"Apakah kamu sudah menikah?" tanya Wira, teman satu kantor Binar. Seketika pertanyaan itu membuatnya terdiam beberapa saat. Di sana ada suaminya, Tama. Tama hanya terdiam sambil menikmati minumannya.
"Suamiku sudah meninggal," jawab Binar dengan santainya. Seketika Tama menatap lurus ke arah Binar. Tidak menyangka jika wanita itu akan mengatakan hal demikian, tapi tidak ada protes darinya. Dia tetap tenang meskipun dinyatakan meninggal oleh Binar, yang masih berstatus istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Me Akikaze, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Suamiku?
"Apakah beritanya menyebar lagi?" Aksa memijat kepalanya. Kejadian malam itu seolah sudah disetting begitu, berita tentang dirinya akan menjadi konsumsi yang menyenangkan buat para pewarta.
"Iya, Pak" Putra mengangguk. "Tapi kita sudah menyelidikinya." imbuhnya. Berita tentang acara pesta semalam, para pewarta menangkapnya adalah pesta terlarang para kaum laki-laki.
"Putuskan semua kerja sama dengan Martin," cetusnya.
"Baik, Pak" tidak ada pertanyaan yang meragukan bagi Putra, keputusan Aksa sudah sangat tepat.
"Panggilkan Binar,"
"Maaf, Pak, Mbak Binar belum nampak hari ini"
Aksa memejamkan matanya sejenak, apakah Binar tengah marah dengan kejadian dia semalam? kejadian yang membuat kesadarannya dan akal sehatnya menurun drastis. Kejadian yang hampir saja membuatnya melakukan tindakan yang tidak terpuji.
"Kenapa bisa terjadi?" Aksa ingin tahu.
"Dia sengaja membuat anda oleng, Pak. Itu memang tujuan dia, tim memastikan, jika undangan itu memang dibuat untuk pesta terlarang, bisnis hanya kedok," Putra menjabarkan, tim yang dia tunjuk untuk menyelidiki hal tersebut sudah memvalidasi. "Anda adalah salah satu target,"
"Maksud kamu?"
"Ya Pak, berita di media-media itu tidak salah jika Martin memiliki..." Putra menggantung kalimatnya.
"Ya..ya saya paham," Aksa mengangguk, lalu dia bangkit dari kursinya, berjalan mendekat ke arah jendela kaca besar yang ada di belakang kursinya. Menatap langit hari ini yang nampak cerah, tapi tidak hatinya.
"Kita sudah bertemu dengan beberapa media agar tidak meng up berita tentang Pak Aksa, dan tentu saja Mbak Binar sangat membantu keberadaannya semalam,"
Binar tergopoh-gopoh masuk ke dalam kantor, sudah satu jam dia terlambat. salah satu insiden terburuk selama menjadi karyawan baru, bisa-bisanya sekretaris bisa datang selambat ini. Selain macet, Binar juga hampir tidak tidur semalaman, baru tiba di rumahnya sekitar subuh. Binar ketiduran.
Binar segera naik lift ke lantai di mana ruangannya ada di sana, beberapa kali dia melirik jam tangan yang ada di pergelangan tangan kirinya. Benar, dia sudah terlambat satu jam lamanya.
Binar keluar dari lift, dilihatnya Aksa tengah berada di ruangannya.
"M-maaf Pak, saya terlambat," Binar membungkukkan badan, rasa tak enak hati menggelayutinya. Rasanya apes saja, sudah terlambat, dia langsung bertemu dengan Aksa di ruangannya. Andai bisa memilih, hari ini dia tidak ingin bertemu dengan Aksa terlebih dahulu, tapi tidak bisa. Dia harus bertemu dengan Aksa karena pekerjannya.
"Ehm.." Aksa berdehem. "Saya minta maaf untuk kejadian semalam. Saya tidak ada maksud untuk melakukan hal tersebut,"
Binar meletakkan tasnya di atas meja, dia masih berdiri. Rasanya tidak sopan jika dia duduk di saat bosnya tengah berbicara.
"Saya tahu, Pak, tidak apa-apa,"
"Terima kasih sudah membawa saya pulang di saat yang tepat,"
"Itu...sopir Bapak,"
"Tanpa kamu semalam, entah apa yang akan menjadi warta hari ini, pasti snagat menyebalkan. Menurut kamu...apa aku harus menikah saja biar terhindar dari gosip murahan itu?" tetiba Aksa malah seperti curhat.
"Iya pak? kenapa?" Binar memastikan dengan apa yang baru dia dengar.
Ck, Aksa berdecak, rasanya percuma curcolnya pada sekretarisnya. Sekretarisnya sedang tidak nyambung.
"Ya sudah, siapkan diri, kita meeting siang ini" Aksa memungkasi.
"Baik, Pak" Binar merasa lega karena akhirnya Aksa meninggalkan mejanya.
"Ya Pak, harusnya anda menikah saja" bisiknya pelan, yang tentu saja laki-laki yang baru saja beranjak itu tidak mendengarnya.
Persiapan untuk rapat hari ini sudah selesai, tepat sebelum jam makan siang. Binar merentangkan tangannya dengan leluasa agar rasa capek dan kantuknya hilang sebelum nanti meeting dimulai. Binar melihat jam di layar komputer, sudah saatnya makan siang. Binar lupa, bahkan dia tidak sempat sarapan pagi ini.
"Halo sekretaris pak Aksa," sapa Wira dengan semangatnya. Binar mengangguk, selain Wira ada Tama yang berjalan di belakang Wira. Binar nampak biasa saja.
"Ayo makan siang bareng kita, ada acara sedikit dari divisi kami," Wira nampak membawa makanan yang dia tenteng di papper bag jumbo di kedua tangannya, Tama pun membawa juga.
"Eh terima kasih, tapi aku mau ke kantin," Binar hendak menolaknya, karena makan dengan Tama sama sekali tidak membuatnya nyaman.
"Eh jangan, dengan makan siang bareng, setidaknya kamu menghemat gajimu, dan biar kita makin akrab dengan bu sekretaris, iya kan Tama?" Wira tersenyum menyeringai. "Yuk ah, buruan" Wira nampak sangat bersemangat mengajak Binar. Binar melihat sebentar ke arah Tama, laki-laki itu terdiam dan pandangannya asing terhadapnya.
Ada beberapa orang yang tengah duduk melingkari meja besar yang ada di pantry lantai 20, sengaja mereka memilih lantai tersebut karena pantry lebih besar.
"Ayo...makan..makan sepuasnya," ajak Wira, berbagai masakan tersedia di sana, sebagai wujud rasa syukurnya karena proyek dari divisinya baru saja kelar dan mendapat apresiasi bagus dari Aksa.
"Oh ya Tam, ini bu sekretaris kece badai, pendidikan bagus banget, cantik lagi, kalian mungkin akan cocok," Wira nyerocos saja.
"Iya bener ih," sahut salah satu karyawan wanita yang ada di divisi yang sama,"
"Uhuk," Binar mendadak tersedak mendengar perbincangan Wira dan karyawati tersebut. Segera Wira mengulurkan gelas yang berisi air.
"Makan sana, ngomong mulu," Tama melirik ke arah Wira, berharap mulut laki-laki itu diam.
"Sorry...sorry...., eh bentar deh, aku kepo. Maaf ya bu sekretaris,"
"Binar" Binar menegaskan namanya, merasa tak enak dipanggil sekretaris.
"Oh iya, mbak Binar....apa kamu sudah menikah?"
Pertanyaan yang membuat dia kembali ingin batuk.
"Sudah," jawaban Binar singkat, sontak Wira kaget.
"Maaf lagi ya mbak Binar, kamu sudah menikah ternyata, aku salah sudah mencoba menjodohkan kamu dengan laki-laki lasut ini," Wira mengangkat dagu dan diarahkan ke Tama, Tama diam saja masih sambil mengunyah makanannya.
"Terus suami kamu kemana?" Wira benar-benar super kepo.
"Meninggal." jawaban demi jawaban Binar tegas, kali ini membuat Tama yang mendadak tersedak. Kini gantian Wira memberikan minum untuk Tama.
"Kamu ini, denger gitu aja sudah tersedak, bener-bener ya." Wira menepuk pundak Tama.
"Oh maaf mbak Binar, saya turut berduka cita, semoga mbak Binar sabar,"
"Sangat sabar," Binar melirik ke arah Tama beberapa detik, laki-laki itu nampak tidak nyaman.
"Ih mbak Binar keren, janda independen, semangat ya mbak Binar, kamu keren pol," Wira mengangkat dua jempol tangannya. Binar melengkungkan bibir ke atas.
"Terima kasih, Pak Wira."
"Ah nggak enak ih dengernya, panggil Wira saja," protesnya.
"Baik, Wira" Binar menurut.
Makan siang masih berlanjut, ada sedikit beban yang terurai, Binar merasa sedikit bisa bernafas rasanya. Beda dengan apa yang dirasakan Tama, Jawaban yang dikatakan oleh Binar seolah menamparnya keras, dirinya masih hidup. Dia ingin protes tapi tidak mungkin. Wanita itu sedang bersiap menyalakan api nampaknya.