Selamat datang di Kos-kosan 99% Waras, tempat di mana hidup anak rantau terasa seperti sinetron komedi tanpa sutradara.
Di sinilah bowo tambun si mafia mie instan, Doni si gamer , Salsa si konten kreator sok hits, dan Mbak Ningsih si dukun Excel harus bertahan hidup di bawah aturan absurd sang pemilik kos, Bu Ratna alias Bu Komando.
Aturannya sederhana tapi kejam: siapa minum terakhir wajib ganti galon, sandal hilang bukan tanggung jawab kos, dan panci kotor bisa langsung dijual ke tukang loak.
Setiap hari ada saja drama: dari listrik mati mendadak, mie instan dimasak pakai lilin, air galon jadi rebutan, sampai misteri sandal hilang yang bikin satu kos ribut pagi-pagi.
Tapi di balik semua kekacauan itu, ada juga kisah manis yang tumbuh diam-diam. Doni dan Salsa yang awalnya hobi ribut urusan sepele malah sering kejebak momen romantis dan konyol. Sementara Bowo yang doyan ngegas gara-gara mie justru bikin cewek kos sebelah penasaran.
Satu hal yang pasti,
Bukan nilai kuliah atau ujian online yang jadi tantangan terbesar anak-anak ini, tapi bertahan hidup di kos dengan 99% kewarasan,dan penuh misteri.bagaima kelanjutan kisah percintaan mereka? stay tune guysss
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Poying22, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ruang X
Jam dinding baru menunjukkan pukul 8 malam, tapi ruang tengah kos sudah berubah jadi “markas Mafia Mie”. Di atas meja tergeletak map berisi foto-foto lama, dokumen arsip, dan kunci kuno yang mereka temukan semalam. Di sampingnya ada termos air panas, cup mie bertumpuk, senter, serta powerbank yang sudah penuh.
Doni menatap satu per satu perlengkapan itu. “Oke, checklist,senter ada, kamera ada, mie ada, powerbank penuh, doa siap?”
“Siap, Kapten!” jawab Bowo sambil mengangkat dua cup mie seperti piala. “Mafia mie nggak boleh lapar sebelum misi.”
Salsa memegang ponselnya. “Aku udah set jadwal live. Penonton pada nunggu kita buka ‘Ruang X’. Trending topik lho semalam.”
Mbak Ningsih menaruh kunci kuno di tengah meja. “Aku sempat baca dokumen ini semalam. Ada catatan tentang ruangan kecil di ujung lorong yang disebut ‘Ruang X’. Dulu katanya dipakai menyimpan pasien yang butuh perawatan khusus. Sekarang ruangan itu ditutup total.”
Bowo bergidik. “Kayak film horror aja. Jangan-jangan itu ruang isolasi?”
Salsa pura-pura gemetar. “Semakin horor semakin rame penonton.”
Doni menarik napas dalam-dalam. “Oke, kita harus tetap hati-hati. Kita bawa Pocong si kucing juga, dia sepertinya tahu jalannya.”
Seolah mengerti, Pocong muncul dari balik pintu kamar Doni, mengeong pelan lalu duduk di sebelah kunci kuno. Bulu putihnya sedikit berdiri, matanya berkilat seperti lampu kecil.
“Dia udah siap tuh,” celetuk Bowo. “Tour guide paranormal kita.”
Mbak Ningsih membagikan senter. “Kita jalan sesuai formasi kemarin. Doni di depan bareng Pocong. Bowo tengah bawa mie dan air panas. Salsa di belakang pegang kamera. Aku paling belakang pegang Excel dan denah.”
Salsa mengangguk. “Udah aku save denah digitalnya juga, jaga-jaga kalau kertasnya basah.”
Doni meraih kunci kuno. “Baiklah, kita berangkat sekarang sebelum makin larut.”
Mereka berjalan beriringan ke arah lorong belakang. Lampu neon kos berkedip pelan, udara malam makin dingin. Pocong si kucing melangkah pelan, ekornya tegak, menuntun mereka ke ujung lorong yang belum pernah dibuka.
Bowo menelan ludah. “Kayak mau masuk dungeon baru.”
Salsa tetap merekam meski tangannya gemetar. “Ini viewers udah ribuan yang nonton live.”
Mbak Ningsih berhenti di depan sebuah pintu besi tua yang catnya sudah mengelupas. “Ini dia Ruang X.”
Doni mengangkat kunci kuno. “Mudah-mudahan kunci ini cocok.”
Suara denting kecil terdengar ketika kunci dimasukkan ke lubang. Perlahan ia memutarnya. “Krek…” suara mekanisme berkarat terdengar keras di lorong yang sunyi.
Pintu itu bergetar, lalu perlahan terbuka menampakkan ruangan gelap di dalamnya. Angin dingin berhembus keluar, membawa aroma obat-obatan lama bercampur karat.
Salsa menyorot kamera. “Astaga…”
Bowo berbisik. “Ini… lebih serem dari kemarin.”
Pocong melangkah masuk duluan, ekornya bergoyang-goyang. Dari dalam ruangan terdengar suara kecil “ting… ting…” seperti tetesan air.
Doni menoleh ke mereka. “Kita masuk perlahan. Jangan sentuh apa-apa dulu. Kita lihat ada apa di dalam.”
Mereka saling pandang sebentar, lalu satu per satu melangkah masuk melewati ambang pintu Ruang X. Cahaya senter menyingkap ruangan sempit penuh lemari besi tua, beberapa di antaranya terbuka memperlihatkan benda-benda tak dikenal terbungkus kain putih.
Suara kamera Salsa tetap merekam setiap sudut. “Ini… gila banget. Viewers pada teriak di live.”
Bowo mendekat ke Doni. “Don, itu di ujung kayak ada pintu lagi deh.”
Doni mengarahkan senter. Memang ada pintu kayu kecil di balik lemari. Pintu itu setengah tertutup, seperti sengaja disembunyikan.
“Sepertinya misi kita akan mulai,” gumam Doni pelan.
Pocong berhenti tepat di depan pintu kecil itu, mengeong panjang, suaranya menggema di dalam Ruang X.
Mbak Ningsih menatap ponselnya, wajahnya berubah. “Excel-ku nggak punya data tentang pintu itu…”
Suasana hening sesaat. Bowo meneguk ludah, Salsa mendekatkan kamera, Doni memegang gagang pintu kecil itu.
“Apa kita buka sekarang?” tanya Salsa dengan suara setengah berbisik.
Doni menatap mereka satu per satu, lalu mengangguk pelan. “Kita sudah melangkah sejauh ini, dan akan mungkin undur mundur lagi,lebih baik kita lihat apa yang mereka sembunyikan di balik pintu ini…”
Lampu senter bergetar, suara detik jam seolah melambat, dan jantung mereka berdetak lebih cepat sebelum Doni mulai menarik gagang pintu itu.