NovelToon NovelToon
Aku Bukan Mesin ATM Keluargamu Mas

Aku Bukan Mesin ATM Keluargamu Mas

Status: sedang berlangsung
Genre:Pelakor / Penyesalan Suami / Ibu Mertua Kejam
Popularitas:5.4k
Nilai: 5
Nama Author: Shaa_27

“Gajimu bulan ini mana, Ran? Orang tua butuh uang.”
“Adik butuh biaya kuliah.”
“Ponakan ulang tahun, jangan lupa kasih hadiah.”

Rani muak.
Suami yang harusnya jadi pelindung, malah menjadikannya mesin ATM keluarga.
Dari pagi hingga malam, ia bekerja keras hanya untuk membiayai hidup orang-orang yang bahkan tidak menghargainya.

Awalnya, Rani bertahan demi cinta. Ia menutup mata, menutup telinga, dan berusaha menjadi istri sempurna.
Namun semua runtuh ketika ia mengetahui satu hal yang paling menyakitkan: suaminya berselingkuh di belakangnya.

Kini, Rani harus memilih.
Tetap terjebak dalam pernikahan tanpa harga diri, atau berdiri melawan demi kebahagiaannya sendiri.

Karena cinta tanpa kesetiaan… hanya akan menjadi penjara yang membunuh perlahan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Shaa_27, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

kdrt?

Rani menyesap es kopi susu di tangannya sambil sesekali tertawa kecil mendengar celotehan Nadia tentang tingkah konyol salah satu teman kerjanya di pabrik. Suasana siang itu terasa ringan dan jauh berbeda dari hari-hari kelam yang biasa ia jalani di rumah. Senyum Rani pun tampak lebih tulus dan tenang.

Tiba-tiba suara berat namun familiar terdengar dari arah belakang,

“Rani…? Rani Prameswari?”

Rani sontak menoleh. Matanya sedikit membesar saat melihat seorang pria berperawakan tinggi dengan kemeja putih dan celana bahan hitam berdiri tak jauh dari mejanya. Rambutnya rapi, wajahnya tegas—dan senyum itu… ya, ia mengenali senyum itu.

“Dion… Dion Rajendra?” gumam Rani hampir tak percaya.

Pria itu tertawa kecil, lalu melangkah mendekat. “Ya ampun, beneran kamu… udah lama banget ya. Aku hampir nggak percaya ketemu kamu di sini.”

Nadia yang duduk di seberang meja langsung menatap keduanya dengan tatapan penasaran. Aura pertemuan itu terlalu jelas untuk diabaikan.

Dion kini berdiri di depan Rani, senyumnya hangat dan tatapannya seolah menembus waktu. Rani sedikit gugup, tapi mencoba menutupi perasaannya dengan tersenyum sopan.

“Iya… udah lama banget. Kayaknya terakhir kita ketemu waktu SMA ya?” ucap Rani pelan.

“Yup. Kamu dulu sering bantu aku belajar matematika, inget nggak?” balas Dion sambil tertawa.

Nadia, yang dari tadi mengamati, langsung menyenggol kaki Rani di bawah meja dan berbisik, “Temen lama, ya? Ganteng amat, Ran…” godanya pelan. Rani hanya melirik kesal tapi tak bisa menahan senyum.

Dion kemudian meminta izin duduk dan mereka mulai mengobrol. Rani bercerita sedikit tentang pekerjaannya di pabrik, sementara Dion bercerita kalau sekarang ia bekerja sebagai manajer di sebuah perusahaan ekspor—dan ternyata, kafenya pun milik temannya.

“Kamu keliatan beda banget, Ran. Dulu kamu kalem, sekarang… auramu kuat banget,” kata Dion tulus. Tatapannya membuat dada Rani terasa hangat, perasaan yang lama tak ia rasakan.

Rani tertawa kecil, “Banyak hal yang bikin aku belajar, Dion. Hidup emang nggak selalu gampang.”

Dion mengangguk, “Tapi kamu tetap berdiri, itu hebat. Aku salut.”

Ucapan itu membuat Nadia melirik Rani dengan senyum lebar—ia tahu, ini pertama kalinya dalam waktu lama Rani terlihat begitu… hidup.

 

Siang menjelang sore itu, udara terasa hangat dan langit sedikit mendung. Jalanan kota dipenuhi orang-orang yang baru pulang kerja atau sekadar ingin menikmati waktu santai. Andi berjalan berdampingan dengan Maya, kekasih gelapnya, sambil menggenggam tangan wanita itu dengan percaya diri. Maya tampil cantik dalam balutan gaun midi putih dan tas branded di bahunya—wajahnya berbinar-binar penuh kebahagiaan.

“Aduh, enaknya siang ini. Jalan bareng kamu tuh bikin aku lupa semua masalah,” ucap Maya manja, menyandarkan kepalanya ke bahu Andi.

Andi terkekeh bangga. Ia merasa seperti lelaki beruntung—seolah-olah dunia miliknya. Siang itu ia sengaja mengajak Maya belanja dan makan di tempat mahal. Tapi langkahnya mendadak terhenti saat suara nyaring dan khas menggema dari arah depan.

“Lhooo… ini bukannya Andi?”

Andi dan Maya spontan menoleh. Seorang perempuan paruh baya dengan daster bunga-bunga berdiri di tepi trotoar sambil melipat tangan di dada. Siapa lagi kalau bukan Bu Lastri, tetangga Andi yang terkenal suka mengumbar gosip satu RT. Tatapannya menyipit tajam, dan senyum sinisnya jelas bukan pertanda baik.

“Walah, pantesan istrinya sekarang tampilannya kinclong, ternyata suaminya malah asik gandeng cewek lain. Lelaki mokondo!” seru Bu Lastri dengan suara lantang.

Beberapa orang yang melintas menoleh, membuat Andi kaget dan refleks melepaskan genggaman tangannya pada Maya. Wajahnya langsung tegang.

“Bu, jaga omongan ya!” bentaknya dengan nada marah tapi terdengar gugup.

Bu Lastri terkekeh puas, “Jaga omongan? Semua orang juga tahu siapa kamu, Andi. Numpang hidup sama istri, makan dari keringat Rani, tapi gaya sok sultan. Sekarang ketahuan juga selingkuhannya. Hadehh… laki-laki mokondo memang begitu kelakuannya.”

Maya terdiam, canggung. Orang-orang mulai memperhatikan mereka dengan tatapan penuh gosip.

“Bu, nggak usah ikut campur urusan saya!” Andi mulai kehilangan kesabaran.

“Urusan kamu itu udah jadi bahan omongan satu kampung, Andi. Istrimu banting tulang di pabrik, kamu malah keluyuran gandeng perempuan lain. Nggak malu?” Bu Lastri semakin lantang.

Ia lalu melirik Maya dari ujung rambut sampai ujung kaki dengan tatapan tajam. “Kasihan banget kamu, Dek. Kamu tahu nggak? Cowok yang kamu gandeng ini cuma numpang hidup sama istrinya. Duit dia nggak punya.”

Wajah Maya pucat. Ia memandang Andi dengan keraguan yang jelas.

“Andi… bener nggak apa yang dia bilang?” suaranya lirih, tapi menusuk hati Andi.

“Nggak, Maya… jangan dengerin omongan Bu Lastri, dia cuma suka nyari ribut,” Andi mencoba menutupi kepanikan, suaranya terdengar goyah.

“Nyari ribut dari mana? Semua tetangga juga tahu, kamu itu benalu!” potong Bu Lastri cepat.

Andi menggertakkan gigi. Situasi makin buruk. Maya perlahan menarik tangannya dari Andi, perasaan tidak nyaman jelas tergambar di wajahnya. Orang-orang di sekitar mulai berbisik-bisik, menatap mereka seperti menonton drama gratis.

“Aduh, Andi… Andi… akhirnya topengmu kebuka juga,” kata Bu Lastri dengan nada puas.

Andi tak tahan lagi, ia menarik napas dalam-dalam dan dengan tergesa menarik tangan Maya, mencoba menjauh dari kerumunan. Tapi Maya menahan diri, tidak semesra tadi—benih kecurigaan telah tumbuh dalam pikirannya.

Sementara itu, Bu Lastri hanya menggeleng dan menatap mereka menjauh dengan seringai puas di wajahnya. “Dasar lelaki mokondo… pantas aja Rani berubah sekarang.”

★★★★

Andi membuka pintu rumah dengan hentakan keras hingga daun pintu bergetar dan menimbulkan suara “BRAKKK!” yang memecah kesunyian sore itu. Wajahnya merah padam, matanya menyala penuh amarah. Rani yang sedang duduk di ruang tengah menonton televisi kaget bukan main.

“Astaghfirullah, Andi… apaan sih banting pintu begitu!” seru Rani refleks.

Namun bukannya menjawab, Andi langsung berjalan cepat menghampiri Rani dengan rahang mengeras. Aura kemarahannya begitu jelas hingga membuat udara dalam rumah itu terasa sesak.

“Semua orang di luar sana udah ngomongin aku, Ran!” bentak Andi. Suaranya tinggi, membuat kaca jendela seakan ikut bergetar.

Rani mengernyit, “Ngomongin? Maksud kamu apa?”

Andi menendang kursi hingga terguling. “Maksudnya, gara-gara mulut tetangga sialan itu, harga diri gue diinjak-injak! Mereka bilang gue cuma numpang hidup sama lo! Mereka hina gue di depan Maya!”

Rani menatap tajam, tapi tetap tenang. “Oh… jadi kamu marah bukan karena kamu ketahuan selingkuh, tapi karena malu digosipin orang?”

Ucapan Rani seperti minyak disiram ke bara api. Wajah Andi semakin memerah, urat di lehernya menegang.

“Jangan ngomong seenaknya, Ran! Ini semua juga gara-gara lo! Kalau lo nggak suka ngomong ke sana-sini soal rumah tangga kita—”

Rani berdiri perlahan, menatap Andi dengan sinis. “Lo nuduh gue? Gue bahkan nggak perlu ngomong, Di. Semua tetangga udah tahu siapa lo. Lo pikir orang-orang buta? Mereka bisa lihat siapa yang kerja banting tulang dan siapa yang ongkang-ongkang kaki di rumah.”

“Diam, Ran!!” teriak Andi sambil menghantam meja dengan keras. Gelas di atas meja sampai terguling dan pecah.

Namun Rani tak lagi ketakutan seperti dulu. Wajahnya dingin, matanya tajam. “Gue udah capek takut sama lo, Di. Lo bukan suami, lo beban. Lo dan keluarga lo cuma numpang hidup sama gue.”

Tepat saat itu, Bu Marni muncul dari arah dapur sambil melipat tangan di dada. “Astaghfirullah… ini rumah udah kayak neraka aja. Rani, kamu jangan ngelunjak! Andi itu suamimu, kamu harusnya nurut!”

Rani melirik tajam ke arah Bu Marni. “Nurut? Nurut sama lelaki mokondo dan keluarga benalu? Hahaha… mimpi.”

Andi makin meledak. “Jaga mulut kamu, Ran!” teriaknya sambil mendekat dengan langkah kasar.

Tapi Rani malah tersenyum tipis. Senyum dingin yang membuat Andi sendiri sedikit mundur. “Gue udah nggak takut, Di. Kalau lo mau marah, marah aja. Kalau lo mau ngamuk, silakan. Tapi satu hal—lo udah nggak bisa ngontrol gue lagi.”

Suasana ruang tamu tegang. Suara kipas angin terdengar jelas di antara keheningan yang mencekam. Bu Marni menatap Rani dengan wajah tak percaya—wanita yang selama ini mereka injak kini berdiri tegak melawan.

“Mulai sekarang,” ucap Rani pelan namun tajam, “hidup lo nggak akan seenak dulu. Lo dan emak lo siap-siap aja rasain.”

Andi benar-benar kehilangan kendali. Wajahnya merah padam, matanya melotot seperti orang kesetanan. Ia maju dengan langkah kasar, lalu dengan brutal mendorong tubuh Rani hingga nyaris terjatuh ke kursi.

“Dasar perempuan nggak tahu diri!!” teriak Andi sambil meraih pergelangan tangan Rani dengan cengkeraman keras.

Rani meringis kesakitan, tapi bukannya takut seperti biasanya, kali ini ia berteriak lantang, suaranya menggema ke seluruh rumah,

“Tolong!! Andi mukul aku!! Tolooong!!”

Andi mencoba membungkam mulut Rani, namun semakin ia menahan, semakin keras teriakan Rani.

“Andi lepaskan!! Tolooong!!”

Teriakan itu terdengar hingga ke luar rumah. Beberapa tetangga yang tengah duduk di teras langsung berdiri dan berlarian menuju rumah Andi. Pintu pagar terbuka, pintu rumah pun tak terkunci. Dalam hitungan menit, suara langkah kaki dan teriakan warga mulai memenuhi ruang depan.

“Astaghfirullah! Andi mukul Rani!” teriak salah satu tetangga.

“Udah, udah, lepasin! Jangan main tangan sama istri sendiri!” seru Pak Rojali, tetangga depan rumah yang paling vokal.

Beberapa warga masuk dan langsung menarik tubuh Andi dari Rani. Rani terduduk di lantai, wajahnya merah dan lengan kirinya memar bekas cengkeraman. Napasnya memburu, tapi sorot matanya tajam. Ia bukan lagi Rani yang diam dan tunduk.

Bu Marni bukannya menenangkan keadaan, ia malah membela Andi.

“Jangan ikut campur urusan rumah tangga orang! Ini masalah suami istri!” serunya dengan suara tinggi.

Namun para tetangga tak tinggal diam.

“Suami istri bukan berarti boleh main tangan, Bu Marni!”

“Udah jelas ini KDRT!”

“Perempuan kerja banting tulang, malah diperlakukan begini.”

Andi makin kalap, mencoba mendekati Rani lagi tapi warga menahannya. Rani perlahan berdiri, napasnya berat tapi matanya menyala penuh amarah.

“Kamu pikir aku akan terus diam, Andi?” suara Rani pelan tapi tajam. “Kamu pikir aku selamanya bisa kamu perlakukan semaumu?”

Ia menunjuk wajah Andi dan Bu Marni.

“Mulai sekarang, kalian denger baik-baik. Sekali saja kamu angkat tangan ke aku lagi, aku akan LAPOR POLISI atas kasus KDRT!”

Suasana mendadak hening. Wajah Andi mendadak pucat. Bu Marni pun terbelalak kaget, napasnya tercekat. Mereka tahu, ancaman itu bukan gertakan kosong—ini Rani yang baru, bukan perempuan penurut yang mereka kendalikan selama ini.

“Kamu kira polisi akan percaya sama kamu?!” bentak Andi, suaranya mulai gemetar.

Rani tersenyum tipis—senyum sinis dan penuh keyakinan.

“Aku punya saksi. Lihat sekeliling kamu. Semua orang melihat sendiri kelakuan kamu barusan.”

Pak Rojali maju selangkah, “Kalau Rani lapor, kami semua siap bersaksi. KDRT itu pidana, Andi. Bukan urusan kecil.”

Wajah Andi semakin pucat pasi. Bu Marni mencoba membela, suaranya terdengar lemah,

“Rani… jangan bawa-bawa polisi, nanti keluarga kita malu…”

Rani menatap Bu Marni tajam,

“Malu? Harusnya kalian malu dari dulu. Selama ini aku yang kerja, aku yang kasih uang, aku yang tanggung semua kebutuhan kalian. Sekarang kalian akan merasakan akibatnya.”

Andi terdiam membeku. Untuk pertama kalinya, posisi kekuasaan di rumah itu benar-benar berbalik. Warga masih berkumpul di ruang tamu, menatap Andi dan ibunya dengan pandangan penuh penilaian. Nama mereka sudah rusak di mata tetangga.

Rani mengangkat dagunya tinggi—tatapan pemenang.

“Satu langkah salah lagi, Andi… kamu dan ibu kamu bukan cuma kehilangan tempat tinggal, tapi juga bisa masuk penjara.”

Sore itu menjadi titik balik. Tidak ada lagi Rani yang bisa mereka tekan dan kendalikan.

Andi mondar-mandir seperti orang kebakaran jenggot. Wajahnya pucat pasi, keringat dingin mengalir di pelipisnya. Bu Marni duduk di kursi dengan tubuh gemetar, kedua tangannya saling menggenggam erat. Mereka berdua benar-benar panik—baru kali ini mereka menyadari, posisi mereka sedang di ujung tanduk.

Sementara itu, Rani berdiri tegak di tengah ruang tamu. Warga masih memenuhi ruangan, dan Pak RT yang kebetulan lewat saat keributan terjadi kini ikut berdiri di antara mereka. Sorot mata Rani dingin tapi sangat mantap, tak ada lagi sisa ketakutan seperti dulu.

“Pak RT,” suara Rani terdengar tegas, jelas, dan lantang, “Bapak dan semua tetangga di sini jadi saksi, ya. sore ini saya minta pertanggungjawaban Andi dan keluarganya. Selama bertahun-tahun saya kerja keras, semua gaji saya habis untuk membiayai keluarga ini. Saya hitung semuanya, jumlahnya lebih dari dua ratus juta.”

Ruangan seketika hening. Para tetangga saling pandang, beberapa bahkan berbisik pelan.

“Dua ratus juta, Rin?” tanya Pak RT terkejut.

Rani mengangguk pelan namun pasti. “Iya, Pak. Selama ini saya yang bayar semua kebutuhan rumah, adiknya Andi kuliah, listrik, air, belanja bulanan, bahkan utang-utang kecil mereka pun saya yang lunasi. Sekarang saya minta semua itu dikembalikan. Kalau tidak… saya akan bawa masalah ini ke jalur hukum.”

“Kamu gila, Rani!” bentak Andi, tapi suaranya terdengar gemetar.

“Mana mungkin aku bisa ganti uang sebanyak itu?!”

Rani mendekat selangkah, menatap Andi dengan tajam.

“Kalau kamu nggak bisa ganti, ya udah. Kita ketemu di kantor polisi dan pengadilan. Aku nggak takut, Andi.”

“Rani… tolong jangan bikin besar masalah ini,” suara Bu Marni mulai parau, matanya memohon. “Nanti keluarga kita malu, tetangga semua dengar…”

Rani justru tertawa sinis. “Malu? Kalian baru mikir soal malu sekarang? Waktu kalian memperlakukan aku seperti pembantu, waktu kalian habiskan semua jerih payah aku, kalian nggak malu sedikit pun!”

Pak RT angkat bicara, “Andi, Bu Marni… masalah ini serius. Kalau Rani benar-benar lapor, ini bisa panjang urusannya. Ada banyak saksi yang lihat malam ini, termasuk saya sendiri.”

Salah satu tetangga ikut menimpali, “Iya, kami semua dengar dan lihat. Rani punya hak minta ganti rugi. Dia bukan cuma ditindas secara ekonomi, tapi juga KDRT!”

Wajah Andi makin pucat. Ia memegangi kepalanya, frustrasi.

“Aku nggak punya uang sebanyak itu, Ran…” gumamnya lirih.

Rani menyilangkan tangan di dada, suaranya tenang tapi menusuk.

“Itu bukan urusan aku. Kalau kamu nggak bisa bayar, biar hukum yang paksa kamu. Aku udah cukup lama diperlakukan seperti sapi perah di rumah ini. Sekarang giliran kalian yang bayar semuanya.”

Bu Marni spontan berdiri, tapi suaranya tak lagi galak—justru panik.

“Rani… jangan begini. Kamu kan istri Andi… keluarga sendiri…”

“Keluarga?” Rani tersenyum miring. “Keluarga nggak memperlakukan aku kayak budak, Bu. Dan mulai malam ini, aku bukan lagi bagian dari keluarga kalian.”

Pak RT menatap Andi dan ibunya dengan wajah serius.

“Saya sarankan kalian segera menyelesaikan ini secara baik-baik. Kalau Rani benar-benar lapor, ini bukan cuma soal uang—tapi bisa masuk pasal KDRT dan penelantaran.”

Andi menunduk, kedua tangannya mengepal. Ia tak pernah membayangkan akan dipermalukan di depan tetangga seperti ini. Sementara Bu Marni hanya bisa duduk dengan air mata menggenang, menyadari bahwa semua kemewahan mereka selama ini berdiri di atas kerja keras Rani.

Rani melangkah mundur, menatap semua orang satu per satu.

“Kalian semua saksi. Aku kasih waktu Andi dan ibunya untuk pikirkan ini. Kalau dalam waktu dekat uang itu nggak dikembalikan, aku akan bawa semuanya ke ranah hukum.”

Suasana sore itu sangat tegang. Para tetangga satu per satu mulai berbisik dan keluar dari rumah Andi, meninggalkan mereka bertiga dalam keheningan mencekam. Andi terduduk lemas, Bu Marni tak berhenti menangis, dan Rani berdiri tegak—untuk pertama kalinya sebagai perempuan yang benar-benar bebas dan tak lagi ditindas.

1
Ma Em
Bagus Rani kenapa tdk dari dulu kamu pergi dari Andi si mokondo dan keluarga benalu , semoga Rani bisa bertemu dgn lelaki yg baik yg tulus mencintai Rani bkn dijadikan ATM berjalan untuk suami dan keluarganya .
AlikaSyahrani
semoga memdapatkan jodo sang bisa menerima kamu apa adanya
bukan ada apanya🤲🤲🤲
Wanita Aries
Semangat membuka lembaran baru rani
AlikaSyahrani
semangat rani 🦾🦾🦾🦾🦾
AlikaSyahrani
dasar keras kepala kamu ran
apa dibilang temanmu n tetanggamu itu betul sekali sayangila dirimu sendiri
AlikaSyahrani
sadar rani sadar kamu itu cuma dimanfaatkat oleh kelurga suamimu
AlikaSyahrani
rani rani tinggalkan keluarga toxsis begitu
AlikaSyahrani
rani kamu emong boda
kamu itu kerja banting tulang kok gak perna dihargai sih
mendingan pisa ajah toh blm punya anak
Sulfia Nuriawati
nodoh keras kepala lg, g bs dengar pendpt y udah jd aja hamba cinta kamprett km Rani bego🐯🐯🐯🐯
Sulfia Nuriawati
jd cwek kok bodoh nya minta ampun, g nyadar cm jd ATM bkn cinta oon🐯🐯🐯
Sulfia Nuriawati
pny kerja ngapain bertahan dg suami yg kyk gt, mn mertua merongrong lg toxic bnget ni kluarga, cm org bodoh yg mw bertahan, cinta nlh bidoh jgn y dek
penulis_pena: jangan salah kak 🥹banyak banget di dunia nyata kayak Rani 🥹apalagi kakakku beh bodohnya ngalah ngalahin Rani udah dibilang juga masih ngeyel😭dan terbitlah kisah Rani dari kisah nyata kakakku😭
total 1 replies
Ma Em
Rani saja sdh tau kelakuan Andi dan bu Marni msh saja mau pulang kerumah Andi segitu cinta kah Rani pada Andi walau sdh dijual dan hampir dilecehkan bahkan sampai celaka msh saja mau pulang ke rumah Andi , Rani cuma omong doang yg besar tapi tetap saja msh mengharapkan pada Andi si laki mokondo .
Wanita Aries
Haha iya maya km menang tp siap2 aj menderita tinggal sama benalu
Ma Em
Apa hukuman yg akan diterima Surya, Andi dan Bu Marni jgn sampai bebas dari hukuman mereka bertiga apalagi keluarga benalu dan lelaki mokondo berikan dia hukuman yg berat yg akan Andi dan Bu Marni menyesal seumur hidupnya begitu juga dgn si Melati .
Wanita Aries
Rasakan nohh suryo
Nasibmu bakal tragis marni andi ma melati
Wanita Aries
Siap2 tdr di hotel prodeo si suryo marni sama andi
Wanita Aries
Mampuslah itu mereka masuk penjara
penulis_pena: 😭iya ih suka kesel bngt sama keluarga Bu marni
total 1 replies
Wanita Aries
Cerita bagus dan gak membosankan, bikin greget
Wanita Aries
Wah wahh menang lgi si marni tp blm tau jg itu bner hamil ank juragan atau bkn
Wanita Aries
Rasakan noh marni
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!