Di tahun 2070, nama Ethan Lawrence dirayakan sebagai pahlawan. Sang jenius muda ini telah memberikan kunci masa depan umat manusia: energi tak terbatas melalui proyek Dyson Sphere.
Tapi di puncak kejayaannya, sebuah konspirasi kejam menjatuhkannya.
Difitnah atas kejahatan yang tidak ia lakukan, sang pahlawan kini menjadi buronan nomor satu di dunia. Reputasinya hancur, orang-orang terkasihnya pergi, dan seluruh dunia memburunya.
Sendirian dan tanpa sekutu, Ethan hanya memiliki satu hal tersisa: sebuah rencana terakhir yang brilian dan berbahaya. Sebuah proyek rahasia yang ia sebut... "Cyclone".
(Setiap hari update 3 chapter/bab)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PumpKinMan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 15: Di Bawah Hujan
Langit London, untuk pertama kalinya dalam ingatan Ethan, berwarna biru cemerlang.
Itu hari Sabtu. Sebuah anomali. Ethan telah "diperintahkan" oleh Luna untuk mengambil cuti akhir pekan penuh pertamanya sejak menjadi Direktur. Tidak ada data-pad, tidak ada panggilan holografik, tidak ada Aurora—meskipun A.I. itu tetap memonitor biometriknya dari jarak jauh dengan sedikit ketidaksenangan.
Mereka bertiga memutuskan untuk melakukan sesuatu yang sangat "normal". Sesuatu yang akan dilakukan oleh orang-orang berusia awal dua puluhan lainnya di hari yang cerah. Mereka pergi ke Taman Hyde.
Bukan versi Zona-A yang dipenuhi kubah-kubah steril atau kafe-kafe mahal. Tapi bagian "Liar" yang lama, dekat Serpentine, di mana pohon-pohon ek kuno masih dibiarkan tumbuh tak teratur dan orang-orang Tier-B berpiknik di atas rumput asli.
"Aku tidak percaya kau benar-benar melakukannya," kata Nate, menyeringai sambil menyesuaikan tali kameranya. Dia sedang dalam mode "seni", bukan mode "investigasi", memotret angsa dan anak-anak yang bermain. "Direktur Pradana... berjalan-jalan... di bawah sinar matahari. Apa Rostova mengizinkanmu terkena sinar UV?"
"Dia sangat lucu," kata Luna, menyikut Nate. Dia tampak berbeda di luar seragam medisnya, mengenakan jeans sederhana dan sweter kuning cerah yang kontras dengan langit. Dia berjalan di antara kedua pria itu. "Biarkan dia menikmati. Kau terlihat lebih baik, Eth. Wajahmu tidak lagi berwarna abu-abu seperti beton panti."
Ethan tersenyum. Dia memang merasa lebih baik. Sejak kunjungannya ke St. Jude, beban di pundaknya terasa sedikit lebih ringan. Reaktor fusi dingin itu telah dipasang, dan Nyonya Petrov mengiriminya pesan video setiap hari—pesan yang penuh dengan anak-anak yang bersorak karena bisa mandi air panas.
"Aku merasa... baik," kata Ethan. Dan yang mengejutkan, dia bersungguh-sungguh. Proyek Dyson Sphere berjalan lancar di lab. Timnya, yang sekarang dia pilih sendiri (setelah memecat semua kroni Frost), bekerja dengan cemerlang. Dan untuk saat ini, Senator Rostova memberinya semua yang dia inginkan.
"Bagus," kata Nate. "Sekarang, karena kau sudah kaya raya, kau yang traktir es krim."
"Nate, kita..."
Sebelum Luna bisa memprotes, Nate sudah berlari ke arah penjual es krim kuno yang didorong dengan sepeda. "Aku mau tiga! Dengan cokelat!"
Ethan tertawa—suara yang masih terdengar asing di telinganya sendiri. Dia dan Luna berjalan pelan, membiarkan Nate berlari di depan.
"Dia seperti anak kecil," kata Luna, tersenyum.
"Dia selalu seperti itu," kata Ethan.
Mereka berjalan dalam keheningan yang nyaman sejenak, hanya suara kerikil di bawah sepatu mereka dan tawa orang-orang di kejauhan.
"Tapi dia benar," kata Luna pelan, tidak menatap Ethan, tapi menatap danau. "Kau memang terlihat lebih baik. Kau tampak... hadir."
"Aku mencoba," kata Ethan. "Kunjungan ke panti... itu membantu. Mengingatkanku mengapa aku memulai semua ini."
"Bagus," katanya. "Jangan pernah lupakan itu, Eth. Jangan biarkan menara kaca itu membuatmu lupa pada apa yang ada di bawah sini."
"Aku tidak akan," janjinya.
Nate berlari kembali, memegang tiga es krim yang mulai meleleh. "Satu untukmu, satu untukku..." Dia menyerahkan satu pada Luna, lalu menatap Ethan. "Dan satu... Cokelat Ekstra... untuk Direktur Pradana, Sir."
Ethan memutar matanya dan mengambil es krim itu. "Terima kasih, Tuan Reyes."
Dan tepat pada saat itu, cuaca khas London memutuskan bahwa kesenangan itu sudah cukup.
Seolah-olah seseorang membalik sakelar.
Langit biru yang cerah tiba-tiba berubah menjadi abu-abu tua yang mengancam. Hembusan angin dingin menyapu taman, membuat Luna menggigil. Dan kemudian, tetes pertama jatuh.
"Kau pasti bercanda," gerutu Nate, menatap ke langit.
Dalam sepuluh detik, tetesan itu berubah menjadi hujan deras. Hujan yang dingin dan menusuk tulang. Orang-orang di taman berteriak dan berlarian mencari perlindungan.
"Es krimku!" teriak Nate, saat es krimnya berubah menjadi sup cokelat.
"Lari!" tawa Luna, menarik lengan Ethan.
Mereka berlari melintasi lapangan rumput yang kini basah, tawa mereka bercampur dengan suara hujan.
"Di sana!" teriak Nate, menunjuk ke arah lain. "Aku melihat kerumunan! Mungkin ada acara di paviliun! Kalian berdua cari tempat berteduh! Aku akan memotretnya! Temui aku di kedai kopi dekat gerbang Marble Arch!"
"Nate, tunggu!" teriak Ethan.
Tapi Nate sudah pergi, naluri jurnalisnya mengambil alih. Dia menghilang di balik tirai hujan, berlari mengejar ceritanya.
"Sialan!" tawa Ethan, berhenti di tengah lapangan, benar-benar basah kuyup.
"Eth, ayo!" Luna menariknya lagi. "Di sana! Di bawah pohon ek tua itu!"
Dia menunjuk ke sebuah pohon ek raksasa dan kuno di atas bukit kecil, satu-satunya tempat berlindung yang terlihat. Mereka berlari, rambut mereka menempel di wajah, pakaian mereka basah kuyup.
Mereka sampai di bawah kanopi pohon yang lebat itu, terengah-engah.
Hujan turun di sekitar mereka seperti tirai manik-manik yang tak terputus, menciptakan sebuah ruangan kecil yang terisolasi hanya untuk mereka berdua. Suara dunia luar teredam, digantikan oleh suara jutaan tetes air yang menghantam daun-daun di atas mereka.
Mereka berdiri di sana sejenak, saling menatap, lalu tertawa terbahak-bahak.
"Ya Tuhan," kata Luna, menyisir rambutnya yang basah dari wajahnya. "Aku... aku basah kuyup." Dia mulai menggigil, sweter kuningnya yang cerah kini menempel di tubuhnya.
Ethan berhenti tertawa. "Kau kedinginan."
Tanpa berpikir—sebuah tindakan yang tidak didorong oleh logika, tetapi oleh naluri murni—dia melepaskan jaketnya. Jaket Direktur-nya yang mahal, terbuat dari bahan teknologi tinggi yang kedap air.
"Eth, jangan. Kau akan..."
"Aku tidak kedinginan," katanya, menyampirkan jaket itu di bahu Luna. Jaket itu terlalu besar untuknya, menelan tubuhnya, tapi dia langsung menariknya erat-erat. "Lebih baik?"
Luna mendongak menatapnya. Wajahnya hanya beberapa inci dari wajah Ethan. Dia bisa melihat tetesan air hujan di bulu matanya.
"Ya," bisiknya. "Lebih baik."
Mereka berdiri dalam keheningan yang intim itu. Hujan menciptakan dinding di sekitar mereka. Hanya ada mereka berdua.
"Jadi," kata Luna pelan, seolah tidak ingin memecah mantra. "Bagaimana rasanya... di atas sana?"
Ethan tahu apa yang dia maksud. "Berbeda."
Dia bersandar di batang pohon yang kasar. "Rasanya... hampa. Aku menghabiskan tiga tahun terakhir mencoba untuk didengar. Sekarang, semua orang mendengarkan. Tapi aku tidak yakin mereka mendengar *aku*."
"Apa maksudmu?"
"MereKA mendengar 'Direktur Pradana'," kata Ethan. "Mereka mendengar 'Pahlawan Rakyat'. Mereka mendengar 'jenius 280'. Mereka tidak mendengar... Ethan." Dia menatapnya. "Kau satu-satunya yang masih memanggilku Ethan."
Luna tersenyum tipis. "Yah, aku mengenal Ethan. Dia benci kopi, suka cokelat panas yang terlalu manis, dan sangat payah dalam membersihkan kamarnya. Aku tidak mengenal 'Direktur Pradana'."
Ethan tertawa kecil. "Dia tidak jauh berbeda. Hanya saja... dia punya kantor yang lebih besar. Dan dia diawasi."
Ekspresi Luna menjadi serius. "Nate memberitahuku tentang Thorne. Tentang bagaimana Rostova menempatkannya untuk mengurus tambang. Kau baik-baik saja dengan itu?"
Ethan ragu-ragu. Ini adalah Luna. Dia tidak bisa berbohong. "Aku tidak menyukainya. Rasanya seperti... tali kekang. Seperti yang Nate bilang. Rostova memberiku semua yang kuinginkan, tapi dia memegang saklarnya."
"Dia perisaimu," kata Luna, mengulangi kata-kata Nate. "Tapi dia juga pedangmu. Kau yang mengarahkan ke mana dia harus menebas. Gunakan dia, Eth. Gunakan dia untuk kebaikan. Seperti yang kau lakukan di St. Jude."
"Aku mencoba," katanya. "Tapi itu lebih rumit dari sekadar memperbaiki pemanas. Ini politik. Ini... kotor."
"Kalau begitu, jangan sampai kau ikut kotor," kata Luna. Dia mengulurkan tangan—tangan seorang dokter, mantap dan hangat—dan menyentuh pipinya yang basah karena hujan. "Tetaplah menjadi Ethan. Jangan biarkan menara itu mengubahmu."
Ethan memejamkan mata sejenak, bersandar pada sentuhan itu. Itu adalah satu-satunya data nyata yang dia rasakan sepanjang minggu.
"Hanya jika kau tetap di sini untuk mengingatkanku," bisiknya.
"Aku tidak akan kemana-mana," kata Luna.
Hujan semakin deras, menciptakan kepompong yang lebih rapat di sekitar mereka. Suaranya menderu, menenggelamkan dunia luar.
Ethan membuka matanya.
Luna belum menarik tangannya. Dia masih menatapnya, matanya yang cokelat dan cerdas tidak lagi menganalisisnya sebagai dokter, tetapi melihatnya sebagai... sesuatu yang lain.
Waktu seakan melambat.
Otak Ethan, yang mampu memproses triliunan titik data per detik, tiba-tiba mengalami kegagalan sistem total. Dia tidak bisa memikirkan persamaan. Dia tidak bisa memikirkan logistik tambang. Dia hanya bisa memikirkan betapa dekatnya wajah Luna.
Dia teringat malam di apartemen Nate, saat Luna membersihkan noda cokelat dari wajahnya. Momen itu telah terpotong oleh *klik* kamera Nate.
Tidak ada kamera sekarang. Tidak ada Nate.
Hanya ada mereka berdua.
"Lun," bisiknya, suaranya serak.
"Ya?"
Dia tidak tahu harus berkata apa. Jadi, dia melakukan satu-satunya hal yang terasa logis dalam kekacauan yang indah ini.
Dia mencondongkan tubuhnya ke depan.
Itu adalah gerakan yang canggung. Dia sedikit salah perhitungan, dan hidung mereka bertabrakan pelan.
Luna terkikik pelan, suara yang menghangatkan Ethan lebih dari jaket mana pun. "Kau payah dalam hal ini," bisiknya.
"Aku tahu," gumamnya. "Aku lebih baik dalam fisika kuantum."
"Tutup mulutmu, Eth," kata Luna lembut.
Dan kali ini, dia yang bergerak, menutup jarak beberapa milimeter terakhir.
Bibir mereka bertemu.
Itu bukan seperti kembang api. Itu bukan seperti ledakan reaktor fusi. Itu jauh lebih baik. Itu... tenang. Itu lembut, sedikit ragu, dan terasa seperti cokelat panas dan hujan. Itu terasa seperti pulang ke rumah.
Semua "noise" di kepala Ethan—perhitungan, ketakutan, paranoia terhadap Rostova, kemarahan pada Frost—semuanya lenyap, difilter menjadi satu frekuensi murni. Sama seperti yang dilakukan *Calicite-7*.
Dia adalah Osilator-nya.
Dia balas menciumnya, lebih dalam, meletakkan tangannya di pinggang Luna, menariknya lebih dekat ke batang pohon. Jaketnya yang kebesaran jatuh dari satu bahunya. Hujan mengalir di rambut mereka, tapi mereka tidak peduli.
Mereka berdua lupa cara bernapas.
Setelah apa yang terasa seperti satu menit—atau mungkin satu siklus orbit—mereka perlahan-lahan melepaskan diri.
Mereka hanya saling menatap, terengah-engah.
"Wow," kata Ethan. Itu adalah satu-satunya kata yang bisa diproses otaknya.
Luna tertawa, tawa yang sedikit gemetar dan penuh kebahagiaan. "Ya," katanya. "Wow."
Ethan tidak bisa berhenti tersenyum. Dia merasa ringan. Dia merasa... sederhana. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, tidak ada yang rumit. Hanya ini.
"Jadi..." katanya, masih memegang pinggang Luna.
"Jadi..." balas Luna, senyumnya sama lebarnya.
Hujan, seolah-olah telah menyelesaikan tugasnya, mulai mereda. Tirai air di sekitar mereka menipis, dan suara-suara taman—siren di kejauhan, tawa anak-anak—mulai merayap kembali.
Mantra itu pecah, tetapi koneksinya tetap ada.
"Hujannya berhenti," bisik Luna, meskipun dia tidak bergerak untuk melepaskan diri.
"Ya," kata Ethan. "Kurasa sudah."
Mereka perlahan-lahan melepaskan diri, tetapi Luna tetap memakai jaket Ethan. Mereka berdiri di sana dalam keheningan yang canggung namun baru, tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya.
"Kita... kita harus mencari Nate," kata Ethan akhirnya.
"Ya. Kedai kopi," kata Luna, wajahnya memerah.
Mereka mulai berjalan keluar dari bawah pohon, menuruni bukit yang kini berlumpur. Matahari yang ragu-ragu mulai mengintip dari balik awan.
Ethan mengulurkan tangannya, ragu-ragu. Luna melihatnya. Dia tersenyum dan meraihnya. Jari-jari mereka bertautan.
Mereka berjalan seperti itu, dalam keheningan yang bahagia, melintasi rumput yang basah.
Mereka hampir sampai di gerbang Marble Arch ketika mereka mendengarnya.
*KLIK.*
Suara yang sangat familier.
Ethan dan Luna membeku, menoleh ke sumber suara.
Nate Reyes berdiri di sana, kering (dia pasti menemukan tempat berteduh sungguhan), kameranya terangkat, seringai lebar di wajahnya.
"Sialan, Nate!" teriak Ethan, melepaskan tangan Luna karena kaget.
"Terlambat!" seru Nate, menurunkan kameranya dan melihat layar pratinjau. "Sudah tertangkap."
"Hapus itu!" kata Luna, meskipun dia tertawa.
"Tidak akan," kata Nate. Dia membalikkan kamera untuk menunjukkan kepada mereka.
Itu adalah foto yang sempurna. Mereka berdua, berpegangan tangan, rambut mereka basah kuyup. Ethan mengenakan kaus yang basah kuyup, dan Luna tenggelam dalam jaket Direktur-nya yang kebesaran. Latar belakangnya adalah awan badai yang baru saja lewat, dan seberkas cahaya matahari menerobos, menerangi mereka. Mereka tidak sedang menatap kamera; mereka sedang saling menatap, dengan senyum kecil yang bodoh dan bahagia.
"Itu...," kata Luna pelan.
"Aku tahu," kata Nate, suaranya lebih lembut sekarang. "Ini dia. Ini Momen Emas-nya."
Dia menatap kedua sahabatnya. "Ayo," katanya. "Direktur Pradana mentraktir kita semua cokelat panas. Dan kali ini, versi yang *mahal*."
Saat mereka berjalan pergi—Nate di depan, Ethan dan Luna mengikuti sedikit di belakang, tangan mereka secara tentatif menemukan jalan untuk bersatu kembali—Ethan merasa seperti dia bisa membangun seribu Dyson Sphere.
Dia berada di puncak dunia. Dan untuk saat ini, tidak ada yang bisa menjatuhkannya.