranya kecil dan penuh kepanikan, ia memeluk kaki ibunya yang terbalut boots.
Varida hanya menatapnya sekilas, tanpa sentuhan, tanpa ekspresi. Ia menarik kakinya dengan kasar dan melangkahi anaknya yang kini terduduk di lantai, menangis tanpa suara.
Varida pergi, meninggalkannya karena kegagalannya. Beberapa bulan kemudian, ia sendiri yang meninggalkan Rey karena bangkrut, hanya menyisakan uang sewa dan beberapa bungkus mi instan. Dua pengabaian itu, dipicu oleh uang dan harga diri, berujung pada kebencian murni dari mata anaknya.
...----------------...
Ia berhasil membangun kembali kekayaannya, tapi dengan harga yang tak terbayar: jembatan menuju hati anaknya sudah putus.
Setelah merenung hingga dini hari, sebuah keputusan dingin muncul, menggantikan keputusasaan yang sempat menguasainya. Ini bukan lagi tentang memanfaatkan Seo Han. Ini tentang menebus diri.
Ia berdiri, mengepalkan tangan.
"Aku tidak bisa biarkan dia membenciku selamanya dan berpikir lebih baik jadi yatim piatu," desisnya. Ini adalah keangkuhan seorang ayah yang menyesal, yang ingin setidaknya menjadi kenangan yang lebih baik, atau sekadar memberi kesempatan pada anaknya untuk meluapkan amarah sekali lagi.
"Ayah harus kembali. Ayah harus minta maaf," katanya dengan suara lebih mantap, sebuah janji yang terlambat.
Dia mengambil kunci mobilnya yang mengkilap. Ia tidak peduli jika Seo Han melemparinya lagi. Ia harus kembali. Ia harus menghadapi badai yang ia ciptakan.
Suara mobil melaju memecah kesunyian malam. Sang ayah memutuskan kembali untuk meminta maaf.
Tapi saat tiba di rumah Seo Han, pintunya tidak terkunci. Ia menggeser pintu.
"Anak ini, kebiasaan lupa kunci rumah," gumamnya sambil berjalan mencari Seo Han.
Ia membuka pintu kamar dan melihat Seo Han tertidur. Saat mendekat, ia meraba dahi anaknya.
"Kamu demam, Nak?"
Tidak ada respons. Ayahnya khawatir dan menggoyang-goyang tubuh Seo Han, tapi tetap tidak ada reaksi.
"Nak, bangun. Ayah di sini. Ayah minta maaf."
Masih tidak ada jawaban. Dahi Seo Han terasa panas membara di bawah telapak tangannya. Segera ia menggendong Seo Han dan membawanya ke mobil, menuju rumah sakit karena anaknya pingsan.
Ayah sangat panik segera melajukan mobilnya.
Mobil hitam mengkilap itu berhenti mendadak di depan IGD. Ayah Seo Han menggendong putranya keluar. Langkah kakinya cepat dan panik di atas lantai keramik rumah sakit. Ia berteriak minta tolong.
"Tolong! Anak saya demam tinggi dan pingsan!"
Seorang perawat mendekat dengan kursi roda. Ayah menidurkan Seo Han dengan hati-hati, tubuhnya panas dan lemas seperti boneka kain.
Semua proses pendaftaran terasa seperti mimpi buruk yang lambat bagi sang ayah. Ia menjawab pertanyaan perawat dengan tergesa-gesa dan gugup.
"Nama pasien?"
"Seo Han... atau Arsya. Seo Han!"
"Tanggal lahir?"
"Tujuh belas... tujuh belas Januari 1999? Ya, 1999."
"Hubungan dengan pasien?"
"Ayahnya! Saya ayahnya!"
Matanya tak lepas dari Seo Han yang dibawa masuk tim medis. Di balik tirai putih ruang pemeriksaan, putranya dirawat.
Dia ditinggal sendirian di ruang tunggu yang dingin dan terang. Kakinya tak bisa diam. Ia mondar-mandir, jasnya compang-camping dan bekas air mata di wajahnya membuatnya mencolok di antara pasien lain.
Ia meraih ponsel canggihnya, memikirkan siapa yang harus dihubungi.