“Fiona, maaf, tapi pembayaran ujian semester ini belum masuk. Tanpa itu, kamu tidak bisa mengikuti ujian minggu depan.”
“Tapi Pak… saya… saya sedang menunggu kiriman uang dari ayah saya. Pasti akan segera sampai.”
“Maaf, aturan sudah jelas. Tidak ada toleransi. Kalau belum dibayar, ya tidak bisa ikut ujian. Saya tidak bisa membuat pengecualian.”
‐‐‐---------
Fiona Aldya Vasha, biasa dipanggil Fio, mahasiswa biasa yang sedang berjuang menabung untuk kuliahnya, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena satu kecelakaan—dan satu perjodohan yang tak diinginkan.
Terdesak untuk membayar kuliah, Fio terpaksa menerima tawaran menikah dengan CEO duda yang dingin. Hatinya tak boleh berharap… tapi apakah hati sang CEO juga akan tetap beku?
"Jangan berharap cinta dari saya."
"Maaf, Tuan Duda. Saya tidak mau mengharapkan cinta dari kamu. Masih ada Zhang Ling He yang bersemayam di hati saya."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ijah hodijah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Fio mengangkat alisnya, mencoba santai. “Hehe… iya, mobilnya nyasar terus kebetulan berhenti di depan gue.”
Kevin menyipitkan mata. “Jangan ngelawak, Fio. Tadi yang nyetir cowok, kan? Siapa tuh? Sugar daddy?!”
“Astaghfirullah, Kev!” bentak Farhan refleks. "Nggak sopan ngomong kayak gitu.”
Linda malah menatap Fio penuh rasa ingin tahu. “Serius, Fio. Lo tuh diserempet mobil, eh sekarang dijemput mobil mewah. Ada apa, beb? Cerita deh!”
Fio hanya tersenyum canggung.“Nggak ada apa-apa, sumpah. Cuma… ada yang nitip, disuruh nebeng doang.”
Namun sebelum Fio sempat menambahkan penjelasan, beberapa mahasiswa lain yang lewat mulai berbisik sinis.
"Itu kan Fio yang dulu sempat kerja paruh waktu di kafe, ya?"
"Iya, katanya udah dipecat. Eh, sekarang naik mobil mahal."
"Jangan-jangan... Ya lo tahu sendiri lah."
Bisik-bisik itu semakin menjadi-jadi. Beberapa bahkan sengaja melirik dengan senyum miring, menatap Fio dari ujung kaki sampai kepala.
Fio menunduk, menggenggam tali tasnya erat-erat. Ia pura-pura tidak dengar, tapi hatinya mencubit perih.
Linda menatap sekeliling dengan kesal. “Lo semua pada ngomong apa sih?! Kalau iri, iri aja! Jangan fitnah!”
Kevin melipat tangan di dada, menatap mereka dengan tatapan tajam. “Udah, Fi. Jangan dengerin mereka. Orang kalau sirik memang susah disembuhin.”
Fio tersenyum kecil, berusaha tegar. “Gue udah kebal, kok. Biarin aja. Lagian gue masih punya kalian, kan?”
Linda langsung memeluk Fio dari samping. “Ya iyalah, beb. Lo nggak sendirian.”
Farhan mengangguk, tenang tapi tegas. “Udah, ayo kalian masuk kelas. Biar mereka sibuk sama hidupnya masing-masing.”
Fio menarik napas dalam-dalam, menatap gedung kampus yang menjulang di depannya.
Ada rasa getir dan lelah, tapi juga tekad yang mulai menguat di balik hatinya. “Sebentar lagi… semua ini bakal berubah. Gue harus kuat.”
Ia melangkah masuk bersama sahabat-sahabatnya, sementara dari kejauhan beberapa mahasiswa masih saling berbisik, menatap punggung Fio yang mulai menghilang di balik pintu kelas.
***
Pagi ini kelas sudah hampir penuh ketika Fio datang dengan wajah cerah dan langkah ringan. Ia meletakkan tasnya di meja paling depan, mencoba menenangkan degup jantung yang masih tersisa dari perjalanan bersama Darrel. Masih terbayang wajah dingin pria itu saat menurunkannya di depan kampus.
Suasana kelas mendadak hening ketika dosen masuk sambil membawa map berwarna biru. “Baik, anak-anak, dua hari lagi ujian. Bagi yang belum menyelesaikan administrasi, tolong segera diselesaikan. Kalau tidak, tidak bisa ikut ujian,” ujarnya tegas.
Beberapa mahasiswa saling berbisik, termasuk Linda yang menatap ke arah Fio dengan khawatir. Semua tahu betapa kerasnya perjuangan Fio selama ini hanya untuk bertahan hidup dan membayar uang semester.
Namun, sebelum dosen sempat memanggil satu per satu, Fio sudah mengangkat tangan. “Saya akan bayar hari ini, Pak,” ucapnya lantang dan percaya diri.
Seluruh kelas sontak menoleh. Bahkan dosen sempat berhenti menulis. “Oh begitu? Baik, Fio. Jangan sampai lupa ya, hari ini terakhir.”
“Siap, Pak,” jawabnya singkat, tersenyum kecil.
Bisik-bisik mulai terdengar di sekelilingnya.
“Eh, lo dengar nggak? Katanya Fio udah bisa bayar? Duit dari mana coba?”
“Iya, kemarin aja dia ngeluh belum bisa bayar kontrakan.”
“Apa jangan-jangan... dia dapat sponsor?”
Kalimat terakhir membuat beberapa pasang mata saling pandang dengan tatapan sinis.
Linda yang duduk di sebelah Fio hanya menatap temannya itu dengan dahi berkerut. “Fi... lo nggak apa-apa kan?” bisiknya pelan.
Fio tersenyum, mencoba tampak biasa saja. “Gue baik-baik aja, Lind. Doain aja semuanya lancar.”
“Tapi kamu tiba-tiba bisa bayar segitu banyak, gue—”
“Udah, nanti gue ceritain,” potong Fio cepat, meski dalam hati ia tahu ia tak akan pernah benar-benar menceritakan kebenarannya.
Ia menatap ke depan, menatap papan tulis seolah fokus, tapi pikirannya melayang. Cincin di jarinya terasa berat. Ia menggenggamnya diam-diam di bawah meja.
Ini cuma sementara, batinnya. Setelah semua selesai, aku akan jalan sendiri lagi.
Namun tatapan-tatapan curiga dan bisik-bisik dari teman-temannya terus terdengar sampai kelas berakhir, membuat dadanya terasa sesak—antara ingin tertawa, marah, dan menangis sekaligus.
Bel istirahat baru saja berbunyi ketika Linda keluar dari kelas dengan wajah muram. Ia masih memikirkan kata-kata Fio tadi—terlalu tiba-tiba, terlalu janggal. Biasanya Fio akan jujur kalau sedang kesulitan, bahkan tidak sungkan meminjam uang kecil untuk makan siang. Tapi kali ini, nada suaranya… berbeda.
Di taman kampus, Linda melihat dua sosok yang sudah familiar sedang duduk santai di bawah pohon flamboyan: Kevin dan Farhan — dua kakak tingkat yang dikenal dekat dengan mereka berdua. Kevin sedang menatap layar laptop, sementara Farhan sibuk mengupas jeruk.
“Bang Kev, Bang Far,” sapa Linda, menurunkan tasnya di bangku.
Keduanya langsung menoleh. “Eh, Lin. Muka lo kayak habis dikejar deadline,” seloroh Farhan sambil terkekeh.
Linda tidak tertawa. “Gue lagi heran sama Fio.”
Kevin menutup laptopnya perlahan. “Kenapa? Dia kenapa?”
Linda menatap mereka dengan ragu, lalu berbisik, “Dia bilang mau bayar uang ujian hari ini.”
Farhan menghentikan gerakannya. “Lho, bukannya kemarin dia bilang belum ada uang sama sekali? Katanya sampai bingung mau cari kerja tambahan.”
“Nah itu dia!” Linda menatap mereka bergantian. “gue juga kaget. Tiba-tiba aja ngomong begitu di depan dosen. Terus habis kelas, dia juga nggak mau cerita. Cuma bilang ‘nanti aja’. Tapi... gue lihat dia pakai cincin, loh.”
Kevin yang dari tadi diam mulai menatap serius. “Cincin?”
“Iya. Cincin di jari manisnya. Baru banget, soalnya kemarin gur lihat tangannya kosong,” jelas Linda.
Kevin bersiul pelan. “Wah, jangan-jangan... dia diam-diam dilamar orang kaya?” ucapnya setengah bercanda, tapi nada suaranya terdengar setengah percaya.
Farhan meliriknya tajam. “Nggak lucu, Vin.”
“Ya kan cuma kemungkinan. Lo tahu sendiri, Fio nggak mungkin tiba-tiba punya uang segitu banyak kecuali ada yang bantu,” balas Farhan, mengangkat bahu.
Linda menggigit bibirnya. “Gue cuma takut orang-orang salah paham. Tadi aja di kelas udah banyak yang ngomongin dia aneh-aneh.”
Farhan menatap jauh ke arah gedung fakultas. Ada kekhawatiran di matanya. “Kalau gosipnya semakin parah, Fio bisa kena masalah. Dia anaknya sensitif. Mending nanti sore kita cari tahu aja langsung dari dia.”
Kevin menimpali dengan nada ringan, “Setuju. Tapi kalau ternyata dia beneran disponsori ‘sugar daddy’, jangan salahin gue kalau gue shock.”
“Kevin!” bentak Linda dan Farhan bersamaan.
Kevin mengangkat tangan, tertawa kecil. “Ya udah, ya udah. Bercanda. Tapi serius, gue penasaran juga. Kita harus tahu apa yang sebenarnya terjadi.”
Farhan berdiri, bahunya menegang. “Iya, tapi jangan buat dia tambah tertekan. Kita tunggu waktu yang tepat buat tanya.”
Mereka bertiga akhirnya diam. Hanya angin siang yang berembus pelan, membawa perasaan canggung dan tanda tanya besar — siapa sebenarnya pria di balik perubahan Fio yang tiba-tiba itu?
***
Suasana sore di kampus begitu riuh ketika mobil hitam mewah berhenti tepat di depan gerbang utama. Mahasiswa yang hendak pulang spontan menoleh, sebagian bahkan langsung berhenti berjalan. Mobil itu terlalu mencolok, terlalu mahal untuk sekadar tamu kampus biasa.
Dari dalam, seorang pria berjas abu tua keluar. Posturnya tinggi, wajahnya tegas, dan auranya dingin tapi berwibawa. Itu Darrel. Ia memeriksa ponselnya, memastikan pesan yang dikirimnya sudah terkirim:
[ Saya di depan kampus. Cepat keluar.]
Pesan itu dikirim ke Fio. Nomor itu, sebenarnya, Darrel dapat dari Bu Rania yang memintanya menjemput sang menantu.
Di dalam gedung, Fio baru saja menutup buku catatan ketika ponselnya bergetar. Ia sempat mengernyit melihat nomor asing itu, lalu matanya membulat setelah membaca isinya. “Dia…” gumamnya pelan.
Linda yang duduk di sebelah langsung menoleh. “Dia siapa, Fio?”
Bersambung