Nathan mengira ia hanya mengambil jeda, sedikit waktu untuk dirinya sendiri, untuk menyusun ulang hidup yang mulai tak terkendali.
Kayla mengira ia ditinggalkan. Lagi-lagi diabaikan, disisihkan di antara tumpukan prioritas kekasihnya.
Saat jarak berubah jadi luka dan diam jadi pengabaian, cinta yang semula kokoh mulai goyah.
Tapi cinta tak selamanya sabar.
Dan Nathan harus bertanya pada dirinya sendiri.
Masih adakah yang bisa ia perjuangkan saat semuanya nyaris terlambat?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Wiji, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
28
Kayla berjalan pelan menyusuri trotoar setelah meninggalkan angkringan. Angin sore membawa aroma sisa arang dan kecap yang belum sepenuhnya hilang. Suasana di sekelilingnya ramai, tapi di dalam dirinya justru sepi.
Langkahnya ringan, tapi pikirannya berat.
Setiap kata yang diucapkan Davin masih menggema di kepalanya.
"Dua tahun di Kanada."
"Bukan cuma soal kerjaan, tapi mimpi ayahnya."
"Kadang seseorang bisa sangat mencintai, tapi tetap punya hal-hal yang belum siap dia buka."
Ucapan itu terus berputar, berganti-ganti nada, seolah ingin memastikan Kayla benar-benar mendengarnya.
Ia mengembuskan napas panjang, berusaha menenangkan diri. Tapi setiap kali menatap bayangan sendiri di kaca toko yang ia lewati, ia melihat wajah yang tak lagi yakin.
Ia mencintai Nathan. Ia tahu itu. Tapi cinta, sekuat apa pun, tidak akan pernah cukup jika kepercayaan mulai retak.
Mobil lewat dengan klakson panjang, membuatnya sedikit tersentak. Jalan menuju apartemen tidak jauh, tapi setiap langkah terasa panjang. Hujan membuat sepatu kanvasnya berat, menimbulkan suara “plak-plak” kecil setiap kali ia melangkah. Orang-orang di sekitar berlari mencari tempat berteduh, tapi Kayla seperti kehilangan arah.
Ia terus berjalan, tanpa tujuan yang jelas selain ingin sampai. Ingin diam. Ingin berhenti berpikir.
Namun, pikirannya menolak diam.
Kenapa Nathan tidak cerita? Kenapa harus tahu dari orang lain? Bukankah selama ini mereka saling terbuka? Bukankah Nathan selalu bilang tidak akan menyembunyikan apa pun?
Pertanyaan-pertanyaan itu muncul, tumpang-tindih, sampai suaranya sendiri terasa asing di kepala. Ia ingat bagaimana Nathan dulu selalu menjemputnya, bahkan di tengah rapat yang sibuk. Ia ingat pelukan Nathan waktu terakhir bertemu, yang hangat tapi kini terasa palsu.
Hujan makin deras. Kayla berhenti di pinggir jalan, memandangi genangan air yang memantulkan lampu kendaraan. Matanya terasa perih, entah karena air hujan atau tangis yang ia tahan.
Ia tersenyum getir. "Kamu keterlaluan, Nath..." gumamnya pelan.
Tubuhnya mulai menggigil saat sampai di depan gedung apartemen. Rambutnya meneteskan air, bajunya menempel di kulit. Satpam sempat memandang iba, tapi Kayla hanya membalas dengan anggukan kecil dan senyum yang dipaksakan.
Lift terasa lambat. Cahayanya temaram, menyoroti wajah pucatnya di pantulan pintu logam. Ia menatap dirinya, mata sembab, bibir pucat, dan tatapan kosong.
Saat pintu terbuka, aroma lembap dari lorong apartemen menyambutnya. Ia melangkah pelan menuju unitnya, membuka pintu dengan tangan gemetar. Begitu pintu tertutup, sunyi langsung menyelimuti ruangan.
Kayla menjatuhkan tas ke sofa, berdiri diam beberapa detik. Suara tetesan air dari rambutnya terdengar jelas di lantai. Ia menggigit bibir, lalu menatap ponsel di atas meja.
Layar menyala, dua panggilan tak terjawab dari Nathan, dan satu pesan.
"Kamu di mana, Sayang? Aku khawatir."
Tangannya gemetar saat hampir menyentuh layar itu. Tapi akhirnya ia biarkan ponsel tetap menyala, lalu padam sendiri.
Kayla melangkah ke kamar, membuka laci, dan mengambil handuk. Ia duduk di tepi tempat tidur, memeluk lutut, lalu menunduk lama. Hujan masih terdengar di luar jendela, suaranya lembut tapi menyesakkan.
Ia menatap jendela yang tertutup kabut. Dari sana samar-samar terlihat lampu jalan di seberang, dan entah hanya bayangan atau nyata, sebuah mobil hitam yang tampak familiar.
Mobil Nathan.
Kayla menatap lebih lama, tapi pandangannya kabur. Ia tak tahu apakah itu benar mobilnya, atau hanya permainan cahaya dari genangan hujan di bawah sana.
Ia menutup matanya, menahan napas dalam-dalam.
"Jangan sekarang, Nath…" bisiknya. "Aku belum siap dengar apa pun."
Hujan terus turun, deras, lalu melembut. Tapi di dada Kayla, badai baru saja dimulai.
Nathan menepikan mobilnya di sisi jalan, tepat di seberang apartemen Kayla. Hujan belum benar-benar berhenti, tapi cukup reda untuk membuat lampu-lampu kota memantul di jalanan basah. Dari tempatnya duduk, ia bisa melihat satu-satunya jendela yang masih menyala di lantai delapan.
Itu kamar Kayla.
Ia menatap lama, seolah berharap sosok itu muncul di balik tirai tipis.
Beberapa kali Nathan menarik napas dalam, tangannya sudah di gagang pintu, siap turun. Ia hanya ingin memastikan Kayla baik-baik saja. Saat hendak turun ponselnya bergetar.
Layar menampilkan nama yang sudah ia hafal luar kepala.
[Aku udah di rumah, Nath. Tapi tolong jangan ke sini dulu ya. Aku capek banget, pengin istirahat.]
Pesan singkat.
Tenang, sopan, tapi terasa jauh.
Nathan terdiam lama, membaca ulang kalimat itu berkali-kali.
"Capek banget."
"Jangan ke sini dulu."
Ia bersandar ke kursi, menatap kosong ke arah lampu yang masih menyala di lantai delapan itu.
Hujan mulai turun lagi, kali ini lebih lembut, menimbulkan suara ritmis di atap mobil. Ia menyalakan mesin, tapi tak segera melaju.
Beberapa menit ia hanya diam di situ, menatap jendela yang tak kunjung terbuka, mencoba menenangkan sesuatu yang sesak di dadanya.
Akhirnya, perlahan ia melaju pergi. Tanpa suara. Tanpa pesan balasan.
Di spion tengah, lampu apartemen itu semakin kecil, lalu menghilang ditelan hujan.