Kembali hidup setelah dirinya mati terbunuh. Itulah yang dialami gadis jenius bisnis bernama Galuh Permatasari. Ia bertransmigrasi ke era kolonial menjadi seorang gundik dari menheer tua bernama Edwin De Groot. Di era ini Galuh bertubuh gendut dan perangainya buruk jauh dari Galuh yang asli.
Galuh memahami keadaan sekitarnya yang jauh dari kata baik, orang - orang miskin dan banyak anak kelaparan. Untuk itu ia bertekad dengan jiwa bisnisnya yang membludak untuk mengentaskan mereka dari keterpurukan. Memanfaatkan statusnya yang sebagai Gundik.
Disaat karirnya berkembang, datanglah pemuda tampan yang tidak lain adalah anak dari menheer tua bernama Edward De Groot. Kedatangannya yang sekedar berkunjung dan pada akhirnya jatuh cinta dengan gundik sang ayah.
Lantas, bagaimana kisah kelanjutannya ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indah yuni rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tidak Tinggal Diam
Galuh terlihat gelisah di teras, ia sedang menunggu kepulangan menheer. Ingin tahu hasil keputusan mengenai kebijakan pekerja.
Pukul 4 sore, barulah terlihat mobil Ford memasuki halaman. Galuh bangkit dan segera berjalan menuju mobil yang baru saja berhenti, wajahnya menunjukkan kekhawatiran dan antisipasi. Ketika menheer keluar dari mobil, Galuh langsung mendekatinya dan bertanya, "Tuan Edwin, bagaimana hasilnya? Apa yang diputuskan oleh Van Der Meer tentang kebijakan para pekerja?"
Menheer terlihat lelah setelah perjalanan panjang, tapi dia memberikan isyarat kepada Galuh untuk mengikutinya ke dalam rumah. "Mari kita bicara di dalam, Nyai Galuh. Ini bukan pembicaraan untuk di luar."
Galuh mengangguk dan berjalan mengikutinya, tapi rasa penasaran dan kekhawatirannya semakin besar.
Edwin duduk di sofa, menyandarkan punggungnya dan menghela nafas panjang, menunjukkan bahwa dia sedang memikirkan sesuatu yang berat. Galuh yang melihatnya langsung menawarkan kopi, "Tuan Edwin, apakah Anda ingin kopi? Mungkin bisa membantu Anda rileks sejenak."
Edwin memandang Galuh dengan sedikit terkejut, lalu mengangguk perlahan. "Ya, terima kasih Nyai Galuh. Kopi hangat akan sangat membantu sekarang." Galuh tersenyum dan segera menuju ke dapur untuk membuat kopi hangat untuk Edwin.
Edwin ingin menyampaikan masalah kebijakan yang ditolak oleh VanDer Meer kepada para pekerja. Edwin sedang memikirkan cara untuk menghadapi Van Der Meer dan menyelesaikan masalah tersebut. Dengan kebijakan yang ditolak oleh Van Der Meer, Edwin merasa frustrasi dan tidak tahu bagaimana cara untuk membuat Van Der Meer memahami kepentingan para pekerja.
Galuh kembali dengan segelas kopi hangat dan meletakkannya di depan Edwin. "Tuan Edwin, kopi hangat seperti yang Anda suka," kata Galuh dengan lembut. Edwin mengucapkan terima kasih dan mengambil gelas kopi, lalu menghirupnya perlahan-lahan sambil memikirkan langkah selanjutnya.
"Aku sudah bicara dengan Mandor Van Der Meer, dia menolak usulanmu." ujar Edwin setelah menyeruput kopinya dan meletakkan kembali.
Galuh merasa kecewa dan frustrasi mendengar jawaban menheer. "Tapi, Tuan, kebijakan ini sangat penting bagi pekerja. Mereka bekerja keras setiap hari untuk memastikan perkebunan ini berjalan dengan baik," katanya dengan suara yang berusaha tetap tenang.
Menheer menghela napas, menunjukkan bahwa dia juga tidak senang dengan keputusan itu. "Saya paham, Nyai Galuh. Tapi Mandor Van Der Meer memiliki alasan sendiri untuk menolak usulan ini. Mungkin kita bisa mencari cara lain untuk membantu pekerja," ujarnya dengan nada yang sedikit lebih lembut.
Galuh mengangguk, meskipun dia masih terlihat tidak puas. "Baiklah, Tuan. Saya akan mencoba mencari solusi lain,"
"Apa kira - kira solusi yang ingin kamu sampaikan, Nyai ?"
"Sepertinya Saya akan melapor secara langsung pada parlemen Belanda."
Edwin terkejut dan tidak senang dengan ancaman Galuh. "Nyai Galuh, apa yang kamu lakukan?! Ini bukan masalah kecil. Kamu tidak bisa begitu saja melapor ke parlemen tanpa mempertimbangkan konsekuensinya," katanya dengan nada keras.
Nyai Galuh berdiri tegak, menunjukkan keberanian dan keteguhannya. "Saya tidak peduli, Tuan. Saya harus melakukan apa yang saya rasa benar. Pekerja di sini diperlakukan tidak adil dan kebijakan ini harus diubah," ujarnya dengan suara yang tegas.
Menheer menggelengkan kepala, khawatir dengan keputusan Galuh. "Kamu tidak tahu apa yang kamu lakukan, Nyai Galuh. Ini bisa berakibat fatal bagi kamu dan keluarga kamu," katanya dengan nada peringatan.
Galuh menunjukkan tekad yang kuat untuk memperjuangkan hak-hak pekerja, meskipun itu berarti menghadapi risiko yang besar. "Saya lebih baik mencoba dan gagal daripada tidak mencoba sama sekali, Tuan," katanya dengan suara yang mantap.
Menheer menghela napas, sepertinya dia mulai mengerti keteguhan Galuh. "Baiklah, Nyai Galuh. Tapi ingat, aku sudah memperingatkan kamu. Jangan bilang aku tidak memberitahu," katanya dengan nada yang lebih lembut.
Galuh mengangguk, menunjukkan rasa terima kasih dan tekad untuk terus berjuang. "Saya mengerti, Tuan. Saya akan siap menghadapi apa pun yang terjadi," ujarnya dengan percaya diri.
"Saya perlu bukti yang kuat untuk menunjukkan bahwa kebijakan itu penting untuk dilakukan." lanjut Galuh, sambil memandang Edwin dengan harapan.
"Kamu tahu bahwa Van Der Meer tidak akan mudah diubah pikirannya. Kamu membutuhkan data dan fakta yang akurat untuk mendukung argumenmu ." Galuh mengangguk, memahami apa yang dimaksud Edwin.
"Saya paham, Tuan Edwin. Saya akan mencoba mencari informasi yang dibutuhkan," jawab Galuh dengan tekad.
Galuh tidak bisa meminta bantuan Menheer untuk meminta dokumen dari Mandor Van Der Meer karena Van Der Meer sendiri yang akan diadukan. Itu akan membuat situasi menjadi tidak efektif dan bahkan bisa membahayakan Galuh.
Galuh akan mencari cara lain untuk mendapatkan dokumen-dokumen yang dibutuhkan yang tidak melibatkan Van Der Meer secara langsung.
Ketika malam tiba, Galuh khawatir jika Edwin akan berkunjung ke kamarnya lagi. Cukup sekali saja ia dirudal paksa. Untuk itu ia mengelabuhi Edwin dengan cara yang lucu dan tidak berbahaya. Dengan menaburkan bubuk gatal di atas seprei, Galuh berharap Edwin akan merasa tidak nyaman dan tidak berani mengunjungi kamarnya lagi.
Ketika Edwin memasuki kamarnya, dia langsung merasa gatal-gatal dan tidak bisa berhenti menggaruk-garuk kulitnya. "Apa-apaan ini?" dia bertanya pada dirinya sendiri, sambil mencari sumber gatal yang mengganggu. Galuh memperhatikan dari jauh, mencoba menahan tawanya.
Edwin gagal untuk tidur bersama nyai Galuh. Lalu ia keluar dari kamar nyai Galuh menuju kamar Wilda dengan wajah kesakitan karena gatal-gatal. Wilda yang sedang membaca buku di kamarnya terkejut melihat keadaan Edwin. "Apa yang terjadi, Edwin? Kamu terlihat tidak enak badan," tanya Wilda dengan khawatir.
Edwin tidak bisa menyembunyikan rasa gatalnya lagi dan langsung meminta bantuan Wilda untuk menggaruk punggungnya. "Wilda, tolong garuk-garuk punggungku, aku gatal sekali," kata Edwin dengan wajah kesakitan. Wilda terkejut, tapi tidak bisa menolak permintaan Edwin.
Wilda menutup buku bacanya lalu mengambil kotak obat. Ia mengoleskan minyak gosok ke punggung Edwin, mencoba membantu mengurangi rasa gatalnya. "Ini mungkin bisa membantu, Edwin," kata Wilda sambil memijat punggung Edwin dengan lembut. Edwin menghela nafas lega, merasa sedikit lebih baik setelah minyak gosok dioleskan.
Tiba-tiba, Wilda memperhatikan sesuatu yang aneh. "Edwin, apa yang kamu lakukan? Kamu seperti... digigit semut atau apa?" tanya Wilda, sambil memperhatikan kulit Edwin yang merah-merah. Edwin bingung untuk menjawab.
Edwin tidak tahu bahwa Galuh telah menaburkan bubuk gatal di atas seprei kamarnya, sehingga dia tidak tahu penyebab sebenarnya dari rasa gatal-gatal yang dia alami. Dia hanya tahu bahwa dia merasa gatal-gatal setelah masuk ke kamarnya, dan itu membuatnya merasa tidak nyaman dan kesakitan. Oleh karena itu, dia tidak bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, dan malah membuat alasan tentang alergi untuk menyembunyikan ketidaktahuannya.
"Mungkin ini alergi."
Tapi, Wilda seakan tidak percaya.