Sejak bayi, Kim Areum menghilang tanpa jejak, meninggalkan tiga kakaknya—Kim Jihoon, Kim Yoonjae, dan Kim Minjoon—dengan rasa kehilangan yang tak pernah padam. Orang tua mereka pergi dengan satu wasiat:
"Temukan adik kalian. Keluarga kita belum lengkap tanpanya."
Bertahun-tahun pencarian membawa mereka pada sebuah kebetulan yang mengejutkan: seorang gadis dengan mata yang begitu familiar. Namun Areum bukan lagi anak kecil yang hilang—ia tumbuh dalam dunia berbeda, dengan ingatan kosong tentang masa lalunya dan luka yang sulit dimengerti.
Sekarang, tiga kakak itu harus membuktikan bahwa ikatan darah dan cinta keluarga lebih kuat daripada waktu dan jarak. Bisakah mereka menyatukan kembali benang-benang yang hampir putus, atau Areum telah menjadi bagian dari dunia lain yang tak lagi memiliki ruang untuk mereka?
"Seutas benang menghubungkan mereka—meregang, namun tidak pernah benar-benar putus."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon BYNK, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15: Keluarga Park lagi
Seharian ini Areum bekerja keras seperti biasanya, melayani setiap pelanggan yang datang dengan senyum ramah. Semua pelanggan tampak puas dengannya—bahkan tak jarang ada yang secara khusus meminta Areum untuk melayani mereka langsung. Hal itu sempat membuatnya sedikit kelelahan. Tapi meskipun begitu, Areum tetap menjalani semuanya dengan tenang dan senyum profesional tak pernah lepas dari wajahnya.
Menjelang petang, langit Seoul mulai menguning. Tapi justru saat itulah pelanggan semakin banyak berdatangan. Areum tahu, sore menjelang malam adalah jam-jam sibuk. Tak seperti pagi hingga siang yang biasanya tak seramai ini, waktu sore selalu dipadati pelanggan yang duduk berlama-lama menikmati suasana café.
"Areum-ssi, bisa bantu bawakan ini?" tanya San-Ha, menyodorkan nampan berisi beberapa pesanan. Areum, yang saat itu sedang mencatat pesanan lain, segera berjalan dan mengambil nampan tersebut.
“Baik, Oppa,” ujarnya sigap, lalu melangkah mengantar pesanan ke meja pelanggan.
Begitulah rutinitas hariannya. Di kafe ini, kerja sama tim adalah segalanya. Tak peduli kamu bertugas di bagian mana—kasir, dapur, atau barista—jika ada yang butuh bantuan, maka yang lain akan sigap menolong.
Waktu terus berlalu. Kesibukan demi kesibukan ia jalani dengan baik hingga tak terasa jam telah menunjukkan pukul setengah delapan malam. Suasana café masih cukup ramai, tapi kini saatnya Areum menyudahi shiftnya. Ia bersiap-siap untuk pulang, lalu berpamitan pada karyawan shift malam, juga pada Lisa, Irene, dan San-Ha. Tubuhnya terasa lelah dan pegal, tapi di balik itu, Areum bersyukur karena hari ini bisa ia lalui tanpa gangguan berarti.
Langkahnya tenang saat berjalan menuju halte bus. Ia memang terbiasa pulang-pergi menggunakan kendaraan umum. Selain lebih hemat, Areum merasa lebih aman berada di tengah banyak orang yang juga menempuh arah serupa.
Begitu duduk di bangku halte, Areum membuka ponselnya. Ia mulai membalas beberapa pesan dari Hassa dan Revan. Meski mereka tak lagi berada di universitas yang sama, komunikasi di antara mereka tetap terjaga.
Hassa kini melanjutkan studi S2 di luar Korea, sedangkan Revan telah kembali ke negara asalnya, Indonesia. Terkadang mereka kesulitan untuk saling terhubung karena perbedaan waktu yang cukup jauh. Namun begitu, ketiganya selalu berusaha untuk saling menjaga hubungan, berbagi cerita—sekalipun hanya lewat pesan teks yang sering kali tertunda.
Di tengah keasyikannya bermain ponsel, tiba-tiba seorang pria yang tampak tertatih berjalan di trotoar. Tatapannya waspada, seolah mencari sesuatu, hingga akhirnya ia duduk di samping Areum. Awalnya Areum tidak terlalu peduli, meskipun ia sedikit menggeser posisi duduknya. Namun, saat pria itu mendadak bersandar padanya, Areum yang sedang fokus pada layar ponselnya sontak tersentak kaget. Refleks, ia bangkit berdiri, hingga tubuh pria itu terjatuh lemas di bangku halte.
"Astaga… hey, kamu tidak apa-apa?" tanyanya sambil tetap berdiri di tempat, matanya tak lepas mengamati pria dengan hoodie hitam yang kini terlihat babak belur—seperti seseorang yang baru saja terlibat perkelahian.
Areum berusaha mengabaikan situasi itu. Ia tahu harus segera pulang, apalagi bus yang ia tunggu sejak tadi akhirnya datang. Namun, empatinya sebagai manusia tidak mengizinkan kaki ini melangkah begitu saja, meninggalkan seseorang yang tampak tak berdaya. Di tengah lamunannya yang penuh keraguan, bus terakhir itu pun pergi tanpa dirinya, dan ia baru menyadari hal itu beberapa saat kemudian.
"Astaga… sekarang bagaimana?" gumamnya gelisah, namun pandangannya masih tertuju pada pria yang terbaring lemah di bangku halte. Ia akhirnya berjongkok di samping pria itu dan kembali berbicara pelan.
"Kamu bisa dengar aku? Aku akan membantumu…"
Namun, tak ada respons. Napas pria itu masih ada, tapi tetap tak bergerak. Setelah menimbang banyak hal, Areum pun memberanikan diri menyentuh kantong celana pria tersebut. Ia tahu ini bukan tindakan sopan, tapi ia tidak bisa membiarkan orang asing ini terlantar begitu saja.
"Maaf ya… aku benar-benar minta maaf," bisiknya pelan, lalu membuka dompet pria itu, berharap bisa menemukan sesuatu yang bisa mengarah pada identitasnya. Beruntungnya, pria itu membawa SIM—kartu biru keabu-abuan dengan foto dan data pribadi.
“Park Jungwoo?” lirihnya membaca nama yang tertera di sana. Pandangannya kemudian jatuh pada baris alamat yang tercetak jelas. Seketika, ia tersentak. Itu... alamat rumah tempat Ji-Sung dan Taeyoon tinggal. Pikirannya langsung dipenuhi berbagai kemungkinan. Apakah pria ini bagian dari keluarga Park?
"Aku harus menolongnya."
Areum segera membuka aplikasi pemesanan taksi di ponselnya. Cukup lama ia menunggu hingga akhirnya sebuah mobil berhenti di tepi jalan. Ia meminta sopir taksi itu membantunya mengangkat tubuh pria yang nyaris tak sadarkan diri itu ke dalam mobil. Sopir tersebut sempat menunjukkan raut curiga, namun Areum buru-buru berkata bahwa pria itu adalah pacarnya yang baru saja mengalami pertengkaran hebat. Kebohongan kecil itu cukup meyakinkan si sopir untuk tidak bertanya lebih jauh.
Setelah menempuh perjalanan cukup panjang, akhirnya taksi yang mereka tumpangi berhenti di depan gerbang kediaman keluarga Park. Areum, yang dari tadi tampak gelisah, segera meminta bantuan sopir untuk mengantar mereka sampai ke teras rumah. Ia bahkan berjanji akan memberikan tambahan ongkos, membuat sang sopir akhirnya mengangguk setuju.
Dengan penuh usaha, sang sopir memapah tubuh Jungwoo yang setengah sadar, nyaris tak mampu berjalan sendiri. Langkah mereka tertatih menyusuri jalan masuk yang dihiasi taman rapi dan lampu-lampu kecil yang mulai menyala dalam gelap.
Satpam yang berjaga di pos pun tidak mempermasalahkan kehadiran mereka. Mereka mengenali Jungwoo, salah satu anggota keluarga Park yang sudah sering terlihat keluar masuk rumah besar itu. Para penjaga pun ikut membantu, membuka pintu utama dan mempersilakan mereka masuk. Seorang pelayan rumah yang mendengar suara bel langsung membukakan pintu. Begitu melihat kondisi Jungwoo, wajahnya berubah kaget.
“Jungwoo-ssi?! Astaga,” panik mereka dan tanpa banyak tanya, mereka segera mengarahkan Areum dan sang sopir ke ruang tamu. Tubuh Jungwoo dibaringkan perlahan di atas sofa panjang berlapis beludru abu gelap. Areum masih berdiri di sampingnya, menatap pria itu dengan napas sedikit terengah. Ia baru hendak berpamitan ketika pelayan yang tadi membukakan pintu menahannya.
“Nona... Saudara nya yang lain belum kembali, kami tidak berani menangani Tuan Jungwoo sendirian... Bisakah Anda membantu kami untuk sementara waktu?” ucap pelayan itu dengan suara pelan namun gugup.
"Tapi... ini sudah larut malam. Aku harus segera pulang. Kalian bisa merawatnya, kan? Dia sudah ada di rumah, ini darurat.” jawab Areum yang tidak mengerti dengan ucapan pelayan tersebut.
“Kami benar-benar minta maaf, nona... Kami tidak berani bertindak tanpa perintah keluarga.” ucapnya lirih, sedikit menunduk hal itu membuat Areum menatap mereka satu per satu. Dalam hatinya, ia pun bingung. Ia tahu bahwa ia bukan siapa-siapa di rumah ini. Tapi di sisi lain, ia tidak tega membiarkan Jungwoo dalam kondisi seperti ini tanpa pertolongan memadai. Perlahan, ia menghela napas dan mengangguk pelan. Jiwa kemanusiaannya kembali mengambil alih.
“Baiklah,” ucapnya. “Kalian punya dokter keluarga?” lanjut Areum yang akhirnya memutuskan untuk sedikit mengurusi Jungwoo, lagipula sudah terlambat jika dia pergi.
“Ada, nona. Kami akan segera menghubunginya. Apakah Anda memerlukan sesuatu lagi?” tanya nya sopan.
“Iya. Tolong siapkan air hangat dan handuk bersih. Semoga lukanya tidak terlalu parah.” jawab Areum sembari berjongkok di samping sofa, meletakkan tasnya, lalu mulai menatap luka-luka di wajah Jungwoo. Darah sudah mengering di beberapa bagian, membuat pria itu terlihat mengenaskan. Para pelayan segera berlalu dan tak butuh waktu lama hingga mereka kembali dengan sebaskom air hangat dan handuk seperti yang diminta.
“Kapan dokter datang?” tanya Areum sambil mulai menyeka bagian wajah Jungwon dengan hati-hati.
“Sekitar lima belas menit lagi, nona. Kami juga sudah menghubungi seluruh anggota keluarga. Tapi mereka semua sedang berada di luar kota. Mereka bilang akan kembali sekitar dua jam lagi dan meminta Anda untuk tetap tinggal... mereka mohon Anda jangan pulang dulu.” ujar pelayan itu namun Areum tak menjawab, hanya mengangguk kecil.
Fokusnya tertuju pada luka-luka di wajah Jungwoo. Ia merasa tak nyaman melihat pria itu dalam kondisi seperti ini. Wajahnya, yang biasanya tenang dan penuh percaya diri, kini tampak kacau. Luka-luka itu seperti goresan pada kanvas lukisan yang sebelumnya indah.
Lima belas menit berlalu. Bel rumah kembali berbunyi. Seorang pelayan buru-buru membukakan pintu. Seorang pria muda masuk tergesa, membawa tas medis di tangan. Jas putihnya berkibar karena langkah cepatnya.
“Maaf terlambat! Di mana pasiennya?” tanyanya dengan napas sedikit terengah.
“Di ruang tamu, silakan,” jawab pelayan sambil mempersilakan masuk.
Pria muda itu bernama Haru, dokter keluarga Park. Dengan langkah cepat ia langsung menuju Areum dan Jungwoo. Begitu melihat kondisi pasiennya, ia menghela napas panjang.
“Apa yang terjadi, nona?” tanyanya sambil mulai mengeluarkan alat-alat medis dari tasnya.
“Saat saya sedang menunggu bus... dia muncul, jalannya goyah, seperti mabuk atau terluka. Lalu tiba-tiba pingsan di depan saya. Untungnya, dalam perjalanan ke sini dia sempat sadar—meski hanya sebentar—sebelum akhirnya pingsan lagi,” jelas Areum, suaranya cemas, pandangannya tak lepas sedikit pun dari Jungwoo yang terbaring di sofa.
“Sepertinya dia baru saja terlibat perkelahian,” gumam Haru dengan nada prihatin sambil memeriksa luka-luka di wajah dan tubuh Jungwoo. Ia mendesis pelan. “Aigoo... Jungwoo-ssi, kalau hyung-hyung-mu tahu, mereka bisa mengamuk malam ini juga.” lanjutnya, suaranya campuran antara jengkel dan kasihan. Areum menatap bergantian antara Haru dan Jungwoo, lalu bertanya pelan.
“Apa beliau sering seperti ini, dokter?” tanya nya yang membuat Haru menoleh sejenak, mengangguk kecil sambil tersenyum getir.
“Sangat sering... mungkin terlalu sering, hingga semua saudaranya kadang angkat tangan dengan tingkahnya.” ujar nya yang membuat Areum mengangguk pelan, mencoba memahami.
“Maaf, dokter... apa beliau ini saudaranya Ji-Sung sajangnim?” tanyanya ragu.
“Iya, adik bungsunya, nona,” jawab Haru lembut sambil kembali fokus pada pekerjaannya.
Areum terdiam. Ia memperhatikan bagaimana dokter itu bekerja dengan cekatan: membersihkan luka, memberikan antiseptik, lalu menambal bagian yang sobek dengan hati-hati. Bau obat-obatan bercampur dengan wangi alkohol medis memenuhi ruangan, menyatu dengan aroma kayu manis samar dari diffuser di sudut ruangan.
Sekitar dua puluh menit berlalu, hingga sebagian besar luka-luka luar Jungwoo sudah ditangani. Saat memeriksa bagian dada, Haru membuka beberapa kancing baju pria itu—menampakkan memar besar keunguan di kulitnya. Areum menoleh cepat, menggigit bibir bawah, merasa tak nyaman melihatnya, tapi juga... iba. Ada rasa sesak di dadanya, entah karena ngeri atau karena kasihan.
“Apa dia baik-baik saja, Dok?” tanya Areum pelan, berdiri di samping sofa nya sambil memegangi tali tasnya dengan gugup. Sedari tadi dia hanya diam memperhatikan semuanya.
“Sejauh ini tidak ada yang serius. Luka-lukanya hanya luka luar, seperti memar dan lecet akibat benturan keras, tapi untuk memastikan kondisinya benar-benar stabil, saya perlu melakukan observasi selama 24 jam. Saya juga sudah menjadwalkan CT scan untuk memastikan tidak ada cedera di kepala atau pendarahan internal yang tidak terlihat secara kasat mata." Jelas haru yang membuat Areum mengangguk perlahan, mencoba mencerna setiap kata. Pandangannya kembali tertuju pada pria yang masih terbaring lemah di ranjang, wajahnya tampak jauh lebih tenang dari sebelumnya.
“Akh, baik… saya mengerti,” ujar Areum sambil mengangguk pelan, suaranya terdengar sopan namun penuh tanggung jawab.
“Saya harus kembali ke rumah sakit,” balas Dokter Haru seraya menyesuaikan jas putihnya. “Nona, sebentar lagi semua anggota keluarganya akan kembali. Anda bisa menunggunya di sini. Mereka juga sudah mengabari saya sebelumnya.”ujar nya yang membuat Areum hanya bisa mengangguk.
“Baiklah… terima kasih banyak, Dokter,” sahut Areum sambil membungkuk hormat.
Gerakan sopan itu membuat Dokter Haru turut membungkuk kecil sebagai balasan, lalu ia berbalik meninggalkan rumah tersebut. Langkah-langkahnya terdengar sayup di lantai marmer yang mengilap, meninggalkan Areum sendiri bersama Jungwoo yang masih terbaring tak sadar di sofa panjang dengan selimut tipis menutupi sebagian tubuhnya.
Areum menghela napas pelan, lalu duduk di sofa single yang ada di sana. Ia mengambil ponselnya dan mulai mengetik pesan kepada ibunya. Dalam pesannya, ia mengatakan bahwa mungkin akan pulang agak larut karena pekerjaan di café mendadak menumpuk. Meskipun itu tidak sepenuhnya benar, Areum merasa ia tak punya pilihan lain. Jika ia mengatakan yang sesungguhnya, besar kemungkinan sang ibu akan marah dan memintanya segera pulang. Dan ia belum bisa melakukan itu… belum sekarang.
Jam di dinding menunjukkan pukul 21.30 waktu setempat. Suasana di rumah keluarga Park mulai hening, hanya terdengar detik jam yang berdetak pelan dan dengung pendingin ruangan yang samar. Orang-orang yang Areum tunggu belum juga datang, sementara tubuhnya terasa semakin berat. Matanya mulai perih, kelopak matanya perlahan turun, menandakan kelelahan yang tertahan sejak pagi.
Pekerjaan di kafe, kejadian sore tadi, dan rasa gugup yang tak kunjung reda seolah menumpuk hingga mencapai batasnya. Dalam diam, Areum bersandar sedikit ke samping. Tanpa ia sadari, matanya terpejam begitu saja. Napas lembutnya terdengar tenang, memenuhi ruangan yang sunyi dan dingin itu.
Tak lama kemudian, ketiga saudara Jungwoo akhirnya pulang. Suara bel rumah memecah keheningan, membuat pelayan buru-buru berlari untuk membukakan pintu. Begitu mereka melangkah masuk, pandangan mereka langsung tertuju pada Areum yang tertidur dalam posisi duduk di sofa. Wajah gadis itu terlihat damai meski kelelahan begitu jelas tergambar di sana.
Namun, pandangan mereka segera beralih ke arah Jungwoo yang terbaring lemah di sofa lain—wajahnya babak belur, tubuhnya penuh memar.
“Lihat ini, Hyung... aish, jinjja!” seru Ji-sung dengan nada tinggi. “Sekarang lihat akibatnya! Ini semua karena Hyung terlalu memanjakan dia. Hyung lihat sendiri kan pergaulannya sekarang?” lanjut nya sedangkan Hoseon menghela napas berat, tangannya terangkat untuk mengusap wajahnya yang tampak kesal.
“Dari awal kan aku sudah bilang, Hyung,” sahut Taeyeon, nada suaranya tegas tapi lelah. “Kau jangan terlalu memanjakan Jungwoo. Dia cuma takut padamu. Kalau kami yang melarang, dia tidak peduli. Tapi kalau Hyung yang bicara, dia baru nurut.” lanjut nya yang membuat Ji-sung mengangguk pelan, matanya masih menatap adik bungsunya dengan kecewa.
“Anak ini benar-benar tidak bisa diberi kesempatan,” gumam Hoseon, suaranya berat menahan emosi.
Hari ini seharusnya ia berada di Busan untuk urusan pekerjaan, tapi kabar buruk tentang adik bungsunya membuatnya langsung kembali ke Seoul. Begitu pula dengan Ji-sung dan Taeyeon yang meninggalkan pekerjaannya masing-masing karena khawatir.
Namun amarah mereka bukan hanya karena lelah, tapi juga karena rasa cemas yang sudah terlalu sering diulang. Ini bukan pertama kalinya Jungwoo membuat mereka kalang kabut.
Terlalu sering. Hingga rasa kesal dan sayang bercampur menjadi satu di dada mereka.
Karena mendengar keributan tersebut, Areum mengerjapkan matanya dan perlahan menyesuaikan posisi duduknya. Ji-Sung yang menyadari Areum sudah terbangun langsung melirik padanya.
“Areum-ssi…” ujar Ji-Sung, membuat Areum langsung berdiri.
“Nee… kalian sudah datang. Jika begitu, aku izin pulang,” ujar Areum sambil memasukkan ponselnya ke dalam tasnya. Hoseon langsung melirik ke arahnya dan berkata.
“Ini sudah sangat larut, sebaiknya menginap saja,” ujar Hoseon, nada suaranya tegas tapi hangat.
“Akh… tidak, terima kasih, sajangnim… saya harus pulang. Orang tua saya mungkin khawatir menunggu. Saya sudah bilang akan pulang,” jawab Areum menunduk sopan, hatinya sedikit cemas. Ia tidak terlalu mengenal pria ini, karena yang ia kenal hanya Taeyoon dan Ji-Sung, bosnya.
“Akhh, baiklah… jika begitu, biarkan Taeyoon atau Ji-Sung yang mengantarkanmu. Tidak baik pulang sendirian selarut ini, apalagi untuk perempuan,” ujar Hoseon, menatap serius namun tidak kasar. Taeyoon mengangguk setuju.
“Terima saja, Areum-ssi… saya akan mengantarkan. Anggap saja balas budi karena telah menolong adik saya,” ujar Ji-Sung, membuat Areum terdiam sejenak, lalu mengangguk setuju.
“Terima kasih banyak, sajangnim,” ujar Areum menunduk sopan.
Akhirnya malam itu, Ji-Sung mengantarkan Areum pulang. Suasana malam kota Seoul masih cukup ramai, seolah kota itu tidak pernah tidur, meski malam semakin larut dan gelap langit semakin pekat. Sepanjang perjalanan, Ji-Sung menanyakan bagaimana Areum bisa bertemu Jungwoo, dan Areum menjelaskan semuanya, termasuk hasil pemeriksaan dokter. Beberapa kali mereka tertawa saat Ji-Sung sengaja bercanda, membuat perjalanan terasa lebih ringan dan cepat.
Sesampainya di depan rumahnya, Areum langsung turun setelah berpamitan.
“Areum-ssi…” ujar Ji-Sung sambil melongok ke jendela mobil.
“Nee… sajangnim?” balas Areum, menatap bosnya dengan mata sedikit berbinar.
“Jika besok terlalu lelah untuk bekerja, tidak masalah untuk libur… saya memaklumi,” ujar Ji-Sung, nada suaranya lembut. Mata Areum semakin berbinar karena selama ini ia belum pernah mengambil cuti.
“Terima kasih banyak, sajangnim,” ujar Areum sambil menunduk sedikit. Ji-Sung hanya mengangguk, menutup kaca mobilnya. Areum melangkah masuk ke rumah, seluruh tubuhnya sudah sangat lelah. Ia berpikir akan memanfaatkan hari libur besok dengan sebaik-baiknya.